Demi Cinta

1110 Words
Barra terpaku menatap Alma. Menunggunya bercerita. Tapi Alma masih terisak. Sesekali diusapnya air mata yang masih membasahi wajahnya. Barra menggenggam tangannya. Mencoba menenangkan. "Minum dulu, Alma." Ibu meletakan cangkir berisi teh hangat di hadapan Alma lalu duduk di sampingnya. Alma meneguknya, dan sesaat kemudian isaknya perlahan mulai berhenti. "Aku enggak mau kita putus, Bar." Suara Alma terdengar parau. Barra mencoba tersenyum. "Aku juga enggak mau Ma," sahutnya. Ibu mendekatkan wajahnya. Ditatapnya Alma dengan lembut. "Apa yang terjadi, Alma? Apa yang membuat Ayahmu tidak merestui hubunganmu dengan Barra?" Tanyanya dengan lembut. Alma menggeleng. "Alma tidak tahu, Bu. Tiba-tiba saja Minggu malam itu, Papa memanggil Alma. Papa bilang, dia tidak mengijinkan Alma berpacaran dengan Barra, karena... " Alma berhenti sejenak. Dipandanginya Ibu dan Barra bergantian. "Karena apa, Ma?!" Tanya Barra tak sabar. "Papa bilang... dia sudah punya pilihannya sendiri ... anaknya teman Papa..." Kini Alma kembali terisak. Barra melepaskan genggaman tangannya. Matanya menatap Alma tak percaya. Dihempaskan punggungnya ke sandaran kursi bersamaan dengan tarikan nafasnya yang terasa berat. "Ayahmu mau menjodohkan kamu?" Lirihnya. Alma mengangguk, lalu tertunduk. Ia tak berani melihat tatapan kecewa di mata kekasihnya itu. Ibu memandang Barra dengan mata berkaca-kaca. Ia tak tega melihat anaknya tersakiti. "Maafkan aku, Bar..." Lirih Alma. "Itu sebabnya aku pergi dari rumah. Tadi aku ijin ke kampus lalu melarikan diri ke rumah teman sebelum ke sini. Aku ingin pergi jauh. Aku ingin pergi sampai Papa merestui hubungan kita." "Tapi kita mau pergi ke mana, Ma?" Barra menatap Alma dengan bingung. "Ke mana aja, Bar. Kita pergi ke tempat yang Papa tidak tahu. Tempat yang Papa tidak akan mencari kita." Ibu tersenyum. "Beliau pasti akan mencarimu ke mana pun kamu pergi, Ma." "Dan resikonya juga akan sangat besar. Kamu sadar kan, Ayahmu itu seorang Jenderal?" Imbuh Barra. "Tapi aku tidak mau pulang, Bar," isak Alma lagi sambil kembali meraih tangan Barra dan menggengamnya dengan erat. Barra menatap Alma dengan hati yang berkecamuk. Sungguh ia tak tahan melihat kekasih yang sangat dicintainya itu menangis karenanya. Ditatapnya Sang Ibu. Meminta jawaban. Ibu menarik nafasnya. "Pergilah, Nak," ucapnya. Tapi jawaban Ibu malah membuat Barra terkejut. "Tapi, Bu..." "Berjuanglah untuk cinta kalian. Sampai tak ada lagi yang sanggup menghalanginya." "Ibu..." Barra menatap Ibunya sungguh-sungguh. "Kamu laki-laki, Barra. Kamu harus berjuang. Ibu akan mendukung kalian. Berjuanglah seperti Ayahmu berjuang untuk Ibu..." Kini air mata Ibu jatuh menetes di pipinya. "Bu..." Barra terkejut. Dipeluknya Ibu yang lalu terisak di bahunya. Ingin sekali ia mendengar lebih banyak kisah Ibu, tapi melihatnya menangis, tak sanggup rasanya untuk membuatnya semakin bersedih. "Ibu yang meninggalkan Ayahmu, Barra. Ibu yang tidak sanggup lagi... Maafkan Ibu," isaknya. Barra memeluk Ibunya lebih erat. Tak pernah ia melihat Ibunya menangis tersedu seperti saat ini. Wanita tangguh yang dikenalnya itu kini begitu rapuh. Ternyata selama ini ia memendam rasa sesalnya sendirian. "Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu," bisik Barra dengan suara bergetar, hingga tak terasa air matanya pun ikut menetes. Pasti sulit bagi Ibu untuk mengingat kisahnya kembali. Dan pasti sakit sekali rasanya harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Seperti yang ia rasakan saat ini. Hari ini cukup baginya mendengar sepenggal cerita itu. Ia akan menunggu sampai tiba waktunya ia akan mengetahui semua kisah Ibu dan Ayah. "Pergilah ke rumah Kakekmu." Kini Ibu melepaskan pelukan Barra. Diambilnya tisu untuk menghapus air matanya. Lalu mencoba tersenyum untuk menegarkan hati Barra. "Kalian masih bisa berangkat dengan kereta terakhir." "Tapi Barra enggak mau tinggalin Ibu sendirian..." Barra menatap Ibu dengan ragu. Ibu kembali tersenyum. "Ibu bukan anak kecil. Ibu yang mestinya mengkhawatirkan kalian. Kalian tinggal lah di sana sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Semoga tidak harus lama." Ibu melihat ke arah jam dinding. Lalu memandang Alma. "Pergilah secepatnya ke stasiun. Papa Mamamu akan segera tahu kamu tidak pulang ke rumah. Dan Barra lah nanti yang akan mereka cari pertama kali." "Maafkan Alma, Bu. Sudah merepotkan Ibu." Alma memeluk Ibu. Ibu mengusap-usap punggung Alma. "Enggak apa-apa. Ibu melakukan ini juga demi Barra. Ibu titip anak Ibu. Jangan perbolehkan dia makan mie ayam," bisiknya memaksa Alma untuk tertawa. ... Barra memandang wajah Alma yang tertidur pulas di sampingnya. Ia pasti tidak bisa tidur sejak kemarin, seperti dirinya. Dielusnya rambut Alma, lalu ditariknya selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia takut Alma kedingingan. Suhu udara di dalam kereta sangat dingin. Ia tidak mau Alma sakit. Mulai saat ini ia akan menjaga dan melindunginya. Karena Alma telah memilihnya di saat dia bisa memilih laki-laki pilihan Ayahnya yang bisa memberinya kehidupan yang jauh lebih baik. Kini ia merebahkan kursinya, lalu dicobanya memejamkan mata. Berharap tak terbangun lagi hingga pagi tiba. Seberkas cahaya matahari dan harumnya kopi membuat Barra terbangun dari tidurnya. Dilihatnya Alma tersenyum sambil memegang gelas kopi di tangannya. "Selamat pagi!" Ucap Alma dengan wajah berseri. Barra beranjak bangun. Ditegakannya kursi. "Jam berapa sekarang?" Tanyanya sambil memicingkan matanya yang silau terkena cahaya matahari yang masuk dari tirai jendela yang setengah terbuka. "Jam tujuh. Satu jam lagi sampai Jogja," sahut Alma sambil memberikan gelas kopinya kepada Barra. "Makasih," ucap Barra. "Kamu happy banget?" Tanyanya lagi melihat senyum Alma yang terus mengembang di wajahnya. "Ini perjalanan paling menyenangkan seumur hidupku," sahutnya. "O ya?" Barra menatap Alma tak percaya. Alma mengangguk. "Baru kali ini aku bisa bepergian sendiri tanpa pengawal, tanpa Papa dan Mama. Rasanya bebas sekali." Barra tersenyum. Disesapnya kopinya. "Aku malah jarang bepergian naik kereta semewah ini. Biasanya kalau traveling sama teman-teman, naiknya kereta ekonomi. Ngirit!" "Tapi hidupmu lebih menyenangkan. Lebih bebas," ucap Alma lagi. Ada nada iri dalam suaranya. "Kalau bebas sih, iya, tapi tidak selalu menyenangkan." "Kamu juga bebas memilih perempuan mana saja yang mau kamu pacari." Barra tergelak. "Ya, tapi sayangnya gak semuanya mau sama aku." Kini Alma yang tergelak. Ia tahu pasti ada banyak perempuan yang mengejar Barra. Bukan karena wajah gantengnya, tapi karena Barra sangat menyenangkan. Ia ramah dan sopan. Dan wajahnya selalu tersenyum. Ia menjalani hidupnya dengan bebas seperti tak punya beban. Bersamanya Alma tidak pernah khawatir. Ia selalu merasa aman. Karena Barra menghormati setiap wanita seperti ia menghormati Ibunya. Satu jam kemudian kereta sampai di stasiun Yogyakarta. Barra menyandang ranselnya sambil menenteng tas besar Alma. "Enggak mau pakai porter aja, Bar?" Tanya Alma. "Kita harus berhemat. Nanti kita akan memerlukan banyak biaya. Entah sampai berapa lama kita di sini," sahut Barra seraya menggelengkan kepala saat seorang porter menawarkan jasa untuk membantunya. Alma tersenyum mendengarnya. Hatinya berbunga-bunga. Ia berharap pelariannya akan lama agar ia bisa lebih lama bersama Barra. Selama lima bulan mereka berpacaran, Alma tak pernah merasa sedekat ini dengannya. Ia membayangkan hari-hari indah yang akan dilaluinya bersama Barra. "Rumah kakek masih satu jam lagi dari sini. Kita makan dulu." Barra menggandeng tangan Alma keluar dari dalam gerbong kereta. Dipandanginya dengan bingung wajah Alma yang tengah tersenyum-senyum sendiri. Kenapa dia senang sekali? Batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD