Icha diantar Andre sampai depan gerbang kost, lelaki itu pergi meninggalkan nya setelah Icha meminta, karena dia merasa perlu bersiap-siap. Apalagi Andre bilang hari ini boleh datang terlambat.
Icha baru saja membuka kunci pintu kamar kostnya ketika Dara keluar dari kamar sebelahnya.
Wanita yang bekerja di cafe itu tampak ingin berangkat kerja.
"Weits ada yang enggak pulang nih semalam," ledek Dara sambil bersandar di tembok, Icha mendorong pintu dan masuk ke dalam, dia hanya tertawa menanggapi.
Dara yang dilanda ke-kepoan akut itu memutuskan berdiri di pintu kamar Icha melipat kedua tangannya dan bersiul.
"Gimana semalem? Pecah perawan kamu?" Sejak bertemu Icha, Dara jadi ikut berbicara aku-kamu karena Icha yang tak mau menggunakan kata Lo-Gue seperti anak muda lainnya.
"Ngaco, enggaklah dia gak mau perawanin!" Icha membuka sepatunya dan meletakkan di pojok kamar. Kamar sepetak itu hanya berisi satu ranjang, dan satu lemari, televisi kecil serta AC yang memang sudah disediakan pemilik kostan.
"Lho kenapa?" Dara berjengit penasaran.
"Enggak mau, dia bilang harus jaga keperawanan untuk suami aku kelak."
"Hmmm bener juga sih, tapi serius dia bisa nahan nafsunya?" Icha mengangguk, bukan hal tabu membicarakan ini dengan Dara karena sejak awal, wanita itu yang terbuka pada Icha membuatnya jadi terbuka pula dalam segala hal.
"Terus kamu enggak kerja?" Dara memperhatikan Icha yang berbaring di kasur.
"Kerja nanti siang, kata si om disuruh datang siang aja,"
"Widih, kayaknya service kamu memuaskan yaa semalam?"
"Apaan sih, rese... Udah sana berangkat nanti terlambat," usir Icha secara halus, dia ingin memejamkan matanya barang sejenak rasanya lelah padahal dia merasa cukup tidur semalam tadi.
"Oke deh, nanti aku kirim bahan baru yaa," tutur Dara berceloteh riang,
"Hei jangan lupa tutup pintu!" perintah Icha yang dituruti Dara. Dara menutup pintu kamar Icha dan berjalan ke depan kost mengendarai motor besarnya.
Pada Dara Icha terbuka segala hal Termasuk tentang orang tuanya, mungkin karena Dara juga merupakan anak yang kesepian membuat mereka cocok.
Dara menjadi yatim piatu sejak kecil, dia diasuh oleh bibinya yang mengurusnya layaknya pembantu. Segala hal dilakukan Dara sejak kecil, mencuci baju sendiri, menggoreng telur atau memasak mie, bahkan dia menyiapkan makan untuk anak-anak bibinya itu. Membuatnya bertekad lulus SMA dia akan meninggalkan rumah itu.
Dan ketika lulus, dia segera melamar kerja, sebulan kerja tinggal dirumah bibi, wanita itu seperti mempelorotinya dengan meminta sebagian gajinya.
Dara yang pintar hanya menyebutkan setengah gajinya saja yang dia terima, karena itu dia bisa menyembunyikan setengah gaji lainnya untuk bayar kost.
Dan sampai kini sudah lima tahun Dara bekerja di Cafe itu, bosnya sudah sangat mempercayainya untuk memegang beberapa hal penting cafe tersebut. Meskipun begitu Dara tak mau meninggalkan kost ini menurutnya ini adalah rumahnya, meskipun ibu kostnya tegas, namun tak sekejam bibinya.
Icha ketiduran dan baru bangun pukul sepuluh, dia segera bergegas untuk mandi lagi karena tubuhnya terasa lengket. Berjalan ke kantor dan seperti biasa menyapa dengan riang siapa saja yang dia lihat.
Namun senyumnya pudar ketika melihat ruangan Andre yang kosong, sepertinya lelaki tersebut pergi ke kantor tiga tanpanya.
Icha mengirim pesan pada Andre dan menanyakan sedang dimana? Apakah perlu disusul?
Namun Andre menjawab tidak perlu karena dia bisa menghandle sendiri. Dia meminta Icha merapikan jadwalnya saja untuk sebulan kedepan.
Icha merasa santai hari ini, pekerjaan tak terlalu banyak dan dia pun dapat memesan makan siang melalui OB, gajinya lebih dari cukup untuk kehidupan sehari-hari.
***
Sore hari Andre menemui Nadhifa di salonnya. Salon Nadhifa terbagi dalam dua tempat terpisah khusus laki-laki dan salon khusus perempuan.
Dia ingin merapikan rambutnya, dan Nadhifa sendiri yang memegangnya karena Andre adalah pelanggannya nomor satu. Nadhifa ingat saat SMA lelaki itu meminta dirinya memotong rambut karena habis dipangkas oleh gurunya.
Nadhifa yang merasa terpaksa pun menuruti Andre, disudut ruang kelas mereka melakukan potong rambut ala salon. Dan untuk pertama kalinya Andre memuji keterampilan Nadhifa memotong rambut dan dia yang mendorong wanita itu mendirikan salon pribadi. Hingga akhirnya Salon Nadhifa berdiri sebagus ini, semua tak lepas dari dukungan Andre terhadapnya.
Nadhifa sudah mulai memotong bagian samping rambut Andre.
"Gimana kabar Icha," tanyanya, Andre berdehem, bagaimana bisa sahabatnya ini mengetahui apa yang sedang dipikirkannya?
"Baik," ucapnya singkat.
"Ya dia memang anak baik, ramah dan ceria tapi Ndre, kamu ngerasa enggak sih kalau ada yang ditutupi dari senyumnya?" Andre melihat Nadhifa dari kaca besar dihadapannya. Nadhifa tampak serius memotong rambutnya meski bibirnya terus berbicara.
"Maksudnya?"
"Ya, jujur aku lihat dia kayak tersenyum tapi matanya enggak, kayak ada kesedihan, kesakitan gitu Ndre." banyak menangani pelanggan, mendengar cerita mereka membuat Nadhifa sedikit paham karakter seseorang.
"Ya mungkin dia masih sedih akan kepergian Dinda yang tiba-tiba, apalagi mereka kan deket banget enggak terpisahkan."
"Oh, Dinda yang tunangan Rafa adik kamu ya?"
"Iya betul,"
"Bisa jadi sih, tapi aku seneng deh Ndre, sejak ada Icha kayaknya mata kamu seolah hidup lagi, bercahaya lagi gitu," ucap Nadhifa, tersenyum memperhatikan penampilan Andre dari cermin, rambutnya telah rapih dipangkas
"Liat orang ke mata terus!" sungut Andre.
"Pengennya sih liat orang dari dompetnya Ndre tapi kan enggak keliatan hehe."
"Garing kamu, ini sekalian dong bersihin," Andre menunjuk brewoknya yang terasa sudah panjang.
"Dicukur habis aja enggak mau?"
"Jangan, kharisma aku disini letaknya," Andre tertawa membuat Nadhifa ikut terkekeh.
"Kharisma apaan? Keliatan tua! By the way, kamu enggak mau lanjutin hubungan sama Icha?"
Andre menunduk, menarik nafas panjang dan menatap Nadhifa dari cermin.
"Apa pantas? Usia kita jauh lebih tua, dia bahkan lebih pantas jadi keponakan aku."
"Hari gini enggak jaman bandingin usia, lha kamu tau sendiri papa mama aku terpaut dua puluh lima tahun kan saat menikah, tapi hubungan mereka langgeng sampai sekarang, kamu hanya terpaut delapan belas tahun, enggak masalah." Nadhifa menyemangati dengan berapi-api, sebagai sahabat dia sangat ingin melihat sahabatnya itu menikah, menjalin rumah tangga dan hidup berbahagia dengan pasangannya.
Sejak kepergian Olivia, Andre bahkan hampir tak pernah tersenyum, tapi belakangan ini dia merasa ada yang beda sejak kehadiran Icha dalam hidupnya.
Andre mulai memperhatikan penampilan lagi, mulai sering tersenyum dan tertawa. Dia seolah bangkit dari kematian, dan Icha yang membangkitkannya.
"Ya enggak cuma dari umur, tapi apa bisa saya ngimbangi dia, pergaulannya, cara bersenang-senang dengannya? Apakah saya bisa bahagiain dia? Jarak kita terlampau jauh,"
"Kalau tidak dicoba, kamu enggak akan tahu Ndre, percaya deh."
Nadhifa merapikan kumis Andre dan mengibas rambut yang ada di kep, kain penutup badan untuk potong rambut tersebut.
Andre bangkit dan memperhatikan secara jelas penampilannya, Nadhifa memang paling jago melayaninya. Dan sejak dahulu dia sudah cocok dengan tangan wanita itu.
Andre pamit pulang setelah membayar biaya salon, meskipun sahabat tetap saja dia menolak jika Nadhifa menggratiskan pelayanannya, baginya persahabatan dan bisnis adalah dua hal yang berbeda.
***
Dengan langkah lemah, Icha berjalan ke kamar kost, meskipun semalaman bersama Andre, tetap dia merindukan lelaki itu saat tak melihatnya di kantor.
Mungkin Icha mulai jatuh cinta pada Andre, pada setiap perlakuan Andre terhadapnya, setiap sentuhan Andre yang lembut. Dan ciuman Andre yang memabukkan, serta bulu halus diwajah Andre yang membuatnya kegelian saat mencumbu kewanitaannya.
Ah dengan membayangkan itu saja, Icha sudah merasa sangat bernafsu dan ingin segera mendekap Andre dalam pelukannya.
Icha memutuskan mandi, mengguyur tubuhnya dengan air dingin pasti mampu mengusir bayangan imajinasi liar akan apa telah mereka lakukan semalam dan pagi tadi.
Setelah mandi, Icha memilih menonton televisi, memakai celana pendek dan tanktop menjadi pilihannya. Sampai pukul sepuluh ketika Dara yang baru pulang dan melihat pintu Icha masih terbuka.
Diapun melongokkan kepalanya, dan melihat Icha yang bersandar di ranjang dengan mata sudah menatapnya tajam.
"Kenapa?" sungut Icha,
"Lagi PMS kamu? Judes banget."
"Lagi sebel sama om Andre, gak ketemu sama sekali, kangen tau!" Dara berdecih sebal dilepas sepatunya dan berjalan masuk ke kamar Icha.
"Katanya kakak kamu DJ ya? Samperin yuk sekalian jalan malam."
"Yah nanti kesini lagi pintunya udah dikunci gimana?"
"Ya kita nginep dimana gitu," Dara menaik turunkan kedua Alis nya. Icha berpikir, dia sangat suntuk dan Andre bahkan tak membalas pesan darinya.
Diapun mengangguk setuju, "Pulangnya kerumah mami aku aja," tawar Icha, Dara tertawa riang dia bergegas ke kamarnya dan berganti pakaian. Sementara Icha hanya mengganti celana dan mengambil jaket jeans lalu mengenakan heels agar terlihat lebih tinggi.
Terkadang dia dianggap anak kecil karena ukuran tubuhnya itu.
Dara berganti baju dan menemui Icha di depan. Icha pun membonceng di belakang motor Dara, berpegangan padanya. Tubuh Dara terlihat seperti cowok apalagi memakai helm full face seperti ini.
Sampai di club, Dara dan Icha segera masuk ke dalam memperhatikan DJ yang bertugas ternyata adalah kakaknya, Icha melambai pada Nanda yang dibalas tatapan membunuh dari wanita itu.
Berbeda dengan Icha, tubuh Nanda justru menjulang tinggi, dan padat. Dia sangat seksi dilihat darimana pun. Meskipun Icha sedikit melihat perubahan di tubuh kakaknya, namun dia tak tahu apa?
Setelah menyelesaikan satu lagu, Nanda meminta digantikan karna dia ingin menemui cecunguk rese yang mengganggunya itu.
"Anak kecil ngapain kesini!" Nanda bahkan menjitak kepala Icha hingga wanita itu mengaduh kesakitan.
"Icha udah gede ka! Sakit tau! Oiya kenalin ini temen kost Icha, namanya Dara." Dara bersalaman dengan Nanda dan menyebutkan namanya.
"Yuk duduk," ajak Nanda ramah pada Dara. Sementara dia melemparkan tatapan tajam pada Icha.
Nanda memesan dua minuman non alkohol untuk mereka setelah tahu bahwa Dara membawa motor dan Icha memang tak bisa mengendarai motor.
"Jadi beneran Icha ngekost? Mami sendirian dong?"
"Ada papi, ada embak yang baru juga," jawab Icha sambil minum, Nanda hanya memutar bola matanya jengah ketika Icha menyebut kata Papi, sepertinya anak kecil ini belum tahu keadaan yang sebenarnya padahal dia adalah anak kesayangan ayah mereka.
"Ka Nanda sering-sering pulang dong, liat mami, kasian makin kurus."
"Lha kamu sendiri malah keluar dari rumah itu? Siapa sih yang kuat liat mami kayak gitu?" jika Icha adalah anak kesayangan ayahnya, maka Dinda adalah anak kesayangan ibunya. Sementara Nanda merupakan anak cuek yang selalu membangkang kedua orang tuanya sejak remaja.
Beberapa lelaki mengajak mereka turun ke floor, namun ditolak Nanda dengan sadis sambil bilang, "itu adek gue!" membuat Icha tersenyum, setidaknya kakaknya masih mengakuinya meskipun hubungan mereka mungkin tak sebaik kakak-adik lain diluaran sana.
"Jangan mau dirayu laki-laki disini kalau enggak mau berakhir di ranjang! Kalau mau turun ya turun aja tapi jangan sama cowok oke!" ancam Nanda, Icha dan Dara hanya mengangguk dan lebih memilih menikmati musik dari tempat duduk.
Pukul dua belas malam mereka pulang ke rumah Icha, tak ada mobil ayahnya. Membuat Icha yakin bahwa laki-laki dewasa yang selama ini membesarkannya itu tak berada dirumah.
Icha meminta Dara berjalan ke kamarnya karena dia ingin melihat ibu.
Sampai kamar ibunya, tampak wanita itu sudah tertidur pulas, memeluk bingkai foto Dinda yang sedang tersenyum senang.
Icha membawa baki diatas nakas yang berisi nasi dan lauk yang hanya dimakan seperempat porsi saja. Setidaknya ada yang masuk ke perut ibunya.
Pembantu mereka memang tidak menginap dan hanya datang tiga kali sehari untuk menyediakan makan ibu Icha.
Icha membawa baki itu ke dapur, mencuci piring kotornya dan mengambil cemilan untuk Dara.
Dara melihat Icha yang murung hanya bisa menenangkan dengan menepuk punggungnya, "Sabar ya Cha," tuturnya yang diangguki Icha.
***
bersambung