Camilla

1124 Words
Sudah hampir tengah malan, saat Barra menghentikan mobilnya di depan sebuah pintu pagar besi dengan sebuah tulisan besar Camilla Homestay, Batu Malang. "Bener ini?" Tanyanya pada Dominik yang masih memperhatikan peta di ponselnya. "Ya. Titiknya bener kok, di sini," sahutnya. "Tapi kok, gak ada yang jaga?" Ucapnya lagi seraya turun dari dalam mobil lalu menghampiri sebuah pos kecil yang berada di sudut pintu. Terlihat seorang pria berjaket hitam yang terkejut bangun. Setelah Dominik berbicara sejenak, ia pun bergegas membuka pintu pagar besi itu dan mempersilakan mobil untuk parkir di halaman. "Yuk! Dia ternyata emang nungguin kita dari tadi. Rumahnya udah diberesin katanya, tinggal masuk." Dan Barra pun memarkirkan mobil di halaman rumput yang luas, di depan sebuah rumah kecil bernomor 12. Dipandanginya wajah Alma yang masih terlelap. "Udah sampai?" Tanya Alma membuka mata saat dirasakannya mobil tak lagi bergerak. "Baru mau aku gendong ke kamar," goda Barra. Membuat Dominik terbatuk mendengarnya. Alma tersenyum. Dipandanginya deretan rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu itu. Seperti pondok-pondok di tengah sebuah taman besar. "Kamu suka?" Tanya Barra seraya mematikan mesin mobil lalu membuka pintunya. Seketika udara dingin menyeruak masuk. Alma mengangguk. Barra kembali tersenyum. Ia sudah tahu Alma akan suka. Karena Alma selalu menyukai kemana pun tujuan yang ia pilih. Ia tidak pernah protes. "Wow! Keren, Bro!" Seru Dominik begitu membuka pintu rumah. "Akhirnya dia kasih kita yang dua kamar." "Ini punya teman kalian?" Tanya Alma. Diamatinya seluruh ruangan bernuansa coklat itu. Ada dua kamar yang terpisah dengan sebuah kamar mandi yang nyaman. Dan satu set sofa dengan televisi di atas bufet kayu. Dominik memandang Barra sesaat. "Hm, ya. Teman aku sih, sebenarnya. Barra cuma pernah aku kenalin sekali waktu kita ke Malang dulu. Namanya sama kayak nama penginapannya, Camilla," sahutnya. Diliriknya Barra kembali. Ia takut jawabannya salah. Barra mengangguk dengan senyum. "Kamu mau di kamar ini?" Tanyanya. Diletakannya tas besar Alma di atas tempat tidur yang ternyata berukuran kecil. Alma kembali mengangguk. "Kamu di mana?" Tanyanya khawatir saat menyadari kedua kamar itu ternyata memiliki tempat tidur dengan ukuran kecil. "Barra di kamar satunya. Aku sih gampang bisa di sofa. Aku kan, gak lama di sini," sahut Dominik. Kini ia menghempaskan tubuh besarnya di atas sofa empuk berwarna krem itu. "Aku... sewa rumah sendiri aja, Bar. Biar kalian aja yang di sini." Alma memandang Barra. Barra menggeleng. "Penuh, Ma. Malahan tadinya cuma ada yang satu kamar. Ya, kan Dom?" Barra melirik Dominik. "Ya, penuh. Gak pa-pa aku di sofa. Aku kan, cuma sebentar di sini. Gak boleh lama-lama ikut sama Barra," sahut Dominik setengah merajuk. Alma tertawa. "Memangnya kita di sini berapa lama, Bar?" Barra menggeleng. "Enggak tahu. Papamu kan, besok datang dari luar negeri. Kita tunggu aja perkembangannya." "Aku enggak berani kalau ngomong langsung sama Papa. Aku takut enggak bisa nolak lagi perintahnya." "Kalau gitu kita tunggu kabar dari Mamamu. Sekarang kamu istirahat dulu, ya? Tidur dulu. Besok kita pikirin lagi. Ok?" Barra mengusap-usap rambut Alma. Tak berapa lama Alma pun masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. "Gak nyangka gue ngeliat lu bisa jatuh cinta beneran sama cewek." Dominik memandang Barra seraya mengeleng-gelengkan kepalanya. Barra tertawa lalu melempar bantal sofa ke wajah Dominik. "Makanya, jangan sampai Alma tahu soal Camilla." "Gua udah ceritain sih, semuanya sama Milla. Dia sih, gua yakin gak bakal bocorin pelarian kalian. Tapi kalo soal perasaan kan, gua gak tahu." Dominik beranjak duduk. Dipandangnya Barra dengan wajah serius. "Maksud lu?" Barra menatap Dominik. "Maksud gua, kalo cuma dari suara aja kan dia seneng-seneng aja bantuin kalian. Tapi kalo besok dia ketemu lu terus sikapnya berbeda ya, bukan tanggung jawab gua." "Udah tiga taun, Dom. Cuma seminggu kita ketemuan. Masak iya dia masih cinta sama gua. Gua kan, cuma iseng aja waktu itu godain dia." "Ya, namanya cewek... buat lu, iseng..." Kini Dominik menghempaskan kembali tubuhnya di atas sofa lalu menutup wajahnya dengan bantal. Barra menatap lantai kayu di bawah kakinya dengan pikiran menerawang. Hatinya kini ragu. Bagaimana sikap Camilla nanti saat bertemu Alma. Apakah ia akan cemburu? Tapi masak iya dia masih menyimpan rasa padanya setelah sekian lama. Ia tahu Camilla memang masih sering menghubunginya hingga beberapa bulan setelah ia kembali ke Jakarta. Tapi ia lalu menghilang begitu saja. Barra memandang Dominik yang kini sudah mendengkur. Ia lalu beranjak bangun dan masuk ke dalam kamarnya. ... "Good Morning!" Suara nyaring seorang wanita dari pintu yang terbuka membuat Dominik langsung terbangun dari sofa. "Milla?" Sapanya terkejut. "Hai! Aku bawain sarapan!" Wanita yang bernama Milla itu menunjukan dua bungkusan plastik yang dibawanya, lalu di letakkannya di atas meja kopi. "Barra mana?" Tanyanya melirik ke kamar yang kosong. "Oh, lagi nemenin Alma keliling-keliling," sahut Dominik. "Anak jenderal itu?" Terdengar nada sinis keluar dari mulut Milla. Sesaat Dominik terdiam dengan canggung. "Hmm... Sorry ya, gua cuci muka dulu," sahutnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Dan sesaat kemudian keluar dengan wajah yang segar. "Apa kabar? Tambah cakep lu, sekarang!" Dominik mengulurkan tangannya, menyalami Milla. Milla tersenyum. "Lu tambah subur aja! Katanya enggak betah di Semarang?" Selorohnya. Dominik tertawa. "Makasih ya, udah bantuin gua. Untung lu masih ada tempat kosong. Kasian mereka." Milla kembali tersenyum, namun dengan wajah yang berbeda. "Lagian ngapain sih, Barra nyusahin diri sendiri?" Ucapnya, membuat Dominik menatapnya dengan terkejut. Ternyata yang dikhawatirkannya benar terjadi. Dia masih menyimpan rasa pada Barra. "Yah, namanya juga cinta..." Sahut Dominik. Ditatapnya Milla kembali untuk melihat reaksinya. Tapi Milla malah terdiam. Ia sibuk membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Sampai kemudian terdengar suara langkah masuk ke dalam rumah. "Hai?" Barra tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya melihat Milla. Sesaat ia tertegun. Tiga tahun tak bertemu, Milla terlihat berbeda. Ia lebih cantik. "Apa kabar?" Sapa Milla seraya memeluk dan mengecup kedua pipi Barra, membuat Barra salah tingkah. "Baik..." sahut Barra sambil sedikit melangkah mundur dan menarik tangan Alma lalu memperkenalkannya. Milla menyambut uluran tangan Alma. Dipandanginya Alma dari ujung kaki sampai ujung kepala membuat Alma menundukan kepala dengan canggung. "Hmm, aku buatin minum dulu, ya?" Ucap Alma pada Barra seraya berjalan ke sebuah meja kecil di mana terdapat perlengkapan untuk membuat minuman panas. Tiba-tiba saja suasana menjadi kaku. "Sarapan dulu, yuk. Milla bawain sarapan!" Suara Dominik mencairkan suasana. "Aku bawain kesukaan kamu. Apple Pie Kota Batu, Malang. Aku sampai antri pagi-pagi belinya." Milla membuka bungkusan plastik dan mengulurkan sebuah kotak berisi makanan yang masih hangat itu ke tangan Barra." "Oh! Makasih banget. Kamu masih ingat aja," sahut Barra. Diliriknya Alma yang tengah menuang air ke dalam teko listrik. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Milla yang memunggunginya. Barra tahu Alma cemburu. "Masih, dong! Emangnya kamu gampang lupa sama mantan." Seketika Dominik berdehem, seperti tersedak sesuatu. Barra meliriknya. Ia tahu Dominik sengaja melakukannya agar Alma tak mendengarnya. Dengan gelisah Barra memandang Alma yang kini memunggunginya. Ia tahu, Alma mendengarnya. Ditariknya nafas dalam dalam. Kini ia menyadari, tujuannya kali ini sangat salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD