Barra tersentak dari tidurnya ketika terdengar ketukan di pintu kamar, disusul dengan suara panggilan dari orang yang paling dicintainya di dunia ini.
"Barra! Bangun! Sudah mau Maghrib!"
Kenapa Ibu sudah pulang? Tanyanya bingung dalam hati. Namun seketika ia tersadar. Cepat-cepat ia beranjak bangun lalu ke luar dari dalam kamar.
"Maafin Barra, Bu. Ketiduran lagi..." Sesalnya seraya meraih tangan sang Bunda dan menciumnya.
Wanita setengah baya itu hanya tersenyum kecil. Dibukanya kerudung yang menutupi rambutnya yang mulai beruban lalu duduk di kursi makan. Wajahnya terlihat letih.
"Ibu kan, sudah bilang kamu enggak usah sering-sering jemput. Ibu biasanya juga naik ojek online. Cuma bikin capek saja kalau kamu harus bolak balik jemput," sahutnya sambil mengeluarkan sebuah kantong plastik dari dalam tas besarnya. "Kamu sudah makan?" Tanyanya pada Barra yang langsung berjalan ke dapur untuk mengambil wadah makanan.
"Tadi siang sih, udah," sahut Barra seraya menaruh makanan yang dibawa Ibu ke dalam mangkuk.
"Pasti makan mie lagi," Ibu memandang Barra dengan raut wajah yang membuatnya tak bisa berbohong.
Barra pun mengangguk dengan malu, membuat Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu harus menjaga kesehatanmu, Barra. Kamu sudah pernah kena gejala Thypus. Biaya berobat itu sekarang semakin mahal."
"Ya, Bu... Sekarang udah jarang kok," sahut Barra dengan rasa bersalah. Dipandanginya Sang Ibu dengan ragu. Kini ia bimbang. Apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan Alma?
"Bu..."
Ibu menoleh. "Ada apa? Bayaran kuliah lagi?" Tanyanya.
Barra menggeleng. Ditatapnya wajah letih wanita itu. Seketika hatinya menjadi gusar. Ini bukan saat yang tepat. Ah! Ingin sekali rasanya ia cepat-cepat lulus kuliah agar Ibu tak harus bekerja keras lagi demi membiayai kuliahnya.
"Kamu mau ngomong apa?" Tanya Ibu lagi melihat Barra yang tampak ragu.
"Nanti aja, Bu. Barra mau makan dulu," sahut Barra akhirnya. Sepertinya memang bukan saat yang tepat. Ibu sangat lelah.
Ibu mengangguk. "Kamu makan duluan saja dulu. Ibu makannya nanti, habis Maghrib," ucapnya.
Kini Ibu beranjak bangun dan masuk ke dalam kamarnya. Barra tahu, Ibu akan berada di dalam kamar untuk beristirahat sejenak hingga Maghrib tiba. Dan setelah makan malam, Ibu akan kembali masuk ke dalam kamarnya hingga lepas waktu Isya. Dan tepat pukul delapan Ibu akan berkutat di dapur, menyiapkan makanan untuk bekal ke kantor dan sarapan pagi mereka berdua. Lalu Ibu akan kembali ke kamarnya lagi untuk beristirahat hingga subuh tiba. Begitulah kehidupan Ibu setiap hari. Dia hampir tidak pernah bersantai kecuali di waktu tidurnya. Bahkan hari libur di akhir pekan pun Ibu gunakan untuk membereskan rumah dan berbelanja bahan makanan di pasar untuk persedian makan mereka selama satu minggu.
Sebenarnya ia bisa mengerjakan semua yang dilakukan Ibu. Karena sejak kecil ia sudah terbiasa membantu Ibu merapikan dan membersihkan rumah setiap hari. Ia juga tahu apa saja belanjaan yang biasa dibeli Ibu di pasar. Tapi, Ibu malah menyuruhnya keluar rumah untuk bersenang-senang. Bermain bersama teman-temannya atau menemani Alma. Ibu bilang ia harus menikmati hari-harinya saat ini. Karena masa muda itu tidak akan terulang kembali.
Barra tersenyum getir. Ibu bahkan tidak pernah mencoba untuk mencari pendamping hidup lagi setelah ditinggal pergi begitu saja oleh Ayahnya hingga kini. Laki-laki pengecut. Ia membenci Ayahnya. Sejak kecil ia memang sudah menganggap dirinya tak pernah memiliki Ayah. Kata Ibu, Ayah meninggalkannya saat usianya belum genap satu tahun. Ibu tidak pernah menceritakan apa yang membuat laki-laki itu pergi meninggalkan mereka berdua. Tapi ia memang tak perlu tahu. Baginya laki-laki itu tidak pernah ada dalam hidupnya.
Barra menarik nafasnya yang tiba-tiba saja terasa berat. Kasihan Ibu. Ia bertahan dan berjuang sendirian demi menghidupi dirinya, anak semata wayangnya. Dipandanginya Soto Betawi di hadapannya. Ibu bahkan selalu membeli makanan kesukaannya.
...
Barra melihat Alma setengah berlari keluar dari dalam gedung kampusnya. "Panas! Beli minum dulu yuk," ujarnya seraya menarik tangan Barra masuk ke dalam sebuah kios minuman dingin.
"Kamu masih ada kuliah?" Tanya Barra seraya meletakan dua gelas minuman dingin yang dipesannya di atas meja.
Alma mengangguk. Diseruputnya minuman Boba di hadapannya dengan antusias, membuat Barra tersenyum melihatnya. Alma memang tak bisa hidup sehari pun tanpa minuman kesukaannya itu.
"Kalau kamu?" Tanya Alma.
"Gak ada. Aku mau langsung pulang habis ini," sahut Barra seraya mengaduk-ngaduk kopi dinginnya dengan sedotan.
"Loh? Kamu enggak nungguin aku? Cuma dua jam aja, kok? Biasanya juga nungguin?" Rajuk Alma.
"Aku lagi malas, Ma..." Sahut Barra sambil menyedot kopinya.
"Kamu kan, bisa nunggu sambil streaming film? Atau nongkrong sama teman-teman kamu? Biasanya juga begitu..." rajuk Alma lagi.
"Aku mau pulang. Mau bersih-bersih rumah. Terus jemput Ibu di kantor."
"Ya, udah kita jemput sama-sama aja nanti setelah aku selesai. Kayak waktu itu?" Bujuk Alma.
"No!" Barra menggelengkan kepalanya keras-keras. Ia tidak mau membuat kehebohan lagi. Alma pernah memaksanya menjemput Ibu dengan mobil dinas Ayahnya yang akhirnya membuat seisi kantor heboh karena menganggap calon menantu Ibu seorang anak Jenderal.
Alma tergelak. "Aku kan, sekarang pakai mobilku sendiri. Waktu itu pas kebetulan aja pengawal habis antar Papa "
"Ya, tapi orang-orang di kantor Ibu masih ingat wajah kamu, Ma!"
"Ya, enggak apa-apa juga kan, aku dianggap calon menantu. Memangnya kamu enggak suka?" Alma memandang Barra dengan wajah cemberut.
"Bukan begitu. Ya, kalau hubungan kita berlanjut sampai ke sana. Kalau enggak?"
Kini Alma memandangnya dengan serius. "Jadi selama ini kamu enggak pernah menganggap hubungan kita serius?"
"Bukan! Maksudku..." Barra memandang Alma dengan ragu. "Aku takut, Ma. Perbedaan kita terlalu jauh."
"Aku bosan dengar alasan kamu itu. Pokoknya hari Minggu besok aku tunggu pembuktian keseriusan kamu. Aku sudah bilang Papa."
"Terus?" Kini Barra semakin panik.
"Terus apanya?" Alma kembali menyeruput Boba-nya dengan sedotan.
"Apa kata Papa kamu?" Kejar Barra.
Alma menggeleng. "Enggak bilang apa-apa," sahutnya sambil menahan senyum melihat kepanikan di wajah Barra.
Barra menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
"Kalau Papa kamu menanyakan tentang Ayah aku harus jawab apa, Ma?" Tanyanya lirih seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
Alma menatap Barra dengan sungguh-sungguh. "Kamu bilang yang sejujurnya aja. Papa bukan orang yang suka menghakimi orang lain. Dan Papa sangat menghargai kejujuran. Kamu kan, tahu Papa terkenal sebagai Jenderal yang jujur?"
Kini Barra terdiam. Ibu bahkan tidak pernah menganggap serius hubungannya dengan Alma. Ibu menganggap Alma sama seperti teman-teman wanitanya yang lain. Hanya sekedar teman, tak lebih. Karena ia memang belum ingin menjalin hubungan serius dengan gadis mana pun. Buatnya yang terpenting saat ini adalah menyelesaikan kuliah tepat waktu agar bisa bekerja secepatnya. Ia sudah tak sabar mengambil alih tugas Ibu. Setelah bekerja nanti, ia lah yang akan menjadi kepala keluarga. Ia akan meminta ibu untuk berhenti dari pekerjaannya dan beristirahat saja di rumah. Ia yang akan menafkahi Ibu.
Barra memandang Alma dalam diam. Tapi Alma berbeda. Ia tidak seperti gadis yang lain. Bukan karena ia anak seorang Jenderal, tapi Alma adalah seorang yang serius. Ia tidak suka main-main. Alma memang tidak punya waktu untuk bermain-main. Sebagai anak seorang Jenderal dan Ibu seorang pengusaha restoran, hari-hari Alma selalu dipenuhi banyak kegiatan. Saat tidak sedang kuliah atau bersamanya, Alma akan menemani Ibunya mengurus bisnis restoran. Dan saat Ayahnya berada di rumah, ia juga akan menghabiskan waktu bersamanya. Ia tidak berani keluar rumah tanpa sepengetahuan dan seijin Sang Ayah. Tak pernah sekali pun Alma berani menentang Ayahnya. Itulah sebabnya mereka jarang sekali menghabiskan waktu di luar kampus. Hanya sesekali saja pergi ke bioskop atau makan malam bersama. Tapi karena hal itu juga yang membuat Barra mencintai Alma. Ia tidak seperti gadis lain yang pernah dekat dengannya yang suka menuntut banyak perhatian darinya.