DPO

1265 Words
Barra terbangun ketika terdengar suara ponselnya berbunyi nyaring. Seketika ia teringat janji makan malamnya. Terdengar suara Alma di ujung telepon saat ia mengangkatnya. Tak berapa lama ia pun berlari keluar dari dalam kamar lalu bergegas masuk ke dalam elevator yang membawanya sampai ke restauran yang terletak di lantai dasar hotel itu. Barra tersenyum saat melihat Alma melambaikan tangan dengan mulut yang penuh terisi makanan. "Sorry! Aku ketiduran. Udah lama nunggu?" Sesalnya seraya duduk di hadapan Alma yang tengah menyantap sepiring lumpia. "Kamu benar-benar lapar?" Tanyanya lagi. Alma mengangguk. "Aku bangunin kamu udah hampir satu jam, jadi aku ke sini duluan. Keburu lapar." "Sorry, ya. Aku nyenyak banget tidurnya," sesal Barra lagi. Alma menggeleng. "Enggak apa-apa, aku kan, jadi bisa makan lebih lama dan lebih banyak. Kamu mau cobain?" Alma menyodorkan piring lumpia itu ke hadapan Barra, tapi Barra menggeleng sambil tersenyum. Itu juga salah satu yang membuatnya suka pada Alma. Ia selalu apa adanya. Ia tidak pernah jaim di hadapannya. "Kamu udah pesanin makanan aku, belum?" Barra membuka buku menu di hadapannya. "Aku pesenin kamu Sop Buntut. Kamu suka, kan?" Barra mengangguk. "Thanks!" Ucapnya. Dipandangnya Alma yang tampak segar malam itu. Tak ada lagi sisa air mata di pipinya. "Kamu udah mandi?" Tanyanya. Alma kembali mengangguk. "Aku juga udah berendam air hangat tadi." "Lebih tenang sekarang?" Lagi-lagi Alma mengangguk. "Tinggal nunggu kabar dari Mama. Ibu gimana kabarnya?" Alma memandang Barra dengan rasa bersalah. Barra meneguk air putih di hadapannya, lalu menggeleng. Membuat Alma semakin merasa bersalah. "Mungkin dia lagi sibuk," sahutnya mencoba menenangkan Alma. Alma mencoba tersenyum, lalu kembali menyantap makanannya dalam diam. Dan beberapa saat kemudian seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Barra mengaduk-aduk Sopnya yang masih mengepul. Dipandanginya wajah Alma yang tengah menuangkan sambal ke dalam Soto Ayamnya. "Kenapa?" Alma mengangkat wajahnya. Menyadari Barra yang terus memandanginya sejak tadi. Sesaat Barra ragu. Namun akhirnya diberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa kamu meninggalkan dia, Ma?" Alma tampak terkejut. Ia terdiam sesaat. Ditariknya nafas dalam-dalam. "Aku hanya ingin kehidupan yang berbeda. Aku bosan hidup berpindah-pindah tempat. Dan harus berpisah berbulan-bulan lamanya. Aku sudah mengalaminya hampir seumur hidupku." "Dia sudah mulai bertugas?" "Dua bulan lagi dia akan ditugaskan ke Timur Tengah selama setahun untuk misi perdamaian." Barra tercenung. Kini ia semakin mengerti. Laki-laki itu benar-benar mencintai Alma. Dia takut meninggalkan Alma. Dia ingin Alma kembali. Kini dilihatnya Alma yang dengan lahapnya menyantap sotonya. Lagi-lagi Barra tersenyum melihatnya. Ia benar-benar kelaparan. Suara pesan masuk mengejutkan Barra. Dibukanya ponsel. Seketika raut wajahnya berubah gembira. "Dari siapa?" Tanya Alma penasaran. "Ibu. Dia lagi di Bandung sejak kemarin. Tante Nurul mengajaknya jalan-jalan." "Oh!" Alma tersenyum lega. Ia tidak berani menanyakan lagi. Saat ini mengetahui kabar baik dari Ibu saja sudah cukup baginya. Ia tak ingin lagi mendengar kabar buruk. "Ibu kirim salam buat kamu," ucap Barra sambil menutup ponselnya. Alma tersenyum. "Thanks! Sampaikan salamku lagi nanti." "Ibu menyukaimu." Ucapan Barra membuat Alma menghentikan suapannya. "Tapi... aku sudah membuatmu susah..." "Mmm... mungkin kamu mengingatkan Ibu dengan dirinya dulu. Waktu melarikan diri bersama Ayahku." "Ada yang bilang, katanya kalau ada sesuatu yang belum selesai di kehidupan kita dulu maka cerita itu akan terulang kembali. Kamu setuju?" Tanya Alma. Barra mengangguk. "Aku menyebut itu... karma," sahutnya membuat Alma tertawa. "Apa Ibu juga menyukai pacar-pacarmu yang dulu?" Tanya Alma lagi setelah tawanya reda. "Mereka bukan pacar. Hanya teman dekat." "Sama saja. Aku tahu kamu selalu ganti-ganti pacar. Setiap semester pacar kamu berbeda." Barra mengernyitkan keningnya. "Dari mana kamu tahu? Gedung kampus kita kan, lumayan berjauhan? Kamu stalking aku, ya? Pantas kamu selalu berada di klinik kampus kalau aku lagi ke sana." "Enggak!" Alma terlihat panik. "Aku kebetulan lagi tugas jaga aja waktu itu," sahutnya seraya buru-buru mengangkat gelas air putih di depannya dan meneguknya sampai habis. Barra tertawa melihat wajah Alma yang memerah. "Iya juga enggak apa-apa," goda Barra. Alma meletakan gelas kosongnya dengan tersipu. "Kamu menyesal kenal aku?" "Kenapa kamu tanya begitu?" "Yaaa, melihat keadaan kita saat ini..." Barra mengangguk. "Ya, aku menyesal." Barra mendekatkan wajahnya. Alma menjauhkan wajah dengan takut. "Menyesal banget. Kenapa enggak dari dua tahun yang lalu kita ketemu, biar kamu enggak usah pacaran sama si tentara itu." Ucapan Barra membuat Alma menarik nafas lega dan kembali tertawa. Ditatapnya Barra lebih lama. Ia semakin tak ingin pulang. Ia tidak ingin berpisah dirinya. Barra selalu bisa membuatnya tertawa. Ia selalu bahagia bersamanya. "Besok kita harus check out pagi-pagi. Aku mau antar mobil Kakek ke temannya Sigit. Dia yang akan mengembalikannya ke Yogya. Mobil itu enggak bisa dipakai terlalu jauh. Bisa mogok di jalan." "Lalu kita mau ke mana lagi?" "Aku akan hubungi temanku nanti malam, minta tolong dia. Kita harus berpindah-pindah tempat sambil menunggu kabar." ... "Sudah check out-nya?" Barra bergegas bangun dari kursi. Alma mengangguk. "Katanya kita mau antar mobil dulu?" Tanyanya sambil mengikuti Barra keluar dari lobi hotel dengan menenteng tas dan ranselnya. Barra menggeleng. "Aku udah minta orangnya untuk ambil kunci mobil di resepsionis hotel. Kita harus segera pergi. Temanku lagi di jalan untuk jemput kita." Alma memandang dengan wajah penuh tanya. "Kita..." "Kita sudah masuk Daftar Pencarian Orang, Ma! Kita tidak bisa berkeliaran," sahut Barra memotong pertanyaan Alma. Belum sempat Alma mengeluarkan kata-katanya lagi, seorang pria muda berkepala plontos dan bertubuh bongsor turun dari sebuah sedan nyentrik berwarna hijau menyala dengan kombinasi garis hitam di atasnya. Ia melambaikan tangannya pada Barra. "Apa kabar my broo!" Sapanya sumringah. "Akhirnya lu datang lagi!" Barra tertawa. Dirangkulnya temannya itu, lalu diperkenalkannya pada Alma. "Ooh! Jadi ini yang namanya Alma?" Sapanya ramah. "Dominik!" Ucapnya, menyambut uluran tangan Alma. Sejenak Alma mengernyitkan keningnya. Melihat perawakan dan namanya, sepertinya ia tak asing dengan nama itu. Mirip siapa ya? Tanyanya di hati. "Hebat lu dapat anak Jenderal. Lu apain?" bisik Dominik di telinga Barra yang disambut Barra dengan tepukan keras di lengannya yang besar. Dominik pun tertawa kencang. "Jadi ini hasil modifikasi lu?" Barra memandangi sedan hijau Dominik seraya memasukan bawaannya ke dalam bagasi mobil. "Udah mirip kan, sama Lambo?" Dominik tersenyum bangga. Ditepuk-tepuknya sedan nyentriknya itu. "Yaa mirip lah, sebelas tujuh belas," sahut Barra membuat Dominik kembali tergelak. Dibukanya pintu belakang mobil dan mempersilakan Alma masuk ke dalamnya. "Lu udah kayak ajudan," seloroh Barra. "Anak Jenderal harus aman," sahut Dominik berbisik. "Lu udah dapet tempat buat kita?" Tanya Barra sambil menjatuhkan tubuhnya di samping kursi kemudi. Dominik menggeleng. "Lu dadakan sih, gua belum nemu tempat yang kosong. Sementara di paviliun rumah gua aja," sahutnya. Dihempaskannya tubuh besarnya di atas kursi kemudi. "Kamarnya kan, cuma satu di sana?" Tanya Barra. "O ya ya. Gua lupa." Dominik menepuk keningnya. "Nanti terjadi hal-hal yang lu inginkan gua juga yang repot," selorohnya. "Sialan, lu!" Barra tertawa, lalu melirik Alma di kursi belakang. Tampak Alma pun ikut tersenyum dengan wajah tersipu. "Lu di kamar gua aja, biar kita bisa lacak terus status DPO lu udah sampai mana?" Sahut Dominik. Dinyalakannya mesin mobilnya lalu melaju di jalan raya yang masih sepi pagi itu. Barra memandang Dominik dengan wajah muram "Emang beneran gua udah jadi DPO?" Tanyanya. Dominik mengangguk. "Gua udah cek. Minta tolong temen yang abangnya di kepolisian." Barra terkejut. "Lu ngomong ke temen lu?" "Tenang! Aman! Gua cuma bilang kenal lu waktu di SMA. Gak pernah ketemu lagi." Barra menghela nafasnya. Lalu menoleh memandang Alma. "Sudah ada kabar dari Mamamu?" Tanyanya, yang dijawab Alma dengan gelengan kepala. Ia pun menghembuskan nafas panjang. Mau tidak mau yang dilakukannya saat ini adalah terus bersembunyi sampai ada kabar baik. "Tenang, my brooo. Ada Dominik The Fast and Furious!" Seru Dominik sambil melajukan mobilnya dengan kencang. Tiba-tiba Alma tertawa. Ia baru ingat sekarang dari mana ia pernah mendengar nama itu. "Namanya aslinya Dony Sudomo!" Ucap Barra seolah tahu apa yang membuat Alma tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD