DRAMA PAGI HARI Part 1

1776 Words
Hari ini Adrian akan membuktikan kepada Shafa bahwa apa yang ia ucapksn semalam sungguh sungguh. Pagi ini Adrian rela bangun lebih pagi dari biasanya hanya untuk belajar memasak dari mbok Darmi. Adrian ingin membuatkan Shafa sarapan sebelum dirinya berangkat ke kantor. Adrian menggunakan apron warna pink bermotif bunga milik Shafa. ADRIAN POV “Mbok tidak adakah apron yang berwarna lain selain ini mbok?” Tanyaku kepada mbok Darmi. Aku terlihat sangat aneh menggunakan apron ini. “ tidak ada tuan. Semua apron berwarna pink karena nona yang meminta untuk menggantinya. Semua apron yang lama sudah tidak di gunakan lagi.” Kata mbok Darmi, yang sebenarnya menahan diri untuk tidak tertawa di depanku. “Benarkah Shafa yang melakukannya?” tanyaku sekali lagi. “Benar tuan, tuan sendiri juga tahu kalau non Shafa sangat suka memasak. Nona juga yang selalu membuatkan tuan sarapan serta makan malam.” Ucap mbok Darmi. “Ini apron siapa mbok? Kenapa berbeda dengan yang mbok gunakan?” aku lihat Apron yang ku gunakan bermotif bunga, sedangkan milik mbok Darmi polos. “Itu apron milik non Shafa tuan. Non Shafa mempunyai dua apron, yang satu lagi bermotif boneka beruang tuan. Apa tuan ingin menggunakan yang itu?” tanya mbok Darmi kepadaku. Boneka beruang,,? Itu bahkan lebih mengerikan. Harusnya apron itu di gunakan anak balita yang bermain masak masakan. “Tidak perlu mbok, aku menggunakan yang ini saja. Ini jauh lebih baik. Ayo mbok kita mulai masaknya. Apa yang akan kita masak sekarang?” “Karena tuan masih belajar, kita akan masak nasi goreng kesukaan non Shafa dan ayam kecap kesukaan tuan.” Mbok Darmi menerangkan kepadaku. “Baiklah apa pun itu, ayo kita mulai.” aku menoleh ke kanan dan kiri, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan untuk mulai memasak. Astaga,, ada begitu banyak bumbu yang ada di depanku. Aku kupas salah satu bumbu tersebut. perlahan ku kupas, mataku tiba tiba pedih. Tidak terasa air mataku menetes, kenapa terasa pedi sekali? Apa sesuatu masuk ke dalam kelopak mataku? “Tuan, biarkan saya yang mengupas bumbu tersebut tuan,” mbok Darmi menawarkan. “Tidak usah mbok, biar aku saja yang melakukan, mbok Darmi hanya perlu menyiapkan semua bahan yang di butuhkan dan memberi aba aba kepadaku cara memasak.” Ucapku tegas. “Baiklah tuan.” Ucap mbok Darmi pasrah. “mbok,, kenapa mataku pedih sekali? Apakah ada sesuatu yang masuk ke dalam mataku?” Tanyaku sambil ku usap kedua mataku yang terasa pedih. “Jangan di usap tuan, nanti semakin pedih!”Kata mbok Darmi. Tapi aku sudah terlanjur mengusap kedua mataku karena tidak tahan dengan rasa pedihnya. “Mbok ini kenapa semakin pedih mbok,,,. Mana iar aku harus segera membasuhnya.” Aku meraba mencari wastafel untuk membasuh mataku yang pedih. Kenapa mengupas bumbu saja harus sengsara seperti ini? Setelah rasa pedihnya mereda, aku kembali melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Aku lihat mbok Darmi melanjutkan pekerjaanku mengupas bumbu itu. “Mbok,, kenapa bumbu itu begitu pedih?” tanyaku. “Tuan,, bumbu ini namanya bawang merah. Ini memang sangat terasa pedih saat di kupas ataupun saat memotongnya.” Kata mbok Darmi. “aku tidak suka itu mbok, bumbu itu telah menyiksaku. Jangan pernah membeli bumbu ini lagi. Mengerti!”ku larang mbok Darmi membeli bumbu yang menyiksa seperti itu. “Tapi tuan,,,” “Tidak ada tapi tapian.” Kataku tak ingin di bantah. “Baiklah tuan,” kata mbok Darmi yang hanya bisa pasrah. “Lalu apa lagi yang harus ku lakukan?” tanyaku karena aku bingung harus apa. “Ini tuan, tuan menggoreng ayamnya saja. Untuk semua bumbu biar saya yang mengupas.” Kata mbok Darmi memberi instruksi kepadaku. “Ini bagaimana cara menggorengnya?” tanyaku, seumur hidup aku tidak pernah sekalipun memasuki dapur untuk memasak. “Tuan harus menuangkan minyak kedalam kuali. Setelah minyak terasa panas, tuan masukkan ayam satu persatu.” Aku mengangguk dan mulai melakukan apa yang di katakan mbok Darmi. Aku tuangkan minyak ke dalam kuali penggorengan, setelah agak lama, minyak sudah terasa panas. Aku masukkan ayam yang sudah di bumbui oleh mbok Darmi. Aku masukkan ayam ke dalam kuali penggorengan. Aku kaget karena suara minyak meletup. Begitu ayam terendam minyak, banyak sekali minyak yang meletup letup keluar dari kuali hingga percikan minyak tersebut mengenai lenganku. “ Panas,, panas,, cepat matikan kompor itu mbok,!!” Perintahku kepada mbok Darmi. Segera aku basuh lengan yang terkena percikan minyak panas di bawah kucuran air wastafel. Dingin dan segar, mengurangi rasa panas yang menjalar di lenganku. “ mbok tolong ambilkan mantel jaket dan juga sarung tangan mbok.!!”perintahku lagi. “ Untuk apa tuan?” mbok Darmi bingung. “ sudahlah mbok cepat ambilkan!!” mbok Darmi bergegas mengambil jaket dan sarung tangan Adrian. Sedangkan Adrian berlalu mencari Reza salah satu pengawalnya. “ Za,,,apa kamu masih di dalam?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Reza. “ Iya tuan, maaf menunggu. Saya tadi berada di toilet. Ada yang bisa saya bantu tuan?” ucap reza yang terlihat heran. Karena aku tidak pernah menemuinya di pagi buta seperti ini. “Za bukankah kamu memiliki motor?” tanyaku “iya benar tuan.” “Bisakah aku meminjam helm kamu?”. Ku lihat Reza tertegun dengan ucapanku. “ cepat berikan helm kamu!!!.” Perintahku tidak sabar. “ iya,, sebentar tuan.” Kemudian Reza memberikan helm teropong miliknya. Aku bawa helm tersebut ke dapur. Ku dengar ada suara mbok darmi memanggilku. “ Tuan ini mantel yang tuan minta” mbok Darmi memberikan mantel jaket berserta sarung tangan kepadaku. “terima kasih mbok” aku kenakan jaket serta sarung tanganku. Kemudian ku pakai helm Reza. Sekarang aku sudah siap untuk bertempur dengan ayam. Ku langkahkan kakiku tanpa ragu. Kunyalakan kembali api kompor yang tadi sempat di matikan mbok Darmi. Awalnya aku merasa sedikit ragu dan takut jika nanti akan terkena percikan minyak panas. Namun ku beranikan diri untuk melanjutkan misi menggoreng ayam. Ku bayangkan wajah Shafa yang tersenyum senang saat mencicipi masakanku. Betapa senangnya aku. Aku anggap kuali berbentuk lingkaran itu adalah wajah Shafa yang imut menggemaskan. Satu kali gorengan berhasil matang dengan sempurna. Percikan minyak panas tidak lagi membuatku takut. Aku anggap percikan minyak itu adalah sebuah ciuman dari Shafa. Akhirnya aku bisa menyelesaikan misi untuk menggoreng ayam. Kini hanya tinggal mengaduk ayam dengan bumbu yang sudah di siapkan mbok Darmi. Kemudian memasak nasi goreng makanan favorit istriku. Aku merasa senang bisa belajar memasak untuk istriku. Sepuluh menit lamanya, semua menu sarapan spesial ala Adrian telah siap. Aku menyajikannya ke meja makan dengan penuh cinta. Kini aku mulai bersiap untuk melayani Shafa membersihkan diri. Di dalam kamar Shafa sudah terbangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. “Kamu sudah bangun sayang?” tanyaku “Seperti yang kamu lihat.” Shafa hanya menatapku sekilas. Tapi tak apalah, aku bisa maklum. Ini merupakan awal dari kesungguhanku. Aku mendekat ke arahnya, lalu ku angkat tubuh mungil Shafa lalu ku dudukkan di atas kursi roda. Lalu ku bawa Shafa menuju kamar mandi. “Kamu mau apa Ad?” Shafa bertanya, sepertinya dia terkejut karena tiba tiba aku membawanya ke kamar mandi. “Aku mau memandikanmu” jawabku santai “Apa katamu, mem,, memandikanku?” tanyanya sekali lagi “yap!!!” “Tidak perlu Ad,,, biarkan aku sendiri.!!” Aku sudah menduga kalau Shafa akan menolaknya. “Tenang saja sayang,,, aku tidak akan macam macam, hanya satu macam saja.” Kuperhatikan setiap lekuk wajahnya. Pipinya sudah merah merona karena ulah yang ku buat. “Tapi Ad,,” “Tidak ada tapi tapian. Ayo ku bantu melepas bajumu.!!” Shafa seketika menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Aku tahu kalau dia masih malu, dan juga traumanya masih belum menghilang. “Percayalah sayang, aku tidak akan berbuat apa pun kepadamu.” Sekali lagi aku meyakinkan Shafa, agar dia sedikit demi sedikit kembali mempercayaiku. Perlahan Shafa menurunkan kedua tangannya. Aku memberikan selembar handuk kepadanya. Nampaknya dia mulai mengerti dengan apa yang aku maksud. Aku hanya membantu melepas pakaian bagian bawah saja. Untuk bagian atas, Shafa bisa melepaskan sendiri. Kemudian sabun mandi, pasta gigi plus sikatnya ku taruh lebih dekat denganya. Dan Shower aku taruh di pangkuannya. Aku berlalu keluar untuk mengambil baju ganti untuk Shafa. Lima belas menit berlalu, Shafa nampak kembali dengan mendorong kursi rodanya dengan bathrobe yang melekat terbalik di tubuhnya. Seperti sebelumnya, aku hanya membantu Shafa mengenakan celana dalamnya saja. Untuk bagian atas, aku mengambilkan dress selutut. Agar Shafa lebih mudah memakai ataupun melepasnya nanti. Kini tibalah waktunya untuk sarapan. Dalam hatiku dag dig dug tak menentu. Ku harap Shafa akan menyukai masakan pertamaku. “Ambillah sayang,, mbok Darmi bilang ini adalah makanan favoritmu. Ini khusus untukmu, aku sendiri yang memasak.” Aku menjelaskannya kepada Shafa. aku ingin tahu bagaimana komentar Shafa. “Ayo cicipilah,,,” Shafa memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Ku perhatikan Shafa berhenti mengunyah untuk sesaat. Mungkin karena rasanya sangat pas dan cocok dilidah Shafa. “Bagaimana rasanya?” tanyaku. “hmm, lumayan enak.” Jawabnya. Aku sangat senang mendengarnya. “ sudah aku duga, kamu pasti suka dengan makanan buatanku. Bahkan aku menggoreng ayamnya dengan penuh cinta. Di dalam kuali ada wajahmu, dan juga jangan lupakan, percikan minyak yang panas ku anggap itu adalah ciuman darimu.” “uhuk,, uhuk,, uhuk,,,” Shafa tersedak, segera ku ambilkan air minum untuknya. “Pelan pelan saja sayang, aku tahu masakanku enak, kamu jangan khawatir. Setiap hari aku akan masak untukmu.” Ku lihat Shafa hanya mengangguk saja sambil fokus makan. Se enak iyukah masakanku? Senangnya,,, ternyata aku juga pintar masak. Multi talent sekali aku ini. perfect. “Kamu bilang wajahku ada di dalam kuali? Apa kamu sedang menyamakan aku dengan kuali?” Shafa bicara saat batuknya sudah mereda. “Bukan itu maksudku sayang. Wajahmu memang selalu ada di dalam fikiranku. Sehingga saat masakpun yang terlihat hanya dirimu.” Ucapku sedikit berbohong. Ku perhatiakan Shafa kembali fokus dengan makanan di depannya. Tidak sabar aku ingin mencoba sendiri masakan yang aku buat. Ku suap sesendok nasi goreng dan “uhuk,, uhuk,,. Makanan apa ini. rasanya seperti sampah, asin sekali!!” ku ambil air putih yang tidak jauh dariku. Ku lihat Shafa masih melanjutkan makan tanpa protes bagaimana rasanya. “Sayang jangan di makan, itu sangat tidak layak untuk di makan.” Aku melarang Shafa melanjutkan makan. “Kamu terlambat Ad,, makananku sudah habis.” Ucapnya santai. “Kenapa kamu memakannya? Kenapa kamu tidak jujur kalau masakanku tidak enak?” tanyaku. “Aku tidak sampai hati untuk membuatmu patah semangat Ad. Kulihat kamu begitu percaya diri dan semangat.” Katanya. “Maafkan aku sayang,,, aku telah memasak racun untukmu,, aku akan panggilkan dokter kemari. Agar kamu di periksa dengan teliti. Bagaimana nanti kalau kamu keracunan?” aku meras bersalah dan juga takut bersamaan. Ternyata memasak tidak semudah yang aku bayangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD