Jika kau percaya dengan takdir yang telah Tuhan buat. Maka kau juga harus percaya di balik sebuah kehilangan yang sangat menyakitkan, Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah untukmu. Sesuatu yang akan membuatmu lupa akan luka yang telah tertoreh dalam hatimu. Meski mungkin kamu belum menyadarinya tapi coba untuk berpikir yang positif tentang takdirmu. Tuhan tak mungkin memberimu cobaan terus menerus dalam hidupmu, tapi Tuhan juga memberikanmu berkah yang luar biasa untuk hidupmu.
....................
Selama beberapa minggu, Langit bolak balik ke rumah sakit guna memulihkan kesehatannya. Ia juga menjalani beberapa terapi untuk tulang kakinya yang patah. Perlahan tulang kakinya pun kembali normal meski tidak senormal dahulu. Namun yang penting ia bisa pergi tanpa tongkat atau kursi roda lagi.
Hari ini akan menjadi hari terakhir Langit ke rumah sakit karena kondisinya sudah dinyatakan sembuh total. Dokter pun hampir tak percaya karena hanya dalam dua bulan lebih kondisi Langit sudah menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Mungkin karena usianya yang masih cukup muda jadi tulang-tulangnya pun dapat kembali berfungsi dengan baik.
Selama dua bulan lebih bolak balik rumah sakit ini, ada beberapa hal yang Langit perhatikan. Terutama wanita yang ia ketahui sebagai salah satu dokter di rumah sakit ini, wanita yang terlibat dalam kecelakaan yang istrinya alami. Bahkan meski katanya sempat kritis, kini wanita itu terlihat sangat sehat dan bahagia? Senyum selalu menghiasi wajahnya yang bisa dibilang cantik itu, terutama saat pria yang sepertinya dokter juga berada di sisinya. Dokter pria yang ternyata adalah dokter yang menangani operasinya beberapa waktu lalu, juga pria yang menjemput wanita itu di pemakaman. Kenapa dunia sesempit ini?
Entah kenapa hati Langit tak menyukainya. Bukan karena ia menyukai wanita itu, melainkan ia tak suka jika ada seseorang yang terlalu menunjukkan kebahagiaannya padahal ada orang lain di sini yang merasa kehilangan begitu dalam sampai hampir tak percaya lagi dengan apa itu bahagia?
Yang paling memuakkan adalah entah kenapa Tuhan seolah ingin menunjukkan wanita itu terus di hadapannya, padahal Langit sangat tidak ingin melihatnya. Karena semakin ia melihat wajah wanita itu, ia teringat akan penderitaan yang Cahya alami di detik-detik terakhir kehidupannya. Betapa ingin istrinya hidup dan menyelamatkan anak mereka, dan dia tidak bisa mendapatkan kesempatan itu sedikitpun.
Sembari meremas gelas kopinya yang sudah kosong, Langit langsung beranjak pergi dari sana. Tentu saja setelah ia melihat wanita itu tengah masuk ke dalam kantin rumah sakit bersama dokter Nathan. Ia pun memilih untuk menunggu obat-obatannya selesai dibuat di taman rumah sakit, tempat pertama yang menjadi favoritnya di rumah sakit ini.
Matanya mengarah pada gadis berambut cokelat yang pernah Langit lihat waktu ia masih dirawat. Ia baru menyadari jika sudah lama tidak melihat gadis kecil itu lagi, tapi kini dia ada di sini? Kalau tidak salah dulu dia bilang di sini untuk menunggu ibunya. Apakah ibunya dokter, atau pasien sepertinya?
Perlahan Langit melangkah mendekat ke tempat gadis yang sudah menyelamatkan nyawanya itu. Sekilas ia melihat tangan gadis itu lihat mencoret-coret buku catatanya. Dan luar biasanya, gadis itu ternyata sedang menggambar, gambar yang sangat bagus. Sepertinya dia memang berbakat. “ Gambar yang bagus.”
Agak terkejut, gadis bernama Sabhira itu menoleh ke arah pria yang baru saja bicara padanya. “ Loh, Om?” Ia sepertinya juga mengingat siapa pria yang tengah mengajaknya bicara itu.
Langit hanya mengangguk kecil. Ternyata gadis ini masih mengingatnya.
“ Om udah sembuh?” tanya Sabhira sembari memperhatikan Langit yang sudah mampu berdiri tanpa bantuan alat lagi. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Entah apa yang membuatnya bahagia. “ Syukurlah,” lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari Langit.
“ Iya nih. Udah sehat lagi. Berkat kamu yang nolongin om tepat waktu,” ucap Langit yang jadi ikut tersenyum.
“ Terus om ngapain ke sini lagi?” tanya Aurora penasaran.
“ Habis cek up terakhir. Nanti ke depannya nggak ke sini lagi deh.”
“ Bagus dong. Kan nggak sakit lagi. Lagian nggak enak di rumah sakit tuh.” Sabhira kembali berceloteh. “ Aku aja kalau bukan karena mommy, mana mau ke tempat ini. Mending ke toko buku.”
“ Memangnya mommy kamu kerja di sini atau gimana?” tanya Langit yang semakin penasaran dengan gadis manis yang sangat sopan ini. Membuatnya ingin terus berbincang dengannya. Ya, semoga saja Sabhira tidak mengiranya sebagai om-om genit yang suka menggoda gadis belia. Big no!
“ Kerja kok,” jawab Sabhira singkat lalu tangannya melirik ke arah jam tangannya. “ Wah! Udah jam segini. Aku harus segera pergi, Om. Sampai jumpa ya! Semoga om semakin sehat. Lain kali jangan naik mobil sambil mabuk, bahaya!” ucapnya sembari beranjak dan meninggalkan Langit.
Langit terdiam di tempatnya, menatap sosok Sabhira yang semakin menjauh dari pandangannya. Entah kenapa ia merasa nyaman berbicara dengan gadis muda itu. Padahal tak biasanya ia bisa akrab dengan orang yang jauh lebih muda seperti ini. Aneh memang. Ia jadi merasa enggan tak kembali ke rumah sakit ini lagi. Jika ia tidak ke sini lagi, apa ia masih bisa melihat gadis belia yang ramah seperti Sabhira lagi?
.....................
Ada banyak hal yang membuat Sabhira menutup diri dari teman-temannya. Mungkin ia satu-satunya yang tidak memiliki teman dekat di sekolah ini. Padahal teman sebayanya yang lain terlihat akrab satu sama lain seperti makan di kantin bersama, mengobrol di taman atau sekedar menonton anak laki-laki bermain sepak bola sembari membicarakan anak laki-laki yang mereka sukai.
Bukan Sabhira tidak mampu berinteraksi, ia justru bisa menjadi pribadi yang ceria dan menarik siapapun untuk berteman dengannya. Terlebih ia adalah juara kelas sejak kelas satu dan wajahnya yang manis membuat siapapun ingin berteman dengannya. Namun entah kenapa Sabhira membangun dinding yang begitu tinggi, membatasi siapapun untuk tidak berada terlalu dekat dengan dirinya. Bukan karena ia tak menyukai teman-temannya ataupun membenci mereka, ya beberapa temannya memang menyebalkan tapi tidak membuatnya sampai membenci mereka.
Sabhira hanya merasa tidak mau ada satupun orang yang tahu mengenai kehidupan pribadinya. Jika memiliki sahabat, bukankah itu artinya mereka akan tahu segala hal tentangmu? Bahkan kehidupan pribadimu sekalipun. Jika mereka tahu tentang kehidupan keluarganya yang tidak harmonis dan justru menyeramkan karena ayahnya sendiri nyaris membunuh ibunya, kira-kira apa yang akan mereka pikirkan nanti? Cukup teman-temannya hanya tahu jika ayahnya sudah meninggal, mereka tidak boleh tahu lebih dari itu. Tak apa mereka mengasihaninya sebagai anak yang tumbuh tanpa seorang ayah, dibanding mereka tahu jika ia adalah anak dari buronan atas percobaan pembunuhan ibunya sendiri. Hal itu jauh lebih melukai harga dirinya.
Sabhira pun ingin melindungi ibunya juga nama baiknya. Ia tidak mau siapapun mengetahui hal buruk yang pernah ibunya alami lalu membicarakan di belakangnya. Kasus itu sudah lama ditutup dan jangan sampai ada yang mengetahuinya selain orang-orang terdekat mereka. Ia tidak mau ibunya terluka lagi. Tidak untuk yang kedua kalinya.
“ Sabhira. Mau makan siang bareng?” tanya seorang gadis sebayanya yang menggunakan kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya.
Meski banyak orang yang mau berteman dengan Sabhira, tapi hanya gadis di depannya ini yang memiliki tekad kuat untuk terus berada di dekatnya. Seringkali Sabhira menolak ajakannya seolah terang-terangan tak ingin dekat dengan siapapun seperti yang ia lakukan pada teman-temannya yang lain. Namun entah kenapa Fera—selalu mengajaknya lagi dan lagi. Seolah tidak pernah lelah atau merasa kesal karena penolakannya terus.
Sabhira jadi ingat ucapan ibunya semalam yang entah kenapa tiba-tiba ibunya jadi membahas hal itu. Mungkin karena dia tahu anaknya ini tidak punya teman dekat. “ Cobalah untuk mendapatkan teman baik. Nggak ada salahnya loh. Teman baik itu bisa selalu ada di dekatmu, menemanimu dalam keadaan apapun.”
“ Kayak mommy sama om Nathan?” tanya Sabhira dengan wajah polos.
Aurora pun mengangguk seraya tersenyum. “ Memiliki sahabat adalah hal terindah yang patut kita syukuri sayang. Bagaimanapun juga kita adalah manusia yang membutuhkan manusia lain. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita saling membutuhkan.”
Mengingat ucapan ibunya, kali ini Sabhira mencoba membuka dirinya. Kepalanya pun mengangguk, membuat Fera tampak kaget karena tak menyangka jika ia akan menerima ajakannya setelah ke sekian kalinya penolakan. “ Yuk!”
“ Beneran?” tanya Fera yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“ Iya, yuk!”
.....................
“ Om jemput aku lagi?” tanya Sabhira yang tidak terkejut melihat kemunculan Nathan di depan gerbang sekolahnya.
Nathan tersenyum dan mengangguk. “ Ibumu menyuruh om jemput lagi. Kita akan makan siang bareng,” ucapnya lalu menatap gadis berkacamata yang berdiri di samping Sabhira.
Menyadari kemana arah tatapan sahabat dari ibunya itu, Sabhira kembali bicara. “ Tapi aku mau jajan seblak sama Fera dulu. Apa Fera ikut aja makan siang sama kita?” tanyanya menatap teman di sebelahnya.
“ Eh? Memangnya boleh?” tanya Fera yang terlihat ragu.
“ Boleh kan, Om?”
Tidak mungkin menolak, Nathan pun mengangguk. “ Boleh dong. Makin rame kan makin bagus.”
“ Yaudah yuk! Kamu kirim pesan ke orang tua kamu dulu ya biar mereka nggak cemas nyariin kamu,” ucap Sabhira mengingatkan Fera.
Fera hanya mengangguk-angguk lalu melakukan apa yang Sabhira katakan. Setelah itu mereka bertiga pun masuk ke dalam mobil milik Nathan.
Butuh sepuluh menit hingga mereka semua sampai di salah satu restoran yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tempat dimana Nathan dan Aurora bekerja. Rupanya wanita yang berkarir sebagai dokter kandungan itu sudah datang lebih dulu dan memesan tempat. Tak lupa dia memesan tempat tambahan karena kedatangan teman dari Sabhira seperti yang Nathan katakan melalui pesan. Awalnya Aurora hampir tak percaya jika anak perempuannya akan mengajak temannya untuk makan siang bersama. Namun ternyata hal itu terbukti ketika mereka bertiga datang bersama, termasuk gadis lain yang sebaya dengan anaknya.
Aurora menahan rasa harunya karna pada akhirnya anak perempuannya membawa teman seperti ini. Ini adalah yang pertama kalinya. Apalagi melihat Sabhira tersenyum begitu tulus pada temannya, membuatnya semakin bahagia. “ Wah! Ini ya temannya Bhira. Cantik ya,” pujinya.
Fera tersenyum malu-malu lalu menyalami Aurora dengan sopan. “ Saya Fera, Tante.”
“ Nama yang bagus, Fera,” ucap Aurora lagi. “ Ayo duduk. Silahkan mau pesan apa aja. Tante seneng banget karena Bhira bawa temannya.”
“ Mommy.” Sabhira mencebikkan bibirnya.
“ Apa, sayang?” Aurora mengusap puncak kepala anaknya dengan lembut lalu menatap Fera lagi. “ Meskipun anak tante kadang nyebelin, semoga kamu betah ya temenan sama dia. Kalian harus akur.” Ia memberi nasehat.
“ Apa sih, mom?”
Fera mengangguk sopan. “ Iya, tante. Aku seneng kok temenan sama Sabhira. Dia cantik dan pintar.”
“ Berlebihan deh kamu.” Sabhira tak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya.
“ Iya sih, tapi sayangnya Bhira nggak terlalu banyak teman. Kira-kira kenapa ya, Fer?”
“ Kamu tuh malah interogasi temennya Bhira terus. Pesen makan dulu kek,” tegur Nathan yang langsung diangguki oleh Sabhira.
“ Betul! Kita udah laper tahu!”
“ Oh iya ya. Sampai lupa mommy.” Aurora tersenyum tanpa merasa bersalah. Mungkin karena ia sebahagia itu melihat anaknya memiliki teman baru?