"Nona." Linda segera menghampiri Sara dan membantunya berdiri. Sara terdiam sambil terisak. Sara mengutuki air matanya yang tidak bisa berhenti walau sudah sekuat tenaga coba Sara tahan.
Tanpa banyak bicara, Linda membantu Sara berjalan ke kamarnya. Mungkin Nonanya perlu beristirahat, pikirnya.
"Nona istirahat saja. Saya akan bawakan makanannya kesini." Ucap Linda setelah membantu Sara berbaring di ranjang kamarnya.
"Tidak perlu Bi. Aku sudah tidak lapar. Antarkan saja makanan pada Sean." Balas Sara sambil menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya hingga ujung kepala. Sara tidak ingin terlihat lebih menyedihkan sekarang walau tadi sudah cukup menyedihkan.
"Baiklah Nona. Sebaiknya Nona minum air putih dulu sebelum tidur." Ucap Linda pengertian.
Sara hanya menganggukkan kepalanya di dalam selimut. Walau tidak melihat secara lansung, Linda bisa melihat gerakan selimut Sara dan mengerti.
"Kalau begitu saya permisi Nona." Pamit Linda sambil membungkuk sopan dan meninggalkan Sara yang masih menyembunyikan diri di balik selimut.
Setelah kepergian Linda, Sara membuka selimutnya hingga sebatas d**a dan menghembuskan napas berat. Kejadian tadi berputar kembali di otaknya, seolah-olah mengutuknya untuk tidak pernah melupakannya. Sara merasakan sakit di dadanya. Seperti ada seseorang yang meremukkannya. Air bening itu kembali mengalir di kedua sudut matanya.
Benar Sara. Kau tidak seharusnya begitu naif. Orang seperti Sean, tidak akan mungkin menyukaimu. Jangankan menyukai, melirik saja kurasa dia enggan. Batin Sara.
Sara merasakan sesak napas walau sekarang dia sedang berbaring. Sara mencoba menarik dan menghembuskan napas berkali-kali lewat mulutnya sebelum akhirnya tidur. Dia merasa lelah.
*****
Sean merasakan emosi yang memuncak di ujung kepalanya. Bagaimana tidak tau diri gadis buta itu! Batin Sean. Yang benar saja, aku begitu memperdulikan kakinya? Bahkan jika kakinya terpotong pun itu tidak ada hubungannya dengan Sean. Namun itu ada hubungannya dengan uang yang telah Sean keluarkan untuk gadis buta itu.
Ayahnya memeras dan anaknya bertindak tidak tau diri. Kini Sean menyesal telah membeli barang rusak. Sean hanya membuang uang untuk hal yang tidak ada gunanya.
Tok Tok Tok! Suara pintu yang diketuk mengalihkan pemikiran Sean. Sean hanya bergumam cukup keras untuk menjawab. Setelahnya, Linda muncul di balik pintu sambil membawa nampan makanan. Sean menggerutkan dahi.
"Tuan, saya bawakan makanan karena tadi Tuan belum sempat makan apapun." Ucap Linda. Ia tidak berani meletakkan nampan makanan itu dimanapun tanpa seijin Tuannya.
"Bawa pergi. Aku tidak nafsu makan lagi." Ucap Sean dingin dan mengalihkan tatapannya dari Linda. Menganggapnya tidak ada.
"Tapi tadi Nona Sara bi-"
"KAU DENGAR AKU LINDA!" Bentak Sean menggelegar hingga Linda hampir saja melemparkan nampan di tangannya karena kaget. Linda menunduk takut dan menyesal.
"Maaf Tuan. Permisi." Linda segera berbalik dan keluar dari kamar Sean sebelum Tuannya berubah pikiran dan mungkin akan membunuh Linda di dalam. Linda bahkan tidak berani menatap mata Sean walau Linda tau Sean menusukkan tatapan padanya hingga ia menghilang di balik pintu.
Linda hanya menghela napas berat. Tuan dan Nonanya tidak ada yang ingin makan sedangkan ia telah memasak banyak sekali makanan. Tidak mungkin Linda yang habiskan sendiri tetapi Linda juga sayang harus di buang. Akhirnya Linda memasukkan makanan-makanan tersebut ke dalam kulkas. Setelah dipanaskan, makanan itu masih layak di makan.
****
Tengah malam, Sara terbangun. Cacing di perutnya telah berdemo ingin makanan. Sara meraba nakas di samping ranjangnya untuk mencari handphone menelpon Bi Linda. Namun Sara tidak menemukannya. Sara mencoba membuka laci nakas dan merabanya, dan hasilnya tetap sama. Tidak ada.
Akhirnya Sara menyerah untuk menggeledah nakasnya lagi dan meraih tongkat jalannya. Ia akan ke kamar Bi Linda membangunkannya. Sara merasa tidak enak untuk mengganggu tidur Bi Linda, namun cacing-cacingnya nampak tidak peduli dan mulai bakar ban?
Sara membuka pintu dan berjalan hati-hati dengan bantuan tongkatnya. Sedikit mulai sedikit, Sara merasa ia mulai mengenali apartment ini. Apartment ini memang luas, tapi perabotannya tidak begitu banyak. Simple, rapi dan berkelas.
Sara menghentikan langkahnya begitu mendengar suara bising dari arah dapur.
"Apa Bi Linda ada di dapur?" Gumam Sara pelan.
Sara memutar arah kakinya dari arah kamar Bi Linda ke arah dapur. Sara bisa mencium bau masakan yang harum dari sana dan cacing-cacingnya tampak kegirangan.
"Bi Linda? Apa Bibi disana?" Panggil Sara begitu mendekati area dapur. Tidak ada jawaban. Namun suara spatula yang bergesekkan dengan wajan masih terdengar. Sara yakin suaranya cukup keras.
"Bi Linda? Bibi sedang memasak?" Panggil Sara lagi sambil berpegangan pada meja pantry.
"Iya Nona buta tidak tau diri." Sahut suara lelaki yang membuat Sara terdiam bisu. Cacing-cacingnya juga diam terkejut. Mereka menyesal sudah berdemo jika membuat inang mereka bertemu monster spesialis menyakiti batin jiwa raga.
"Se- Sean?" Lirih Sara gemetar. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan lelaki itu! Sara merasa malu karena tertangkap terlalu berharap padanya. Buaya! Tenggelamkan aku ke dalam rawa-rawa sekarang! Doa Sara.
"Kau terbangun karena lapar?" Ucap Sean mengabaikan ekspresi terkejut, takut dan malu Sara. Sara masih berdoa dalam diam.
"Hei! Buta!" Panggil Sean cukup keras membuat Sara tersadar dari dunia doanya. Sean yang melihat Sara tersentak terkejut terkekeh sinis.
"Duduk dan makanlah daripada kau berdiri dengan bodohnya disana." Sean meletakkan beberapa piring berisi makanan ke atas meja pantry.
Sara mengangguk dan duduk di kursi terdekatnya.
"Geser dua kursi lagi." Perintah Sean. Sara menurutinya. Sean duduk di hadapan Sara.
"Sekarang makanlah." Sekali lagi, Sara hanya mengangguk.
Sean menghentikan aktivitas makannya ketika melihat Sara yang kesusahan mengambil sayurnya. Sean menahan senyumnya ketika melihat bagaimana Sara tidak bisa mengambil sayuran karena sayuran itu terus terjatuh dari sendoknya dan Sara sejak tadi hanya berhasil mengambil kuah sayuran tersebut dan memakannya.
Sara juga tampak kesal dan mencoba mengambil sayuran itu lagi. Memasukkannya kedalam mulut dan tersenyum simpul begitu merasakan ada sayuran di sendoknya. Sara berpikir ia sudah tau bagaimana cara mengambil sayuran. Sara menyendokkinya cukup dalam dan pelan-pelan mengangkatnya.
Sampai akhirnya hanya suara dentingan sendok dan piring dan terdengar. Makanannya sudah habis dan Sara sudah merasa sangat kenyang. Sara tidak terbiasa memakan nasi malam hari, namun itu tidak masalah untuknya sekarang.
Sean sejak tadi tidak melanjutkan makannya dan hanya memperhatikan Sara makan. Ketika Sara mengambil sayuran, Sean menggunakan garpu mengambil sayuran juga dan meletakkannya di atas sendok Sara, begitu juga untuk makanan lainnya. Hingga seluruh makanan itu benar-benar ludes di makan Sara dan Sean hanya memakan nasi putihnya.
Di sisi lain, Sara bangga bisa makan dengan mandiri tanpa bantuan Bi Linda lagi yang biasanya membantu Sara makan atau sengaja memotong makanan menjadi lebih kecil untuknya dan meletakkannya di atas piring Sara agar Sara tidak susah mengambilnya.
"Kau sangat rakus." Komentar Sean setelah Sara meminum minuman yang di ambilkan Sean tadi untuknya. Sara hanya mendengus kesal.
"Kau memasak makanannya terlalu banyak Sean." Ucap Sara.
"Aku tidak memasaknya. Aku hanya memanaskannya. Itu masakan Bi Linda yang di taruh di kulkas. Kecuali sayuran itu, aku yang memasaknya." Balas Sean sambil membereskan piring-piring kotor di atas meja dan memindahkannya ke mesin cuci piring.
"Benarkah? Tidak biasanya Bi Linda masak dengan porsi yang cukup besar ." Sara meminum minumannya lagi, namun airnya ternyata sudah habis. Sara tersentak kaget saat merasakan seseorang memegang tangannya seperti menahan gerakan.
Kemudian Sara mendengar suara air yang di tuang ke dalam gelas di tangannya. Ia tau Sean yang menuangkan untuknya.
Sean hanya mendengus geli mendengar ucapan Sara. Porsi itu tidak cukup besar jika dimakan dua orang. Tapi kau memakannya seorang diri. Itu wajar bodoh! Pikir Sean.
"Yah. Tidak biasanya." Sahut Sean malas.
"Balik ke kamarmu dan tidur." Perintah Sean lagi dan Sara menurutinya. Dia tidak ingin kejadian malam kemarin terjadi lagi.
****
Begitu matahari muncul dan membangunkan penghuni bumi, Sara membuka matanya dan mengerang lelah. Semalam ia tidak bisa lansung tidur karena memikirkan Sean yang semalam memegang tangannya dan menuangkan air untuknya. Itu mungkin biasa saja bagi semua orang, namun entah kenapa tindakan itu menjadi kenangan yang berarti bagi Sara.
Sara bahkan lansung melupakan kesedihannya akibat ucapan Sean malam kemarin dan kembali bahagia. Apa ia begitu mudah?
"Pagi Nona Sara." Salam Linda begitu memasuki kamar Sara.
"Pagi Bi Linda." Jawab Sara dengan senyuman berbinarnya membuat Linda memiringkan kepalanya bingung. Jelas ia masih mengingat semalam Nonanya menangis begitu sedih akibat Tuannya. Namun pagi ini Nonanya kembali tersenyum cerah seperti tidak pernah terjadi apa-apa semalam.
"Apa Nona baik-baik saja?" Tanya Linda sambil mendekati Sara, membantunya ke kamar mandi.
"Apa maksudmu Bi Linda? Aku tentu baik-baik saja." Sara melepaskan pegangan tangan Linda di tangannya. "Aku bisa sendiri." Sara tersenyum lembut.
Linda semakin khawatir dengan kondisi Nonanya. Linda pernah mendengar bahwa jika ada kejadian yang begitu mengguncang emosi seseorang, maka itu juga bisa menyebabkan psikologisnya terganggu. Apa itu sekarang terjadi pada Nonanya? Ini bahkan belum genap tiga hari Nonanya disini.
"Apa Nona yakin?" Tanya Linda ragu.
"Tetntu saja Bi. Aku bisa sendiri." Jawab Sara enteng.
Bukan itu! Apa Nona yakin psikologis Nona baik-baik saja? Pekik Linda dalam hati. Tidak mungkin ia menanyakan itu pada Nonanya. Memangnya siapa dia? Hingga berhak bertanya seperti itu. Jadi Linda hanya bisa menghela napas pelan.
"Baik Nona. Saya permisi." Pamit Linda akhirnya. Sara hanya mengangguk sebagai jawaban.
****
Sesampainya Sara di meja pantry. Sara duduk di salah satu kursi sambil menunggu makanan yang sedang dimasak oleh Bi Linda.
"Bi, jam berapa sekarang?"
"Jam tujuh lewat Nona." Jawab Linda.
"Apa Sean sudah berangkat?"
"Iya Nona. Tuan Sean sudah berangkat dari jam enam pagi tadi." Jelas Linda. Sara hanya menganggukkan kepalanya dan memilih diam hingga makanan yang dimasak Linda selesai.
"Oh iya Bi. Semalam aku tidak bisa menemukan ponselku. Bisa tolong Bibi carikan?" Tanya Sara sambil melahap makanannya.
"Baik Nona. Nanti saya carikan."
"Dan satu lagi. Aku sudah bisa makan dengan baik Bi. Bibi tidak perlu memotong kecil-kecil makananku lagi atau meletakkannya ke atas piringku." Ucap Sara bangga.
"Benarkah Nona sudah bisa? Tetapi Nona tidak bisa menggunakan sumpit. Sendok akan sulit mengambil makanan yang panjang atau licin. Itu akan terjatuh."
"Aku sudah tau tekniknya, jadi tenanglah." Sahut Sara bangga dan melanjutkan makannya. Linda hanya semakin bingung dengan ucapan Sara. Dia benar-benar khawatir dengan Nonanya.
"Nona, tadi pagi Tuan Sean menyuruh saya untuk memanggil dokter memeriksa kaki Nona." Ucap Linda sopan.
"Hmm. Baiklah jika itu maunya." Pasrah Sara. Jika menolak pasti Sean akan marah seperti kemarin lagi.
"Saya sudah memanggil dokter. Dan dokter tersebut akan datang nanti siang jam satu." Sara mengangguk mengerti.
****
"Sial! Aku lupa membawa file yang semalam aku revisi." Umpat Sean begitu sadar akan keteledorannya. Semalam Sean sudah mengumpulkan ide-ide, menyusun dan mempersiapkan bahan presentasinya untuk pembaharuan D'TV. Ia telah memerintah sekretarisnya untuk mengumpulkan karyarwan karyawati dari berbagai tim di D'TV di aula. Ia tidak mungkin membatalkannya sekarang.
Sean melirik jam tangan yang melekat di tangannya. Pukul satu lewat. Sean segera menelpon sekretarisnya dan menyuruhnya menunda presentasinya untuk setengah jam. Jarak kantor D'TV ke apartmentnya tidak begitu jauh.
Sean segera melajukan mobil sportnya membelah jalan menuju apartment. Begitu tiba, Sean menekan lift naik menuju kamar apartmentnya yang berada di lantai tertinggi. Sean segera menaiki tangga, masuk ke kamarnya dan meraih flashdisk yang terletak di atas meja kerjanya.
Begitu turun, Sean melirik ke arah kamar Sara. Sean hendak melangkahkan kakinya kesana, namun Sean segera menggeleng dan berbalik menuju pintu apartment. Sean menunggu lift dengan gusar. Ia harus segera tiba di kantornya lagi.
Pintu lift burdenting dan Sean menghela napas lega. Begitu pintu lift terbuka, Sean mengkerutkan dahinya dan tatapannya menajam melihat dua orang saling berpegangan tangan di dalamnya.
Dua orang tersebut berjalan dengan santai melewati Sean yang masih berdiri dengan tegang dan mengepalkan tangannya. Sean segera berbalik dan menarik tangan kanan gadis itu yang bebas, menahannya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Sean tajam pada gadis itu. Gadis tersebut tampak terkejut mengenali suara lelaki itu.
"Se- Sean? Kau sudah pulang?" Tanya gadis itu tanpa menjawab pertanyaan Sean.
"Aku bertanya, apa yang kau lakukan Sara." Tekan Sean pada kalimatnya dengan nada geram. Sean menggeretakkan giginya menahan emosi. Tangan Sean semakin mencengkram tangan Sara lebih kuat membuat Sara meringis.
"Hei! Kau ingin mematahkan tangannya?" Sahut lelaki di samping Sara.
"DIAM KAU!" Bentak Sean keras pada lelaki itu. Sara terlonjak kaget. Bentakan Sean benar-benar menakutkan. Mungkin bisa untuk menundukkan singa sang raja hutan.
"Kau hampir mematahkan tangannya!" Sahut lelaki itu lagi dengan cukup keras. Namun samar-samar, terselip nada getar di kalimatnya. Tangan kiri lelaki itu tergerak hendak melepaskan cengkraman tangan Sean pada Sara.
"TIDAK AKAN! JUSTRU LEHER KAU YANG AKAN AKU PATAHKAN SEKARANG." Balas Sean sambil memberikan tatapan membunuh pada lelaki itu.
"Sean. Aku tadi hanya kebawah sebentar dan berjalan-jalan di taman apartment ini." Jelas Sara.
"Lalu kemana Bibi Linda? Kenapa kau bersama lelaki ini? Siapa dia?" Tuntut Sean bertubi-tubi tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada lelaki disamping Sara.
"Bi Linda tadi ikut berjalan-jalan denganku dan tadi dia pergi ke mini market sebentar membeli sedikit keperluan dapur. Jadi aku naik ke atas duluan bersama dokter Louis. Dia dokter yang memeriksa kakiku." Jelas Sara sambil menahan sakit di pergelangan tangan kanannya.
"Louis Steve." Ucap Louis sambil menyalurkan tangan kanannya. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Sara.
"Pelayan sialan! Aku akan memecatnya." Dengus Sean dan melonggarkan genggamannya, mengabaikan tangan Louis. Louis berdecak dan menurunkan tangannya.
"Jangan Sean. Kenapa kau memecatnya? Dia hanya pergi membeli keperluan dapur sebentar."
"Tapi aku tidak suka dokter yang di panggilnya! Aku akan menggantinya." Balas Sean. Sara menganga tidak percaya. Apa yang salah? Dokter Louis sangat baik padanya.
"Apa kau kekasihnya?" Ucap Louis pada Sean. Sean melirik Louis dengan ujung matanya. Sara terpaku mendengarnya.
"Kalau bukan, apa kau mencintainya? Kau siapa?" Lanjut Louis ketika Sean tidak menjawabnya.
"Siapa? Aku Sean Derald. Kau pasti mengenalku." Jawab Sean dengan percaya diri yang tinggi.
"Ck! Maksudku, kau siapanya Sara hingga kau bertindak seperti ini?"
"Seperti ini? Maksudmu?" Ucap Sean menatap Louis tajam.
"Kau tampak seperti seorang kekasih yang cemburu karena gadisnya kudekati." Balas Louis membalas tatapan tajam Sean.
"Cemburu? Kau pasti gila! Untuk apa aku cemburu dengan gadis buta bodoh tidak tau diri ini?" Sean tiba-tiba melepaskan pergelangan tangan Sara dan secepat kilat kedua tangannya mencengkram kerah kemeja Louis bersiap menghajarnya.
Sara bisa merasakan tindakan Sean karena tubuh Louise terdorong sedikit ke belakang dengan tangan Louise yang masih menggenggam tangan kanannya. Sara segera memegang bahu Sean mencoba menahannya. Namun Sean tidak bergeming. Sean berubah pikiran. Dia tidak ingin menghajar, tetapi ia ingin membunuh sekarang.
"Kalau begitu biarkan aku yang merawat Sara hingga kakinya sembuh. Jika kau memang tidak sedang cemburu padaku." Ucap Louis dengan seringaiannya.
Sean mencengkram kerah kemeja Louis semakin kuat dan menghempaskan tubuh Louise dengan keras hingga Louis terjatuh sebelum Sean melepaskannya. Sara terkejut mendengar suara seseorang yang terjatuh itu, namun ia tau siapa yang berada di lantai lorong apartmentnya sekarang. Itu pasti Louis.
Sara hendak mengucapkan sesuatu namun Sean segera berbalik dan berjalan cepat menuju lift. Pintu lift terbuka dan Linda yang berada di dalamnya terkejut seperti bertemu dengan malaikat pencabut nyawa begitu wajah Sean terpampang di sana. Dengan aura siap membunuhnya.
Linda segera keluar dari lift tersebut dan menunduk takut pada Sean. Sean melangkah masuk dan memberikan tatapan membunuh itu pada Linda hingga pintu lift tertutup dan bergerak turun, Linda baru bisa menarik napasnya.
Cemburu? Dengan gadis buta bodoh tidak tau diri itu? Tidak. Akan. Pernah! Batin Sean.
*****