Dekapan itu Lova rasakan begitu erat, membuat hatinya yang selama ini dingin menghangat begitu saja merasakan pelukan sosok orang tua yang mengayominya selama masa SMA-nya.
“Lova … Ibu senang akhirnya kamu datang. Kamu … kelihatan kurus. Kamu apa kabar?” Tanya Bu Evi dengan tatapan yang sendu, menatap muridnya dengan seksama dan seketika merasa sedih saat ingatannya terlempar ke masa lalu.
“Baik, Bu. Maaf Lova baru menemui Ibu sekarang.”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, selama kamu sehat dan menjalani hidup kamu dengan baik, itu sudah cukup untuk Ibu, tapi bisakah kita besok makan siang bersama? Ibu masih ingin mendengar banyak tentang kamu. Malam ini sepertinya tidak memungkinkan ya? Ibu harus menyapa banyak orang.”
“Lova tidak bisa janji, Bu. Tapi Lova usahakan ya, besok Lova kabari.” Ucap Lova dengan nada yang lirih dan terdengar tersiksa.
Kepalanya tiba-tiba berdengung, dan tubuhnya terasa panas dan tidak nyaman.
“Lova … Kamu baik-baik saja, Nak?” Tanya Bu Evi yang terlihat khawatir.
“Kayanya masih jetlag ini, Bu, Soalnya tadi dari bandara langsung ke sini.” Ucap Lova yang tidak ingin membuat siapa pun khawatir dengan kondisinya apa lagi sampai menarik perhatian.
Namun, Lova tau, ada yang salah dengan tubuhnya, itu bukan sekedar jetlag, dan lucu sekali rasanya dia mengalami jetlag padahal hanya dua jam perjalanan, sedangkan dia terbiasa terbang dengan jam yang panjang.
Kepalanya yang semakin berdenyut pun dengan bagian tubuhnya yang lain membuat dia hampir limbung jika Bu Evi tidak menahannya.
“Kamu tidak baik Lova. Istirahatlah sebentar di atas. Ibu punya kamar suite di atas. Hotel ini milik suami Ibu, tapi malam ini kami tidak menggunakannya, jadi kamu bisa memakainya, kartunya berikan besok saat kita makan siang, ya?” Bu Evi menawarkan dan menatapnya prihatin.
Selain itu, dia juga berharap dengan menolong Lova malam ini bisa memperbesar kemungkinan Lova menerima ajakan makan siangnya.
Tangan Lova bahkan sudah gemetar saat menerima kartu akses itu, tubuhnya semakin tidak nyaman, dengan rasa panas yang pelan-pelan membakar dan membuatnya meremang, hingga dia menahan napasnya karena gejolak yang pelan-pelan naik itu.
Ini tidak bisa! Dia harus menenangkan dirinya dulu dan rasanya naik taksi ke apartemennya terlalu lama atau sesuatu yang buruk akan terjadi padanya, seseorang bisa saja memanfaatkan keadaannya.
“Sepertinya saya memang butuh istirahat sebentar, Bu. Terima kasih ya.”
Lova bergegas meninggalkan ballroom walau dia berjalan dengan terhuyung-huyung dan berusaha mempertahankan kewarasannya.
Dia masuk ke kamar itu dan langsung tergesa menuju kamar mandi. Napasnya semakin memburu, dia tidak bodoh untuk mengetahui reaksi tubuhnya disebabkan oleh apa. Hasratnya yang semakin naik, denyut di bagian tubuhnya yang semakin menggila dan membutuhkan pelepasan membuat wanita itu mengerang frustasi, pelan-pelan dia melepaskan bajunya sendiri.
Memejamkan matanya dan berusaha mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tangannya bergetar dan tubuhnya semakin lemah, lemah karena haus akan sentuhan untuk menuntaskan hasratnya yang semakin memuncak.
“Kenapa begini?! Siapa yang melakukan ini dan apa tujuannya?!” Lova menggumam frustasi, dan saat dia berhasil melepas kaitan branya, tepat saat itu juga dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, dia langsung berusaha menutupi tubuhnya dan berjongkok.
“Kak Galen?” Desis Lova dengan wajah yang memerah, namun belum sempat dia menanyakan bagaimana pria itu ada di ruangan yang sama dengannya, Galen tiba-tiba menariknya kuat dan mendorong tubuhnya ke dinding lalu mengungkungnya dengan tubuh pria itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lova? Apa kamu memang ingin bercinta denganku?” Desis Galen penuh makna, saat itu tatapan mereka bertemu, begitu dekat, dan Lova menyadari dari tatapan mata pria itu, jika kabut gairah yang terpancar di mata Galen sama dengan miliknya.
Bertepatan dengan kesimpulannya tentang keadaan Galen, tiba-tiba bibir pria itu langsung melumatnya, dan tangannya dengan lihai menjamah tubuh Lova yang memang sudah topless sehingga memudahkan Galen untuk meraih apa yang dibutuhkannya di tengah gejolak hasrat yang semakin memuncak.
“Kak …Ga..len …” Lova dengan sisa kewarasannya di tengah gempuran hasrat yang semakin menggila berusaha untuk melepaskan diri dari Galen. Namun, Galen yang sudah kehilangan kewarasannya dan haus akan sentuhan dengan hasrat yang menggebu-gebu telah menutup mata.
Dia menyerang Lova dengan gila dan mencecap setiap inchi tubuh wanita itu dengan sentuhan yang membawa Lova pada kehilangan akal sehatnya.
Gairah yang sejak tadi coba mereka tahan karena pengaruh obat itu pelan-pelan lenyap, atas dasar saling membutuhkan dan butuh segera dituntaskan atas perasaan yang menyiksa itu, keduanya menyatu dalam gairah dan hasrat yang membara.
Penolakan lemah yang tadi sempat dilakukan Lova hilang tak berbekas berganti dengan desahan dan erangan yang saling bersahutan, erangan yang pelan-pelan menjadi desahan panjang menandakan jika mereka benar-benar hanyut dalam gairah percintaan yang memabukkan.
Galen yang sudah tidak memikirkan apapun lagi selain meraih puncak kenikmatan itu langsung membopong Lova dan membaringkan tubuh wanita itu di ranjang, melepas semua pakaiannya dan menarik dengan sedikit kasar rok Lova termasuk underwear gadis itu.
***
Lova terjaga lebih dulu dengan tubuh yang terasa remuk, terutama bagian bawahnya, yang terasa perih saat dia berpindah posisi dari berbaring miring menjadi telentang.
Tatapannya kosong pada langit-langit kamar hotel mengingat semua yang terjadi dalam semalam. Dia menengok pada Galen yang masih lelap dengan tubuh polos di balik selimut, sama seperti keadaannya.
Reuni sekolah yang merubah hidupnya dengan begitu gila. Dia tidak pernah ingin kembali bersinggungan dengan Galen, mantan kekasihnya semasa SMA. Sebisa mungkin dia ingin lari menjauh dan mengubur dalam-dalam masa lalunya itu.
Namun kini, hanya dalam waktu semalam. Setelah sembilan tahun tidak bertemu, di pertemuan pertama dia justru berakhir di ranjang dengan pria itu. Berakhir menyerahkan keperawanannya pada pria itu.
Galen terbangun dan mendapati Lova yang masih berbaring dengan tatapan kosong menatap ke langit-langit. Helaan napas wanita itu terdengar berat, semua kenangan semalam dan bagaimana wanita itu meneteskan air matanya dan menjerit sakit saat Galen akhirnya berhasil menyatukan tubuh mereka membuat Galen memejamkan matanya.
“Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi kamu.”
Suara Galen yang terdengar dingin menyentak Lova dari lamunannya, dia menoleh pada Galen yang juga menatapnya dalam.
“Tidak usah. Lupakan kejadian semalam. Kita sama-sama membutuhkannya dan menikmatinya. Anggap saja tidak ada yang terjadi dan kita tidak pernah bertemu semalam, Kak. Jika ke depannya kita kembali bertemu, pura-pura lah tidak saling mengenal.” Ucap Lova dalam satu tarikan napas.
Nadanya sama dinginnya dengan Galen, dia lalu bangkit dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, membuat tubuh polos Galen langsung terpampang nyata.
Jawaban Lova cukup mengejutkan Galen, apalagi nada suara wanita itu yang dingin dan tak tersentuh. Saat wanita itu menarik selimut mereka dan beranjak menuju kamar mandi, Galen bisa melihat jejak percintaan mereka semalam dengan noda darah yang sangat jelas ada di sprei putih itu. Bagaimana wanita itu bisa begitu tenang setelah sesuatu yang berharga direnggut olehnya?
Bahkan menolak pertanggung jawabannya dengan lantang seolah tidak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan tidak.
Bukankah seharusnya wanita itu yang memohon pertanggung jawaban darinya? Mengiba dengan nada ketakutan bagaimana jika hasil percintaan mereka semalam membuahkan hasil? Namun wanita itu terlalu tenang, seolah tidak mengkhawatirkan apa pun.
Jika Galen bukan pria pertama untuknya, tentu Galen tidak akan terlalu merasa berat karena itu artinya Lova memang sering having sexx, tapi kenyataan Lova masih perawan menghantam telak Galen jika dialah yang telah merenggut hal yang seharusnya menjadi hak suami wanita itu nantinya. Sehingga Galen akan tetap bertanggung jawab penuh.
Masih banyak pertanyaan yang menggelayuti hati Galen tentang kejadian semalam dan bagaimana Lova bisa berakhir di sini bersamanya, namun semua pikiran itu buyar saat dia melihat Lova yang sudah masuk ke kamar mandi dan memakai bathrobe mengingat roknya sudah berakhir mengenaskan dan tidak bisa lagi digunakan.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahi kamu, Lova!” Sekali lagi Galen menyuarakan keputusannya, kini terdengar tajam dan tidak mau dibantah.
Lova juga menatapnya tajam dengan raut wajah yang lelah. “Sudah kubilang tidak perlu memperpanjang masalah ini, Kak. We are just having sexx and nothing to worry about. Aku lebih senang kita tidak saling bertemu dan melupakan kejadian semalam.” Ucap Lova yang sekali lagi menyentil hati Galen.
“Oh jelas aku mengkhawatirkan sesuatu. Kamu menolakku begitu kuat, sangat mungkin jika kamu hamil anakku, kamu tidak berpikir dua kali untuk menggugurkannya, sama seperti kamu yang begitu mudah melupakan malam panas kita.”
Kini Galen bahkan sudah beranjak dari ranjang dengan tubuh polosnya, membuat Lova langsung memalingkan wajahnya dan itu justru membuat Galen menyeringai.
“Kenapa? Apa ucapanku benar? Aku tidak akan melepaskan kamu, Lova!”
“Sinting kamu, Kak! Minggir! Jangan pernah mengusikku lagi! Kita jalani hidup masing-masing seperti permintaan Kaka sembilan tahun yang lalu!” Ucap Lova, bertepatan dengan itu pintu hotel diketuk.
Lova mengangguk dan menerima baju dari petugas hotel itu dengan senyum tipis, lalu menutup pintu kembali. Memilih masuk ke walk in closet dan membiarkan Galen di sana.
“Kak Galen!” Lova berteriak keras saat Galen tiba-tiba saja ikut masuk ke walk in closet, dengan kasar dia melempar paper bag di tangannya ke Galen, namun pria itu dengan tangkas langsung menepisnya.
“Kita akan menikah, Kaysa Lova! Aku akan bertanggung jawab!” Galen tetap mengatakan ucapan yang sama, membuat Lova mendengus keras.
“Tidak. Sampai mati aku tidak akan menikah dengan Kaka! Untuk apa Kaka menikah dengan perempuan yang Kaka benci? Kita sudah berakhir dengan saling membenci sembilan tahun lalu. Semalam hanya kesenangan, tidak perlu bertanggung jawab karena kita sama-sama menikmatinya.”
Lova lalu beranjak dari sana, benar-benar langsung keluar dari kamar hotel yang menjadi saksi bisu dosa besar yang telah dia lakukan dan menjadi benang merah antara masa lalu yang akan terajut dengan masa depan dengan orang yang sama.