Gadis itu menarik napasnya dalam dengan perasaan yang gugup memasuki sebuah ballroom hotel tempat reuni SMA nya diadakan.
Helaan napasnya terdengar penuh beban, langkahnya yang dulu penuh percaya diri dengan tatapan yang tegas hilang entah ke mana setelah delapan tahun berlalu.
Andai bukan karena undangan dari guru yang sangat dekat dengannya, yang mengetahui bagaimana kehidupannya di satu tahun terakhir masa SMA nya, tentu dia akan menolak dan mengabaikan mentah-mentah permintaan itu.
Namun, gurunya yang tidak pernah menyerah untuk terus menanyakan kabarnya setelah kelulusannya dan memintanya bertemu berkali-kali membuat gadis itu akhirnya menyerah, dan sang guru ingin bertemu dengannya di acara reuni akbar tahun ini.
Pada akhirnya gadis itu menyerah dan menuruti permintaan sang guru yang telah berjasa selama kehidupan masa SMA-nya, hanya menemuinya lalu pulang. Itu rencananya, tidak perlu berbasa-basi pada teman-temannya atau bertahan di sana lebih lama.
Tujuannya hanya mencari Ibu Evi, bertemu dan mengobrol sebentar, lalu mengatakan jika dia masih memiliki urusan dan akan pulang lebih awal.
“Lova,” panggilan itu menyentak Lova dari keterkejutannya, membuatnya reflek membalikkan badannya dan tersenyum tipis pada wanita yang berjalan dengan langkah panjang ke arahnya.
“Ini beneran lo? Ha? Serius? Ya Allah …. Akhirnya lo nongol juga di reuni akbar tahun ini. Kangen banget!”
Wanita itu tanpa aba-aba langsung menubruk tubuh Lova dan memeluknya erat, membuat Lova hanya menahan napasnya, tidak ada senyum di wajahnya atau membalas pelukan itu.
“Tania, udah. Lepas.” Bisik Lova, begitu datar dan membuat Tania melepaskan pelukannya, menatap Lova dengan sejuta makna.
“Lo kemana aja? Ngilang setelah lulusan, ngga bisa dihubungi sama sekali. Gue khawatir, lo masih anggap gue temen kan, Va? Gue tau lu butuh waktu, tapi delapan tahun terlalu panjang buat lu cuekin gue. Jahat tau, ngga?” Tania sudah meneteskan air matanya, memukul bahu Lova ringan, namun Lova tetap tidak menunjukkan reaksi berlebihan.
Hanya menyungging senyum tipis, setipis tisu yang bahkan terlihat sangat samar.
“Maaf.”
Tania tidak terkejut dengan jawaban Lova, dia hanya menghela napasnya panjang.
“Kasih gue nomor lo. Kalo lo tolak gue bakal patah hati. Please?”
Pada akhirnya Lova mengambil ponsel yang disodorkan oleh Tania dan mengetikkan nomor ponselnya, sesungguhnya dia tidak sedang ingin menjalin hubungan pertemanan dengan siapa pun, namun melihat Tania yang masih mengingatnya dan merindukannya membuat Lova menggunakan sedikit perasaannya pada temannya itu.
“Thanks … Abis ini kita nongkrong dulu gimana?”
Tania masih belum menyerah, namun gelengan dari Lova meruntuhkan semangat wanita itu.
“Aku ada urusan abis ini.”
“Oke, tapi next time jangan tolak gue lagi ya?” Pinta Tania yang kini merangkul bahu Lova untuk berbaur dengan teman-teman yang lain.
Lova langsung menyingkirkan tangan Tania. “Aku mau cari Bu Evi dulu.” Ucap Lova yang kembali mengabaikan Tania.
Tania menatapnya sedih namun tidak bisa memaksa Lova, setidaknya kini dia tau Lova sudah ada di Jakarta dan dia telah memiliki kontaknya.
Karena tidak melihat Bu Evi dimanapun, dan dia sudah menghubungi nomor gurunya itu namun belum ada jawaban, Lova pada akhirnya memilih menjauh dari keramaian setelah mengambil orange juice untuk melepaskan dahaganya.
Dia sengaja menjauh dari teman-temannya yang sibuk berbincang dan melepas rindu dengan mengenang masa lalu mereka.
Lova yang sibuk dengan ponselnya tidak pernah menyadari jika sejak dirinya memasuki ballroom hotel, ada tatapan setajam elang yang terus tertuju ke arahnya seolah siap untuk menerkamnya.
Sekali pun wanita itu memilih ke sudut yang sepi dan duduk seorang diri di sana, namun pria itu tetap bisa memperhatikannya dengan jelas, memperhatikan bagaimana wanita itu terlihat gelisah dalam duduknya dan sibuk dengan ponselnya.
“Lova …” Panggilan yang cukup lantang itu menyentak beberapa orang yang ada di sana, pun dengan Lova yang langsung mendongak dan tatapannya langsung bertemu dengan pria yang juga menatapnya begitu tajam dan penuh makna, membuat Lova sendiri takut untuk menerjemahkan tatapan itu.
“Sini gabung, Va. Aih … Kangen banget. Akhirnya bisa liat lo lagi setelah delapan tahun.”
Seorang wanita menghampiri Lova dan dengan sedikit memaksa dia menyeret Lova untuk bergabung dengan mereka, para anggota OSIS yang dulu satu periode dengannya.
Inilah yang sesungguhnya paling Lova hindari, namun dirinya kini sudah terjebak dalam situasi yang membuatnya tidak bisa lari lagi.
“Kak Galen … Ngga CLBK kan ketemu mantan? Lo kan udah mau nikah ya sama anaknya dari keluarga Maheswara?”
Pertanyaan itu menyentak Lova, namun bukan karena dia mendengar sang mantan akan menikah. Apakah pria itu akan menikah dengan kakaknya atau saudara tirinya? Sedang Galen yang mendapat pertanyaan itu hanya mendengus sinis dengan tatapan yang jengah.
“Ngga ada sejarahnya gue jatuh cinta lagi sama mantan. Semua udah selesai di saat kita selesai sembilan tahun lalu.” Ucap Galen dengan nada yang sinis juga tajam, membuat Lova menahan napasnya dan berusaha menguasai dirinya.
“Oke … Oke … Sorry … Jangan bahas masa lalu lagi deh. Mending update kehidupan kita-kita aja. Kangen ngga si, rapat OSIS sampe sore di sekolah? Apalagi kalo udah ada acara, beh bisa sampe malem kita.” Ucap salah satu dari mereka yang coba mengalihkan suasana.
“Lova apa kabar? Kayanya dari semua anggota OSIS, bener-bener cuma Lova ya yang lost contact, ngga ada sosmed sama sekali, nomornya ngga aktif, ngga tau juga kuliah di mana. Masih single apa taken nih, Neng Lova?” Tanya Galih, salah satu kakak kelasnya dulu. Yang menjabat sebagai wakil ketua osis mendampingi Galen yang saat itu menjadi ketua OSIS.
Lova hanya bisa mengulum senyum tipis, sedang semua teman-temannya menunggu dengan rasa penasaran yang selama ini mereka pendam, bertepatan dengan itu seorang pramusaji menawarkan minuman kepada Lova dan Galen yang memang berdiri bersisihan.
Lova dan Galen reflek mengambil minuman itu namun tidak langsung meminumnya.
“Aku kuliah di London, Kak. Terus lanjut kerja di sana, dua tahun ini baru pindah ke Bali soalnya kena mutasi. Baru hari ini nyampe Jakarta, rencananya cuma ambil cuti seminggu.” Soalnya mau rayain anniversary sama pacar aku. Lova melanjutkan itu dalam hati.
“Pantas ngga pernah keliatan dan ketemu papasan gitu, padahal kalo sama yang lain gue masih suka ketemu secara ngga sengaja. Jadi single apa taken?” Galih kembali menanyakan pertanyaan yang belum terjawab.
Belum sempat menjawab pertanyaan Galih, suara seorang wanita yang begitu manja dan penuh kelembutan menyapa indra pendengarannya, suara yang dulu sangat familiar dan sangat dia benci bahkan hingga detik ini.
Jika dulu dia ingin mencoba mengalahkan wanita yang selalu berusaha memonopoli Galen, kini yang dia inginkan adalah menghindar dan jika bisa tidak perlu lagi bertemu dengan wanita itu. Wanita terlalu menakutkan, menakutkan hingga membuat Lova enggan untuk berurusan dengannya.
“Kak Galen … Kok ninggalin aku? Aku kan jadi nyariin kakak.” Nada suara yang manja itu membuat beberapa anggota OSIS yang masih bertahan di sana dengan obrolan nostalgia mereka hanya bisa menggeleng dan mengulum senyum memperhatikan wajah polos dan manis adik Galen itu.
“Yaelah, El. Lu bukan anak SMA lagi, kakak lo juga bentar lagi merit, bisa-bisanya lo masih nempelin aja, kasihan yang jadi istrinya nanti itu Galen dimonopoli terus sama lo.” Itu suara Hanin, yang memang terkenal ceplas-ceplos.
Elodie, adik Galen yang mendengar itu hanya bisa mendengus dan kembali mengadu dengan manja pada Galen.
“Kak … Apa Elodie selama ini mengganggu Kakak? Elodie senang kok jika Kaka memutuskan akan menikah, Elodie akan menyayangi istri Kaka sama seperti Elodie menyayangi kakak.”
“I know, udah ngga usah diambil hati omongan Hanin. Tadi kan kamu masih sama temen-temen kamu,” Galen menanggapinya dengan santai, membuat Hanin yang mendengar itu mendengus malas, lagu lama melihat tingkah Elodie seperti itu pada Galen.
Lalu tatapannya diam-diam beralih pada Lova yang kini menikmati minumannya, menganggap tidak peduli atas bagaimana teman-temannya mengomentari Galen dan adik kesayangannya itu.
Ponselnya yang bergetar membuat Lova sangat bersyukur, itu panggilan dari Bu Evi yang sedang ditunggunya, dengan begini dia bisa langsung pulang sesuai rencananya.
Lova melirik sekilas pada Galen dan Elodie di mana Elodie terlihat manja sama seperti dulu, lalu melihat pada teman-teman satu organisasinya dulu yang mengobrol masing-masing.
“Kak, aku menemui Bu Evi dulu ya. Sudah janji.” Ucap Lova pada Galih yang ada di dekatnya, membuat Galih mengangguk.
Tatapan Galen tetap tajam pada Lova yang sudah pergi dari sana, dia menenggak kasar minumannya hingga tandas, lalu berusaha melepaskan Elodie yang terus merangkul lengannya.
“Aku ke toilet sebentar, El.” Ucap Galen lalu pergi dari sana begitu saja.
“Galen Keandra? Senang bertemu kamu di sini.” Panggilan itu menghentikan langkah Galen, membuatnya menoleh dan senyumnya langsung terukir sempurna melihat siapa pria yang menyapanya.
“Pak Esha. Suatu kehormatan bisa bertemu Bapak di sini.” Galen membalasnya dengan ramah, namun dia tidak bisa menyembunyikan kerutan di keningnya, bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang pengusaha di reuni sebuah sekolah?
“Oh, saya tau apa yang mengganggu pikiran kamu, Galen. Saya menemani istri, Eviana, guru kimia di SMA Nusa Bangsa. Mungkin kamu pernah diajar olehnya juga.”
“Oh, Bu Evi adalah istri Pak Esha? Saya tidak menyangka istri bapak seorang guru. Iya, saya dulu pernah diajar oleh beliau.” Galen menunjukkan tatapan kekaguman.
Pak Esha adalah sosok yang dia hormati sebagai pengusaha senior yang tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia bisnis, terutama bisnis perhotelan.
“Benar sekali, saya juga tidak menyangka kamu lulusan SMA Nusa Bangsa dan menjadi salah satu murid istri saya.”
Galen menggelengkan kepalanya saat dia merasa sedikit pusing, dan Esha menyadari itu.
“Galen, are you okay?”
Justru kini Galen merasa ada yang salah dengan tubuhnya, dia hampir limbung jika Esha tidak menahannya.
“Oke. Sepertinya kamu tidak baik. Pakai suite saya saja. Ada di lantai paling atas. Ini aksesnya, hanya ada satu ruangan di lantai paling atas.”
Esha yang memang merupakan pemilik hotel tempat reuni diadakan begitu mudah memberikan kartu akses untuk rekan bisnisnya itu untuk membantunya.
Bagi Esha, Galen adalah anak muda yang dia kagumi, karena di usianya yang masih muda, dia bahkan mampu menyainginya, menjadi pengusaha muda yang cukup berpengaruh di Indonesia dan membuat perusahaan keluarganya meningkat pesat dalam empat tahun ini.
“Pak Esha … Terima kasih. Saya sepertinya butuh istirahat sebentar.” Ucap Galen yang langsung menerima kartu akses itu dan berjalan dengan langkah cepat menuju ke lift saat dia merasa tubuhnya semakin panas dan hasratnya naik begitu saja.
Begitu masuk ke kamar yang super mewah itu, Galen merasa kondisinya semakin tidak karuan, dia merasa sekujur tubuhnya memanas yang pelan-pelan menyiksanya, pusat tubuhnya terus berdenyut memberikan rasa nyeri karena membutuhkan pelepasan.
“Bangsatt! Siapa yang berani mengerjaiku seperti ini?!” Galen menendang kakinya ke ranjang, berharap rasa sakitnya bisa mengalihkan rasa panas yang menyiksanya begitu hebat.
Minuman itu pasti telah diberi obat perangsang!
Dia mengingat-ingat apa saja yang dia makan dan minum, namun satu-satunya minuman yang masuk ke tubuhnya adalah minuman yang sama yang diterima oleh Lova dari seorang pramusaji yang memberikan pada mereka berdua.
Sepanjang acara reuni, hanya itu saja yang dia minum. Dia menggeram dengan desahan yang menyiksa, memutuskan untuk ke kamar mandi dan berendam air dingin untuk menekan hasratnya.
Namun, begitu membuka pintu kamar mandi, tubuhnya menegang sempurna melihat wanita yang telah mengacaukan hidupnya di masa lalu ada di sana, setengah telanjang dengan tubuh yang berkeringat dan terlihat sama-sama tersiksa sepertinya.
“Kak … Galen?” Panggil Lova dengan nada yang tersiksa melihat Galen juga sudah polos bagian tubuh atasnya.
Lalu tubuhnya refleks mundur perlahan melihat Galen yang sudah merangsek maju dan menarik tangannya dengan kuat lalu mengungkungnya di antara dinding kamar mandi dan tubuh pria itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lova? Apa kamu memang ingin bercinta denganku? Ini jebakan kamu kan, pasti?!” Bisik Galen dengan nada yang serak dan begitu dekat dengan wajah Lova, sehingga Lova bisa merasakan embusan napas pria itu dan di detik selanjutnya, pria itu sudah mencecap bibirnya dengan hasrat yang menggebu-gebu dan naik dengan sempurna untuk mereka menghabiskan malam yang panas dan membara karena gairah.