Demi Cinta

1084 Words
Barra menatap Alma sambil menggenggam tangannya. Menunggunya untuk bercerita. Tapi Alma masih terisak. Sesekali diusapnya air mata yang membasahi wajahnya. "Minum dulu, Alma." Ibu meletakkan cangkir berisi teh hangat di hadapan Alma lalu duduk di sampingnya. Diusap-usapnya punggung gadis itu untuk menenangkannya. Alma lalu meneguk teh itu, dan perlahan ia pun mulai tenang. "Aku enggak mau kita putus, Bar," ucapnya sambil menatap Barra dengan wajah putus asa. "Aku juga enggak mau Ma," sahut Barra. Ibu lalu menatap Alma dengan lembut. "Apa yang terjadi, Alma? Apa yang membuat Ayahmu tidak merestui hubunganmu dengan Barra?" Tanyanya. Alma menggeleng. "Alma tidak tahu, Bu. Tiba-tiba saja Minggu malam itu, Papa memanggil Alma. Papa bilang, dia tidak mengijinkan Alma berpacaran dengan Barra, karena... " Alma berhenti sejenak. Dipandanginya Ibu dan Barra bergantian. "Karena apa, Ma?!" Tanya Barra tak sabar. "Papa bilang... dia sudah punya pilihannya sendiri ... anaknya teman Papa..." Kini Alma kembali terisak. Barra melepaskan genggaman tangannya. Matanya menatap Alma tak percaya. Dihempaskan punggungnya ke sandaran kursi bersamaan dengan tarikan nafasnya yang terasa berat. "Ayahmu mau menjodohkan kamu?" Lirihnya. Alma mengangguk, lalu tertunduk. Ia tak berani melihat tatapan kecewa di mata kekasihnya itu. Ibu memandang Barra dengan mata berkaca-kaca. Ia tak tega melihat anaknya tersakiti. "Maafkan aku, Bar..." Lirih Alma. "Itu sebabnya aku pergi dari rumah. Tadi aku ijin ke kampus lalu melarikan diri ke rumah teman sebelum ke sini. Aku ingin pergi jauh. Aku ingin pergi sampai Papa merestui hubungan kita." "Tapi kita mau pergi ke mana, Ma?" Barra menatap Alma dengan bingung. "Ke mana aja, Bar. Kita pergi ke tempat yang Papa tidak tahu. Tempat yang Papa tidak akan mencari kita." Ibu tersenyum. "Beliau pasti akan mencarimu ke mana pun kamu pergi, Ma." "Dan resikonya juga akan sangat besar. Kamu sadar kan, Ayahmu itu seorang Jenderal?" Timpal Barra. "Tapi aku enggak mau pulang, Bar," isak Alma lagi. Diraihnya kembali tangan Barra lalu menggengamnya dengan erat. Barra menatap Alma dengan hati yang berkecamuk. Sungguh ia tak tahan melihat kekasihnya itu menangis karenanya. Ditatapnya Sang Ibu. Meminta jawaban. Ibu menarik nafasnya. "Pergilah, Nak," ucapnya. Tapi jawaban Ibu malah membuat Barra terkejut. "Tapi, Bu..." "Berjuanglah untuk cinta kalian. Sampai tak ada lagi yang sanggup menghalanginya." "Ibu..." Barra menatap Ibunya sungguh-sungguh. "Kamu laki-laki, Barra. Kamu harus berjuang. Ibu akan mendukung kalian. Berjuanglah seperti Ayahmu berjuang untuk Ibu..." Kini air mata Ibu jatuh menetes di pipinya. "Bu..." Barra terkejut medengar ucapan Ibu. Dipeluknya wanita yang paling dicintainya di dunia itu. Ingin sekali ia mendengar lebih banyak kisah Ibu, tapi melihatnya menangis, tak sanggup rasanya untuk membuatnya semakin bersedih. "Ibu yang meninggalkan Ayahmu, Barra. Ibu yang tidak sanggup lagi... Maafkan Ibu," isaknya. Barra memeluk Ibunya lebih erat. Tak pernah ia melihat Ibu menangis tersedu seperti itu. Ia baru menyadari ternyata selama ini Ibu memendam kepedihannya itu seorang diri "Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu," bisik Barra dengan suara bergetar, hingga tak terasa air matanya pun ikut menetes. Pasti sulit bagi Ibu untuk mengingat kisahnya kembali. Dan pasti sakit sekali rasanya harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Seperti yang ia rasakan saat ini. Hari ini cukup baginya mendengar sepenggal cerita itu. Ia akan menunggu sampai tiba waktunya ia akan mengetahui semua kisah Ibu dan Ayah. "Pergilah ke rumah Kakekmu." Kini Ibu melepaskan pelukannya, dan mengusap air matanya. "Pergilah sekarang. Kalian masih bisa berangkat dengan kereta terakhir," ucapnya. "Tapi Barra enggak mau tinggalin Ibu sendirian..." Barra menatap Ibu dengan khawatir. Ibu lalu tersenyum. "Ibu bukan anak kecil. Ibu yang mestinya mengkhawatirkan kalian. Kalian tinggal lah di sana sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Semoga tidak harus lama." Ibu lalu menatap keduanya. "Kalian harus secepatnya berangkat ke stasiun. Sebelum orang tua Alma menyadari Alma menghilang dan mencarinya ke rumah ini." "Maafkan Alma, Bu. Sudah merepotkan Ibu." Alma memeluk Ibu. "Enggak apa-apa. Ibu melakukan ini juga demi Barra. Ibu titip anak Ibu. Jangan perbolehkan dia makan mie ayam," bisiknya membuat Alma akhirnya tertawa. ... Dari kursinya Barra memandangi wajah Alma yang tertidur pulas di sampingnya. Ia tahu pasti semalaman Alma tak bisa tidur seperti dirinya. Dengan lembut dielusnya rambut Alma lalu diselimuti tubuhnya agar tak kedingingan oleh suhu udara di dalam kereta yang sangat dingin. Mulai sekarang ia akan menjaga dan melindungi Alma. Karena Alma telah memilihnya di saat dia bisa memilih laki-laki pilihan Ayahnya yang lebih baik darinya. Barra memandang ke luar jendela yang gelap, lalu menutup tirainya. Ia lalu membaringkan tubuhnya di atas kursi, dan mencoba memejamkan mata. Berharap tak terbangun lagi hingga pagi tiba. Hangatnya sinar matahari dan harumnya kopi membuat Barra membuka matanya. Dilihatnya Alma tersenyum memandanginya sambil memegang dua gelas kopi di tangannya. "Selamat pagi!" Ucapnya dengan wajah berseri. Barra beranjak bangun, dan menegakkan kursinya. "Jam berapa sekarang?" Tanyanya sambil memicingkan mata yang silau oleh cahaya matahari yang masuk dari sela tirai jendela. "Jam tujuh. Satu jam lagi sampai Jogja," sahut Alma sambil mengulurkan kopi pada Barra. "Makasih! Kamu keliatan happy banget?" Ucap Barra melihat Alma tampak gembira. Alma mengangguk senang. "Ini adalah perjalanan paling menyenangkan seumur hidupku," sahutnya. "O ya?" Alma kembali mengangguk. "Baru kali ini aku bisa bepergian sendiri tanpa pengawal, tanpa Papa dan Mama. Rasanya bebas sekali." Barra lalu tersenyum. Disesapnya kopinya perlahan. "Aku malah jarang bepergian naik kereta semewah ini. Biasanya kalau traveling sama teman-teman, naiknya kereta ekonomi. Ngirit!" "Tapi hidupmu lebih menyenangkan. Lebih bebas." Ada nada iri dalam suara Alma. "Kalau bebas sih, iya, tapi enggak selalu menyenangkan." "Kamu juga bebas memilih perempuan mana saja yang mau kamu pacari." Barra tergelak. "Ya, tapi sayangnya gak semuanya mau sama aku." Kini Alma yang tergelak. Ia tahu pasti ada banyak perempuan yang mengejar Barra. Bukan karena wajah gantengnya, tapi karena Barra sangat menyenangkan. Ia ramah dan sopan. Dan wajahnya selalu tersenyum. Ia menjalani hidupnya dengan bebas seperti tak punya beban. Bersamanya Alma tidak pernah khawatir. Ia selalu merasa aman. Karena Barra menghormati setiap wanita seperti ia menghormati Ibunya. Satu jam kemudian kereta sampai di stasiun Yogyakarta. Barra menyandang ranselnya sambil menenteng tas besar Alma. "Enggak mau pakai porter aja, Bar?" Tanya Alma. "Kita harus berhemat. Nanti kita akan memerlukan banyak biaya. Entah sampai berapa lama kita di sini," sahut Barra seraya menggelengkan kepala saat seorang porter menawarkan jasa untuk membantunya. Alma tersenyum mendengarnya. Hatinya berbunga-bunga. Ia berharap pelariannya akan lebih lama. Karena ia sudah membayangkan hari-hari indah yang akan dilaluinya bersama Barra. Ia bahkan tak ingin memikirkan pelariannya. Yang ia inginkan hanyalah bisa bersamanya selama mungkin. "Rumah kakek masih satu jam lagi dari sini. Kita cari makan dulu." Barra menggandeng tangan Alma keluar dari dalam gerbong kereta. Dipandanginya dengan heran wajahnya yang tak berhenti tersenyum. Kenapa dia senang sekali? Batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD