bc

Menculik Anak Jenderal

book_age16+
7
FOLLOW
1K
READ
BE
reincarnation/transmigration
brave
blue collar
drama
campus
highschool
disappearance
civilian
like
intro-logo
Blurb

Berpacaran dengan Alma selama lima bulan, Barra terus saja menolak saat Alma ingin mengenalkannya kepada orang tuanya. Ia belum siap jika harus berhadapan dengan Ayah Alma, seorang Jenderal paling disegani di negeri ini. Barra merasa dirinya tak sebanding. Ia tidak punya apa-apa untuk dibanggakannya, selain Ibunya. Ia bahkan tak pernah mengenal Ayahnya yang telah meninggalkannya begitu saja sejak ia masih kecil.Sampai saat hari itu tiba, saat Barra benar-benar harus berhadapan dengan Sang Jenderal yang ternyata tak menyetujui hubungan mereka. Barra hampir saja putus asa, hingga kemudian Alma muncul di hadapannya. Menangis dan memohon untuk membawa pergi dirinya.

♥♥

Demi memperjuangkan restu Sang Jenderal Barra dan Alma pun memulai pelariannya. Dibantu oleh seorang sahabat Barra, mereka pun melakukan perjalanan panjang yang menegangkan mulai dari Jakarta, Yogya, Semarang, Bromo hingga Bali. Bersembunyi dari kejaran orang-orang suruhan Sang Jenderal.

♥♥♥

Ikuti keseruan perjalanan panjang Barra dan Alma yang menegangkan, yang dibumbui oleh romantisme, persahabatan serta penghianatan demi sebuah restu orang tua.

chap-preview
Free preview
Alma
Jadi...?" Alma menatap Barra, menunggu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Barra menoleh sesaat. Diletakannya kedua sumpit di atas mangkuk mie ayamnya yang hampir habis. Keningnya berkerut. "Hari Minggu ini?" Tanyanya lagi, memastikan. Alma mengangguk tak sabar. Ditunggunya lagi beberapa saat. Tapi laki-laki di hadapannya itu malah mengusap wajahnya lalu diam termangu, membuat kesabarannya pun habis seketika. "Ok! Terserah! Kamu memang enggak pernah serius sama hubungan kita!" Alma beranjak dari duduknya dengan kesal. Tapi tangan Barra keburu mencegahnya dengan cepat sebelum ia sempat melangkah. "Jangan ngambek dong, sayang...?" Rayu Barra seraya menarik tangan Alma untuk kembali duduk di sampingnya. "Memangnya harus Minggu ini banget?" Tanyanya lagi, membuat mata Alma melotot lalu mendaratkan cubitan gemasnya ke tangan Barra. Dan Barra pun sontak menjerit. Membuat orang-orang di kantin kampus itu menoleh dan tersenyum geli ke arah mereka. "Aku kan, dari tadi bilang, Papa mau dinas ke luar negeri. Dan ini permintaanku yang keempat kalinya, dan permintaan Papa yang kedua kalinya!" Alma mengacungkan dua jarinya dengan mata melotot. "Ok! Ok!" Sahut Barra seraya mengusap-usap tangannya yang dicubit Alma. Dihembuskannya nafas dengan raut wajah yang pasrah. "Kali ini Papa benar-benar serius, Bar. Papa enggak mau kita kucing-kucingan lagi. Lima bulan kita pacaran, Papa dan Mama sama sekali belum lihat wajah kamu." Alma memandang Barra dengan wajah memelas. "Kenapa kamu enggak kasih liat foto aku dari hape aja?" Tanya Barra dengan wajah polos. Dan Alma pun kembali menatap Barra dengan mata melotot. "Kalau begitu mulai besok kita pacaran pakai hape aja, enggak usah ketemuan!" "Ok! Aku datang!" Sahut Barra buru-buru. "Jangan marah-marah terus, dong!" Rayunya kembali seraya meraih kedua tangan Alma dan menyunggingkan senyum termanisnya. Senyuman gombal yang akhirnya berhasil membuat hati Alma kembali luluh. "Aku pegang kata-kata kamu. Kalau kamu sampai mengingkari janji... Kita putus!" Ucap Alma dengan tatapan yang mengancam. Membuat mata Barra seketika terbelalak. "Aaaah, Alma! Kamu kok, pakai ngancam-ngancam segala?" Gerutunya. Diteguknya hingga habis es tehnya dengan cepat sebelum kemudian beranjak dari duduknya dan mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Tapi belum sempat ia membayar Alma sudah terlebih dulu mengulurkan uang pada pelayan untuk membayarkan makanan dan minumannya. "Ah! Kamu selalu begitu! Kalau cuma mie ayam aku bisa bayar, Ma!" Protes Barra dengan wajah cemberut. Ia merasa malu melihat orang-orang di kantin itu kembali memandangi mereka sambil tersenyum-senyum. Ia tak ingin dianggap sebagai cowok materialistis. "Kelamaan!" Sahut Alma seraya menarik tangan Barra keluar dari dalam kantin yang ramai itu. Alma memang tidak suka berlama-lama berada di kantin kampus. Ia tidak suka dirinya menjadi pusat perhatian. Karena semua orang di sana tahu siapa Alma. Anak seorang Jenderal Militer yang tengah berkuasa di negeri ini. "Tenang aja... Aku akan tagih semuanya kalau kamu sudah kerja," imbuh Alma melihat wajah Barra yang masih bersungut saat mereka sudah berada di halaman parkir. Dan Barra pun akhirnya tersenyum. Ia tahu Alma melakukannya dengan tulus. "Body guard kamu di mana?" Tanya Barra seraya memberikan helm pada Alma dan membantu mengenakannya. "Nanti juga kalau kita jalan dia muncul sendiri," sahut Alma acuh. Dan benar saja, beberapa saat motor meluncur di jalan raya, sebuah SUV hitam dengan dua orang pria tegap berseragam hijau di kursi depan sudah berada tepat di belakang mereka. Barra tahu, Alma sebenarnya benci sekali harus selalu dikawal dan diawasi ke mana pun dia pergi, bahkan hanya untuk ke kampus sekali pun. Tapi dia tak kuasa untuk menolaknya. Alma harus mengikuti perintah Sang Jenderal, atau dia tidak akan diijinkan untuk keluar rumah sama sekali. Dari kaca spion motornya Barra mengawasi para pengawal berambut cepak yang mengikuti motornya. Ditepuknya tangan Alma yang melingkar erat di pinggangnya. "Jangan terlalu nempel, nanti dilaporin Papa kamu!" Teriaknya dengan kencang, mencoba melawan deru bising kendaraan di jalan yang ramai itu. Tapi seolah tak mendengar Alma malah semakin mengeratkan pelukannya dan sengaja menyandarkan kepala di punggungnya hingga mereka sampai di depan sebuah gerbang kompleks perumahan mewah. Barra mematikan mesin motornya. Dilihatnya mobil SUV hitam itu pun ikut berhenti beberapa meter di belakang mereka. Dan salah seorang pria itu lalu dengan cepat keluar dari dalam mobil dan membuka pintu belakang. Dibiarkannya pintu itu terbuka, menunggu Alma yang bahkan masih malas untuk turun dari atas motor. Barra menyapa pria itu dengan senyum dan anggukan hormat. Lalu dikedipkannya mata pada Alma, memberinya isyarat untuk segera turun. Dengan malas akhirnya Alma pun turun dari atas motornya. "Sampai besok, ya?" Ucapnya seraya memberikan helm, lalu melangkah gontai masuk ke dalam mobil. Barra melambaikan tangan dan menunggu sampai mobil itu masuk ke dalam kompleks perumahan dan menghilang dari pandangannya. Dihembuskannya nafas panjang. Diluruskannya kedua kakinya sejenak. Ia harus menempuh lagi separuh perjalanan yang dilaluinya tadi untuk pulang ke rumahnya. Sejak mereka mulai berpacaran, Alma selalu minta diantar pulang dengan motornya. Awalnya ia sempat menolak keinginan anehnya itu. Bagaimana mungkin ia membiarkan seorang anak Jenderal berpanas-panasan di bawah terik matahari dan udara yang berdebu di atas motornya, sementara mobilnya mengikuti dari belakang. Tapi Alma tidak perduli. Ia sangat suka dibonceng di belakang motornya sambil memeluk dan menyandarkan kepala di punggungnya sepanjang perjalanan. Untung saja para pengawal itu tidak melaporkannya. Bagaimana jadinya kalau Sang Jenderal sampai tahu anak perempuan semata wayangnya itu selalu diantar pulang naik motor? Atau ... jangan-jangan dia sudah tahu makanya ingin sekali bertemu dengannya? Ah! Barra menepuk keningnya. Bodoh sekali! Mana mungkin pengawal itu tidak memberi tahukannya? Tiba-tiba saja ia merasa kepalanya menjadi pusing. Ia pun lalu kembali menyalakan motornya, dan dengan cepat melajukannya ke jalan raya. Dan kini Barra sudah berada di dalam kamarnya. Berbaring di atas tempat tidur sambil termenung. Saat yang paling ditakutkannya sejak berpacaran dengan Alma akhirnya tiba. Satu hari lagi ia akan bertemu dengan Sang Jenderal. Dipandanginya kembali layar ponsel yang memperlihatkan tajuk berita: "Jenderal Bratha Yudistira akan bertolak ke Eropa bersama Presiden Senin mendatang dalam rangka kerjasama militer." Alma tidak berbohong. Ia akan menemui Ayahnya sebelum berangkat ke luar negeri. Seketika perutnya pun menjadi mulas. Ia sangat takut. Ia merasa seperti akan dihakimi. Sang Jenderal pasti ingin tahu sehebat apa laki-laki yang berani berpacaran dengan anaknya? Ah, membayangkannya saja ia sudah merasa tak percaya diri. Barra menarik nafasnya. Haruskah ia meminta pendapat Ibu? Diliriknya jam di ponsel, lalu dipejamkan kedua matanya. Masih ada waktu satu jam untuk beristirahat sebelum ia menjemput Ibu di kantor.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
115.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook