7- Kehilangan adalah Teman

1357 Words
Ada begitu banyak kenangan dari setiap pasangan yang saling mencintai. Kenangan yang akan selalu teringat meski dia telah tiada. Satu-satunya hal yang membuat kalian rindu dengannya, adalah kenangan itu sendiri... kenangan yang tidak bisa terulang. ....................... Gundukan tanah itu masih terlihat basah, karena memang belum lama seseorang berada di dalam sana untuk melanjutkan kehidupan di dunia barunya. Ditambah musim hujan yang selalu menghiasi hari-hari. Mungkin Langit telah terbiasa dengan sebuah kehilangan, tapi bukan berarti ia akan menyukai segala hal yang telah hilang dari hidupnya. Pertama kali yang ia rasakan adalah kehilangan adiknya yang menderita penyakit kelainan jantung. Beruntung gadis kecil itu bisa bertahan meski hanya sampai di usia delapan tahun. Lalu selanjutnya, ayahnya pergi dua tahun kemudian karena serangan jantung mendadak. Kehilangan yang begitu berat bagi Langit dan masih menyisakan luka di relung hatinya. Kehilangan lagi harus Langit rasakan hampir satu bulan yang lalu. Bahkan ia harus kehilangan dua orang sekaligus, istri serta calon anaknya yang telah mereka harapkan selama beberapa tahun. Bagaimana rasanya kehilangan itu tentu ia merasakan sakit yang amat sangat, sama seperti kehilangan ayah dan adiknya dulu. Namun jika terus terluka begini, ia pun merasa sangat rapuh. Hatinya kian hancur karena diterpa luka terus menerus. Padahal ada banyak keinginan yang Langit ingin lakukan bersama istri dan anaknya kelak. Membahagiakan mereka tentunya, hal yang tidak akan bisa tercapai sampai kapanpun karena yang ingin ia bahagiakan justru lebih bahagia berada di sisi Tuhan dibanding bersamanya. Mungkin tempat mereka sekarang jauh lebih indah dibanding dirinya yang kini hidup seorang diri. Langit meletakkan satu bucket bunga mawar putih kesukaan Cahya di atas gundukan tanah basah itu. Ia memegang batu nisan bertuliskan nama istrinya dan menyandarkan kepala di sana. “ Apa kamu bahagia di sana? Apa kamu senang di tempat barumu meski tanpa aku? Meski kamu bahagiapun, entah kenapa aku masih sulit ikhlas. Rasanya aku ingin kamu tetap berada di sisiku dalam waktu yang lama. Seperti impian kita selama ini. Bukankah ada banyak hal yang harus kita lakukan? Tapi kenapa kamu malah pergi sendirian?” Di sudut lain area pemakaman umum itu, seorang wanita dengan rambut hitam bergelombang sedang duduk di samping gundukan tanah yang telah ditumbuhi rerumputan hijau. Membuat makam itu terlihat lebih cantik dan rapih. Ia menaburkan bunga di atas makam itu setelah memanjatkan doa untuk seseorang yang ada di dalam sana. Lalu matanya menatap makam lain yang sudah rapih dengan keramik yang menghiasinya, makam yang telah lebih dulu ada sejak beberapa tahun lalu. Kehilangan seolah menjadi teman baik wanita itu meski ia tahu Tuhan tak bermaksud memberi cobaan terus menerus padanya. Namun entah kenapa ia merasa harus tetap kuat untuk hidup, terutama ada putrinya yang membutuhkan ibunya ini. Ia merasa tidak boleh lemah dan harus berdiri tegap di atas kakinya sendiri meski seringkali ia membutuhkan sandaran. Sandaran yang mungkin akan sedikit meringankan hari-harinya yang terasa cukup berat. Hidup sendirian bukanlah hal yang mudah. Terkadang Aurora membayangkan memiliki keluarga kecil yang utuh dan bahagia. Ya, bahagia. Ia memimpikan kebahagiaan yang mungkin tak akan pernah ia rasakan. Padahal masih banyak yang ingin Aurora lakukan untuk bisa membahagiakan ayahnya, sayangnya Tuhan lebih menyayangi pria yang selalu menciptakan kebahagiaan untuknya dan untuk Sabhira. Saking baiknya sang ayah, Tuhan pun ingin pria itu segera berada di sisinya. Tetes demi tetes air turun dari langit, membuat Aurora bergegas beranjak dari tempatnya meski ia masih ingin lebih lama berada di sini. Namun hujan yang semakin deras itu membuatnya segera pergi. Ia pun langsung beranjak dan pergi meninggalkan tempat dimana kedua orang tuanya berada. Lalu wanita itu berdiri di halte bus sembari berteduh dan menunggu seseorang yang katanya akan menjemput. Sesekali ia mengulurkan tangannya, membiarkan tetesan demi tetesan air menyentuh kulitnya. Padahal langit sore itu cukup cerah tapi kenapa hujan bisa datang dengan tiba-tiba seperti ini? Sama halnya dengan kehidupan, meski semua terlihat baik-baik saja sekalipun, adakalanya cobaan berat datang ke kehidupan ini, meluluhlantakan bagai badai di tengah hujan deras. Tak menunggu waktu lama hingga sebuah mobil pajero berwarna hitam berhenti di depan halte. Jendela mobil itu terbuka dan seseorang turun dari sana sembari membawa payung di tangannya. “ Ayo!” sahut pria itu sembari tersenyum seolah baru menemukan bidadari di tengah hujan deras ini. “ Pas banget kamu lagi di dekat sini ya,” ucap Aurora yang membalas senyum pria itu. Pria yang tak lain adalah Nathan itu mengangguk. “ Ini kebetulan atau takdir ya?” guraunya. Sementara dari sudut lain seorang pria yang berada di dalam mobilnya terlihat memperhatikan wanita dan pria yang terlihat mengobrol singkat di halte bus itu sebelum akhirnya keduanya masuk ke dalam mobil yang sama. Senyum wanita itu pada pria di depannya seketika membuat Langit mengepalkan tangannya. “ Kamu terlihat bahagia ya? Padahal kecelakaan yang menimpamu telah membuatku kehilangan istri dan calon anakku.” ..................... “ Sabhira udah di rumah sama Mona dan Maya. Aku udah bilang mau jemput kamu sih. Sabhira juga protes soalnya nggak kamu ajak buat nengok kakeknya,” ucap Nathan yang melaporkan apa yang ia lakukan hari ini. Tak jarang memang ia menyempatkan diri menjemput Sabhira di sekolahnya meski gadis yang beranjak remaja itu terkadang menolak karena tak mau merepotkan. Padahal sama sekali tidak merepotkan, ia justru senang apalagi Sabhira adalah gadis yang manis dan terkadang jadi sangat cerewet jika menemukan hal-hal yang menarik. Hal lain yang terkadang Nathan lakukan adalah mengajak Sabhira di coffe shop langganan mereka sembari menunggu jam dinas Aurora selesai. Ia sering kasihan dengan Sabhira yang sering menyendiri jika Aurora sedang sibuk bekerja. Apalagi di rumah hanya ada dia dan ibunya. Sabhira juga bukan tipe orang yang memiliki banyak teman jadi ia tahu betapa kesepiannya gadis itu. Namun untunglah hari ini kakak dari Aurora dan anaknya berkunjung ke rumah Aurora. Jadi Sabhira pun ada yang menemani setelah pulang sekolah. Jika bersama keluarga besarnya, Sabhira memang cukup ceria dan terbuka. Sangat berbeda jika dia berhadapan dengan orang-orang di luar sana yang mungkin tak terlalu dia kenal. Nathan berharap kelak Sabhira memiliki sahabat yang bisa menemaninya sehingga dia tidak kesepian lagi. Sabhira harus tahu, memiliki sahabat adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini. Dimana kamu bisa berbagi apapun pada orang yang memang tak sedarah denganmu, tapi dengan mereka kamu tahu... kamu bisa bahagia. Seperti yang Nathan rasakan saat bersama Aurora—sahabatnya. Walau terkadang ia juga berpikir ingin memiliki hal lebih dari hanya sahabat, sayangnya ia tidak cukup berani untuk itu. “ Syukurlah. Jadi Bhira ada yang nemenin.” “ Mau minum coklat panas dulu? Kamu tadi keujanan, kan?” Nathan menawarkan. Aurora mengangguk. “ Boleh.” Pria itu juga berharap, kelak mungkinkah Aurora menyadari perasaannya yang telah lama terpendam ini lalu menerimanya? Nathan pun membelokkan mobilnya ke salah satu cafe yang menjadi favorit mereka berdua. Karena menu-menu minuman cokelat dan cake di sini sangat enak, pas dengan selera mereka berdua yang suka makanan manis tapi yang tidak terlalu berlebihan manisnya. Salah satu menu favorit Aurora adalah choco mint, kali ini karena cuaca sedang hujan jadi dia memesan hot choco mint sementara Nathan memilih untuk membeli caffe latte kesukaannya dan dua potong cheese cake strawberry. Keduanya lalu menikmati menu pesanan mereka masing-masing, sembari menatap ke luar jendela yang menampilkan tetesan demi tetesan air yang menempel di kaca. “ Tadi kamu abis darimana? Kok bisa ada di sekitar sini?” tanya Aurora penasaran. “ Oh, itu... aku baru mengunjungi teman di sekitar sini. Terus pas lihat status kamu yang mengambil gambar taburan bunga, aku pikir kamu pasti lagi mengunjungi makam ayahmu. Jadi ya sekalian aku nawarin buat pulang bareng,” ucap Nathan yang tak sepenuhnya salah. Yang sebenarnya adalah begitu dia selesai dinas di rumah sakit dan melihat status di sosial media Aurora, ia langsung pergi ke sini dan mampir di salah satu warung makan untuk makan siang. Ia lebih dulu menawarkan Aurora untuk menjemputnya, untunglah Aurora tak banyak bertanya dan mau saja. Aurora mengangguk-angguk mengerti. “ Aku mau pesen choco mint cake dulu buat Sabhira. Dia pasti suka.” Ia beranjak dari tempatnya, meninggalkan Nathan yang jantungnya saat ini berdegup begitu cepat. Mungkin takut kebohongannya terbongkar. Padahal Aurora bukanlah wanita yang sepeka itu. Ya, di dunia ini yang paling tidak sering ia pikirkan adalah pria dan cinta. Dua hal yang bahkan masih sulit untuk ia percayai di dunia ini selain ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD