6. Masalah Baru

1846 Words
Tak terasa, satu bulan sudah berlalu. Sejauh ini baik-baik saja, bahkan catatan penjualan bulan ini meningkat. Walaupun belum signifikan, tetapi ini jelas awal yang bagus. Papa juga memujiku mengingat ini adalah bulan pertama. Meski begitu, aku tidak boleh besar kepala. Aku masih harus terbang lebih tinggi lagi agar perusahaan yang kupimpin semakin maju. Aku benar-benar harus bekerja keras agar tidak mengecewakan Papa dan Mama yang sudah memercayaiku. “Akhirnya, selesai juga.” Aku merentangkan tangan dan merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Bayangkan saja, dari pagi sampai sore aku hanya duduk dan terus duduk. Aku menatap ke arah luar jendela. Saat ini hari sudah mulai gelap. Aku pulang telat karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Tok tok tok! Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Seratus persen itu pasti Sisil. “Masuk!” suruku agak keras. Benar saja. Itu memang sisil. Dia masuk membawa setumpuk berkas. “Bu Vina, ini masih banyak berkas yang harus ditanda tangani. Enggak harus hari ini, sih, tapi maksimal besok siang.” “Lebay, lu!” Sisil terkekeh. “Kalau kamu capek, tanda tangani besok pagi aja, Vin. Jangan paksain hari ini.” “Itu semua harus selesai besok?” “Iya. Karena semua-muanya mau langsung diurus masing-masing divisi.” “Oke. Aku kerjain sekarang sebagian—” “Besok aja, Vin. Mata kamu udah merem melek gitu.” Aku menatap tumpukan berkas-berkas yang masih Sisil bawa. “Tapi besok apa selesai, Sil? Kan enggak mungkin aku asal tanda tangan. Tetap harus kuperiksa bagian intinya.” “Sebagai sekretaris yang baik hati dan tidak sombong, udah kuperiksa semua proposalnya. Aman. Bener-bener tinggal tanda tangan. Janji enggak minta naik gaji.” Aku tertawa. “Ya udah, oke. Sini, aku masukin laci.” Sisil meletakkan semua berkas itu dan aku langsung memasukkannya ke dalam laci mejaku. Setelah itu, aku kembali merenggangkan otot-otot. “Sil, habis ini mau langsung pulang?” tanyaku ketika Sisil berjalan ke arah jendela. “Ya iyalah. Mau ke mana lagi?” “Main ke apartemenku mau? Nonton, kek, atau main game.” “Ada apa memangnya? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Aku menggeleng. “Enggak yakin juga. Mau mens kali, jadi mudah capek dan kepikiran. Rasanya aku butuh hiburan” “Kepikiran apa, Vin?” “Banyak hal.” “Lah?” Sisil akhirnya duduk di depanku. “Aku mau-mau aja nyetirin Bu Boss satu ini dan nginep. Tapi masalahnya aku enggak bawa baju ganti. Ditambah lagi, kalau mendadak ambil di kos, kosku dan apartemenmu beda arah. Makan waktu banget.” “Ngapain ambil di kos? Beli aja. Aku yang bayarin. Nginep, ya?” Sisil langsung mengangguk. “Oke. Kebetulan, hari ini aku juga enggak bawa motor. Tadi naik ojek.” “Kenapa sama motormu?” “Biasa. Udah butut mah ada aja masalahnya.” Sisil terkekeh. “Gajimu kan banyak, Sil. Aku yakin tabunganmu bisa buat beli motor.” “Emang bisa, tapi yang lama masih bisa dipakai. Sayang kalau beli baru.” “Tapi udah sering ke bengkel. Bukannya sama aja?” “Enggak terlalu sering, kok. Masih bisa.” Sisil tersenyum. Anak ini memang bijak sekali menggunakan uang. “Kalau proyek depan berhasil, aku beliin motor matic pakai uang pribadi.” Mata Sisil mendelik. “Yang bener, Vin?” “Iya. Yang biasa aja, tapi. Duitku belum banyak.” “Vin ...” mata Sisil langsung berkaca-kaca. “Enggak usah lebay. Yang jelas, bantu aku suksesin proyek depan ini.” “Siap, Bu Vina. Siap banget!” Proyek depan ini sangatlah penting. Kami perlu menarik investor agar pendanaannya maksimal. Kalau hanya memakai uang perusahaan, agak bereskiko karena banyak bagian lain yang juga butuh dana. Jika investor kami dapat dan terjalin kerja sama, itu nilainya sangat tinggi. Motor untuk Sisil ibarat sejentik kuku. Namun, karena janjiku pakai uang pribadi, aku belum berani menjanjikan yang terlalu mahal. Yang penting motornya ganti dulu. Aku ingat sekali, Sisil beli motor saat pertengahan semester tiga. Dia masih betah memakainya sampai sekarang. Dia memang termasuk beruntung karena saat itu mesin dan body motornya masih bagus. Dapat harga murah pula karena pemiliknya jual cepat. Dia bisa membeli motor juga setelah menabung dari kerja part time-nya. “Ayo pulang, Sil. Tapi setirin, ya.” Sisil mengangguk. “Okey.” *** Sebelum pulang, aku dan Sisil mampir ke supermaket terdekat. Kami membeli banyak cemilan dan minuman untuk persediaan nanti malam. Sisil juga membeli keperluan pribadinya. Setelah semua selesai, kami lanjut membeli makan malam yang akan kami bawa pulang. Kali ini pilihan kami jatuh pada resto seafood. Sepertinya enak makan seafood sembari menonton film. Setidaknya pukul tujuh kami tiba di parkiran apartemen. Kami keluar mobil membawa banyak barang bawaan. Aku memang sekalian belanja untuk isi kulkas yang sudah kosong. “Udah pengen banget mandi, terus rebahan, Vin.” “Sama banget. Tenang, ada dua kamar mandi, kok.” “Okey!” Setibanya di lantai tujuh, aku dan Sisil mendadak berhenti ketika melihat dua orang sedang mengetuk pintu apartemen Mas Alan. Ralat, itu bukan mengetuk, melainkan menggedor. Mereka laki-laki dan perempuan. Ah! Aku ingat mereka. Mereka adalah dua orang yang sama dengan yang ada di ruangan Mas Alan waktu itu. “Mereka siapanya Kak Alan, Vin?” Sisil bertanya pelan. “Meneketehe. Saudaranya, mungkin.” “Abaikan aja, ya, Vin.” “Iyalah. Ngapain ikut campur urusan orang.” Namun, baru saja aku dan Sisil tiba di depan pintu apartemenku, si perempuan yang sampai detik ini tak kuketahui namanya, menghampiriku. “Kamu pacar Alan yang waktu itu, kan? Kalian sengaja tinggal berdekatan begini?” Mataku mengerjap. Aku tak menyangka perempuan ini akan mengenaliku. Maksudku, hari itu aku datang berpenampilan santai, sedangkan pakaianku saat ini masih formal. Style rambut dan make up juga berbeda. Belum lagi, dia baru melihatku sekali. Ingatannya bagus betul! “Maaf ... Mbaknya salah orang, mungkin?” aku tersenyum. Sisil di sebelahku terlihat kaget. Jelas kaget. Tidak ada angin tidak ada hujan, aku kira pacar orang. Orang itu ‘Kak Alan-nya’ pula. Padahal dia tahu betul aku jomblo dari lahir. Kebetulan, prinsip kami sama. Kami sama-sama tidak mau pacaran karena itu adalah perbuatan yang sia-sia. “Enggak. Saya enggak salah ingat. Jangan coba-coba bohong! Kamu memang pacar Alan!” “Kenapa memaksakan kehendak, sih? Teman saya enggak pernah pacaran!” Sisil menyahut. “Siapa, kamu? Saya tidak bicara denganmu.” “Wah!” Sisil tampak kehabisan kata-kata. “Udahlah, Vin. Lupain dia. Kita masuk aja.” “Okey.” Belum sempat aku selesai memencet password pintu, aku melihat Mas Alan keluar lift. Tampaknya dia juga baru saja pulang. “Ada apa ramai-ramai di sini?” tanyanya. “Dan kenapa Mbak sampai senekat ini datang ke sini?” Perempuan yang disebut ‘Mbak’ itu tertawa pelan. “Kita perlu bicara, Lan.” “Enggak mau. Minggir—“ “Aku laporin Ayah kalau kamu ternyata bawa pacarmu tinggal di apartemen yang berdekatan. Ternyata kamu seberani itu!” Mas Alan melirikku, dan akhirnya aku maju ke arah perempuan yang agak sinting ini. “Mbak, saya sudah bilang kalau Mbak salah ingat. Saya mengakui, kok, kalau wajah saya pasaran. Okey?” Aku menyenggol pelan lengan Mas Alan, berharap dia paham kalau aku mengambil alur ini. Maksudku, aku berpura-pura tidak tahu-menahu soal sandiwara kami waktu itu. “Wajahmu enggak pasaran. Orang Jakarta enggak banyak yang secantik kamu.” Ah ... harusnya ini pujian. Namun masalahnya, pujian ini tidak membuatku senang. Momennya sangat tidak pas. “Mbak ini maksa banget, sih!” Sisil tampaknya sudah gerah. “Teman saya ini jomblo. Boro-boro pacaran, kenalan sama cowok aja sulit!” Duh, Sisil! Kenapa dia terlalu jujur? “Udah, ya, kami mau makan dan istirahat. Tolong jangan gaduh di sini.” Sisil menarik tanganku agar aku melanjutkan mengetik password apartemen. Sayangnya, perempuan sinting ini tak menyerah. Kini dia mengambil ponsel dari saku laki-laki —yang kuduga suaminya— dan menunjukkan sebuah foto. Aku mendelik karena itu adalah fotoku dan Mas Alan yang berdiri di depan pintu. Itu saat aku baru saja masuk ruangannya dan dia menyambutku. Memang wajahku hanya terlihat dari samping, tetapi tetap saja Sisil akan mengenali. Bagaimanapun, kami sudah berteman lama. “Vin! Ini beneran kamu sama Kak Alan! Kamu bohong—“ “Enggak gitu, Sil. Ini tuh—“ “Semuanya diam dulu!” Suaraku terputus karena interupsi itu. Aku menoleh, wajah Mas Alan kini mendadak sangat serius. Aku menangkap sorot lelah di matanya. “Mbak ... bisa enggak, sih, jangan terlalu ikut campur? Aku mau pacaran, aku mau enggak, apa urusanmu? Hidupmu terlalu membosankan, sampai kisah percintaan adikmu saja diperhatikan?” Perempuan tadi diam. Mas Alan tiba-tiba berjalan ke arah pintu unit apartemenku. Dia mengisyaratkan agar aku mendekat. “Cepat buka pintunya dan masuk. Tidak perlu pedulikan mereka,” katanya pelan. Aku buru-buru menekan password, lalu membuka pintu. Sisil kusuruh masuk lebih dulu, baru aku menyusul kemudian. Sebelum benar-benar menutup pintu, mataku dan Mas Alan bersitatap. Hanya sesaat, tetapi entah kenapa aku merasa ada yang aneh dari sorot matanya. “Vin, yang barusan itu tolong jelasin—“ “Kayaknya aku mau keluar lagi, deh, Sil. Kamu jangan ikut. Nanti aku jelasin semua.” “Tapi—” “Enggak ada tapi-tapi. Yang patuh!” Sisil hendak membantah, tetapi kemudian urung. Dia akhirnya mengangguk, lalu meletakkan barang bawaanya. Dia juga mengambil barang bawaanku dan membiarkanku keluar lagi. Mas Alan tampak kaget begitu melihatku kembali keluar. “Kenapa kamu—“ “Saya ingin foto yang tadi dihapus!” kataku tegas pada perempuan yang kuduga adalah kakak Mas Alan. Entah kandung atau bukan, aku tak peduli. “Oh, jadi sudah mengaku? Kenapa tadi pakai pura-pura segala? Dari keluaga mana kamu berani deketin adik saya? Mau morotin duitnya?” “Mbak!” Aku sudah tertawa. “Gimana, Mbak? Morotin?” “Jangan bilang, jam yang kamu pakai juga dari Alan? Ah, itu merek Longines. Lumayanlah, harganya.” “Mbak Mia, cukup!” seru Mas Alan penuh penekanan. “Kamu jangan mau diporotin, Lan. Jaman sekarang perempuan matre itu banyak. Dia hanya ingin mengambil duitmu.” “Saya tidak peduli mau dibilang matre, suka morotin, dan lain sebagainya. Yang saya inginkan hanyalah foto itu harus segera dihapus. Cepat!” Entah kenapa, aku merasa foto itu bisa berbahaya jika sampai tersebar. Takutnya akan muncul spekulasi yang tidak-tidak. “Semakin kamu seperti ini, semakin saya enggak mau menghapusnya.” Perempuan itu malah menatapku dengan tatapan meledek. “Oke. Kalau begitu, mau kena UU ITE?” “Saya tidak takut— Alan!!!” Aku ikut kaget ketika Mas Alan merebut ponsel itu dan membantingnya dengan sangat keras. Dia bahkan menginjak benda itu sampai benar-benar remuk. “Aku enggak akan kaya gini kalau Mbak dan Mas enggak keterlaluan. Masih enggak cukupkah kalian dengan aku yang pergi dari rumah?” setelah mengatakan itu, Mas Alan menendang ponsel itu ke arah tong sampah, lalu menarikku pergi. “Mas, Mas!” Aku langsung protes, tetapi genggaman tangannya terlalu kuat. Dia terus menarikku dan membawaku pergi dari lantai itu. Aku sampai terseok-seok mengikuti langkah kakinya yang lebar. Karena aku lelah dan lapar, lama-lama aku tidak ada tenaga lagi untuk melawannya. Kini, aku benar-benar sudah pasrah akan dia bawa ke mana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD