1. Ice Prince

1442 Words
"Mungkin, inilah awalnya. Awal dari bertemunya aku pada kehancuran."     "PUSH UP LIMA PULUH KALI!"    "Ini kenapa bajunya acak-acakan kayak kena mental? Rapikan!"    "Rambutnya juga udah kayak Jamet! Besok kalau Miss Glen liat, bisa dibotak ini. Potong 211! SEGERA."     "Dasi, dasi, jangan dikantongin aja kayak doi. Pakai!"    "IYA, KAK!!"     Masa SMA, masa putih abu-abu yang akan sulit terlupakan. Karena selama menempuh tiga tahun itu biasanya para remaja akan mengenal cinta. Cinta dalam artian luas, persahabatan, keluarga, juga pada lawan jenis. Namun, awal masuk sekolah kalian pasti akan dikenalkan terlebih dahulu pada lingkungan sekolah, pola pembelajaran, bapak ibu guru, dan terakhir baru kakak pembina OSIS yang tampan dan cantik-cantik.      Begitu juga kali ini, semua murid baru di SMA Pranata tampak berkumpul di lapangan mendengarkan arahan para kakak pembina OSIS untuk MOS.      Beberapa di antaranya harus kena amukan panitia karena kedisiplinannya yang kurang baik. Salah satu dari mereka adalah gadis berpostur mungil dengan wajah manis yang sedang dihukum oleh seniornya karena terlambat.     "Siapa nama kamu?" tanya seorang panitia MOS yang memakai rompi OSIS. Perempuan dengan kucir kuda itu menatap adik kelasnya dengan raut tidak suka.    "Farensha Earlene Bennedict, Kak," jawab adik kelas tadi tanpa menghilangkan senyum manis di wajahnya. Padahal, dia tahu kalau akan dihukum setelah ini.    "Oke. Karena kamu telat, hukumannya adalah keliling lapangan ini 5 kali, lalu kamu cari 4 orang anggota OSIS untuk dengerin nyanyian kamu," hukum kakak kelas yang cantik itu, Tasya.    "Sebagai tanda bukti, kamu minta tanda tangannya," tambah Tasya.      Tasya menatapnya sinis, masih kentara sekali di wajahnya jika dia tidak menyukai adik kelas itu. Namun, jika orang yang melihat ekspresi itu telah mengenal Tasya lama, maka mereka akan tahu jika itu hanya tipuan semata.    "Oke, Kak. Akan Echa laksanakan!" Gadis mungil itu, Echa. Mulai berlari mengitari lapangan SMA Pranata.     "Kamu lucu, Dek. Bukannya takut malah senyum-senyum." Tasya terkekeh geli. Dia jadi dibuat bernostalgia dengan kenangannya di awal masuk SMA Pranata. Dia juga pernah merasakan yang terlambat dan berakhir dihukum. Bahkan, dia pernah merasakan yang lebih parah dari ini.    Di putaran pertama, semua masih biasa saja. Napas gadis itu belum memburu seperti sekarang. Dan di puraran ketiga, Echa sudah merasa  kelelahan, dadanya naik turun menandakan jika dia ngos-ngosan. Tapi, dia terus memaksakan diri berlari sampai menabrak seorang laki-laki yang tidak sengaja dia lewati. Lelaki yang sejak tadi berdiri di pinggir lapangan mengamati jalannya acara MOS. Bukk    "Eh, m-maaf, Kak, Echa tadi nggak lihat," katanya memohon maaf sambil berusaha mengatur napasnya yang masih memburu. Tatapannya lurus ke bawah tidak memandang orang yang dia tabrak.    "Maaf banget ya, Kak." Echa mendongak. Matanya membulat kecil mendapati wajah tampan seorang panitia MOS. Rompi OSIS yang melekat di tubuhnya membuat sosok itu terlihat sangat berwibawa dengan aura ketampanannya yang memancar berkali-kali lipat.     Tatapan mereka bertemu, membuat jantung masing-masing berdetak tidak karuan. Apalagi jantung Echa, efek tatapan lekat lelaki itu berdampak buruk pada jantungnya.    "Iya nggak apa," lelaki itu membuang muka, "nggak usah panggil Kakak, panggil aja Jiwa," katanya terdengar bergetar sambil mengulurkan tangan, mengajak Echa berkenalan.    "Aoron Jiwa Mahaprana." Suara itu mengalun lembut di telinga Echa, membuat Echa tak kuasa menahan senyumnya.    Echa membalas uluran tangan Jiwa. "Farensha Earlene Bennedict, panggil aja Echa. Jangan pernah manggil aku Aren, soalnya aku bukan gula Aren," cerocos Echa membuat Jiwa terkekeh geli.    "Oke."    "Echa!! Kenapa kamu nggak lari lagi?!" Tasya menepuk pundak Echa. Mengira, gadis itu lalai dari hukumannya.    "Maaf, Kak. Tadi Echa nggak sengaja nabrak Jiwa. Maaf banget." Dia memasang wajah memelas dengan tangan terkatup di depan d**a.     Tasya beralih menatap Jiwa, lalu tersenyum canggung. "Eh, Pak Ketos." Dia meringis lebar.     Jiwa mengangguk sekilas. Hal itu tak luput dari pandangan Echa.  Ohh, dia ketua OSIS ternyata. Pantesan mencolok banget.    "Ya, udah," Tasya menandang Echa dengan tatapan prihatin, melihat wajah Echa yang memucat dengan peluh membanjiri wajahnya, "kamu nggak usah lari lagi. Muka kamu pucet banget gitu. Nanti kalau kenapa-kenapa pas evaluasi bisa-bisa aku yang kena. Kamu lakuin aja hukuman yang kedua." Setelah mengatakan hal itu Tasya pergi meninggalkan Echa dan Jiwa berdua. Berjalan menjauh, memantau siswa lainnya.     "Duluan, Ji."     "Ya."     Echa menatap Jiwa penuh harap. "Jiwa OSIS, 'kan?"    Jiwa mengangguk. "Iya, kenapa?"    "Dengerin Echa nyanyi, ya?" Echa kembali memelas. Menunjukkan raut termelasnya yang selalu dia perlihatkan jika benar-benar membutuhkan bantuan.    Jiwa menggangguk lagi. Tidak ada salahnya membantu Echa. Dan lagi, entah kenapa dengan Echa dia menjadi orang yang sangat penurut. "Silakan."     Echa mengangguk senang. Dia mulai menyanyikan sebait lagu kesukaannya. Hidupku tanpamu takkan penah terisi sepenuhnya karena kau separuh ku Berbagi suka duka saling mengisi dan menyempurnakan karena kau separuhku     Echa tersenyum girang. Entah kenapa dia menyukai lagu itu. Tapi, senyum itu tak bertahan lama. Echa mengernyitkan dahi saat tak melihat pergerakan dari Jiwa. Lelaki itu masih saja mengamatinya lekat, bahkan seperti orang melamun. "Jiwa?"     Jiwa bergeming.     Tangan Echa terangkat. Melambai-lambai di depan wajah ketua OSIS itu. "Hello? Jiwa?"     "Eh, iya?"    Echa menarik sudut bibirnya. "Sekarang, Jiwa tolong tanda tangan disini, ya?" pinta Echa sambil menyodorkan sebuah buku note kecil yang langsung diisi dengan tanda tangan Jiwa.     "Gue juga nulis alamat rumah di situ." Jiwa mengulum senyum. Setelah mengatakannya, dia segera beranjak dari hadapan Echa. Lama-lama berhadapan dengan Echa hanya membuatnya bertambah grogi.     "Makasih, Jiwa!!" teriak Echa saat Jiwa sudah menjauh.      Jiwa membalikkan badan dan tersenyum hangat pada Echa, saking hangatnya sampai bisa membuat es di kutub utara mencair, termasuk hati Echa.    Lelaki itu melambaikan tangannya, berjalan dengan menghadap ke depan lagi, dan tubuhnya hilang tertelan keramaian.     Echa bergidik. "Ya, ampun,  Jiwaaaa. Kamu ganteng banget, sihh. Senyumnya itu, lho, bikin hati Echa cenat-cenut." Gadis itu memekik tertahan. Senyumnya makin menjadi. Lama-lama, dia terlihat seperti orang gila. Sampai, Echa tidak menghiraukan tatapan heran siswa-siswi yang berlalu-lalang dan menatapnya aneh.      Echa berjalan riang menuju koridor kelas sepuluh. Masih awet senyum itu terpatri di parasnya. Tepat ketika mengingat hukumannya yang belum selesai, dia langsung mengembalikan kewarasannya yang sempat hilang dan segera menyelesaikan hukuman itu.     Dia tidak bisa ke kelas sekarang.    Dengan semangat 45, perlahan kakinya melangkah berlawanan arah dari kelasnya, berjalan ringan menyusuri lapangan, mencari anggota OSIS lainnya.    "Maora!!" teriak Echa pada sahabatnya yang sudah dia kenal sejak duduk di bangku SMP.     "Kenapa?" Maora terkejut melihat sahabatnya yang berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Berteriak di keheningan kelas, membuat beberapa siswa yang tengah membaca buku, mengobrol, atau makan di kelas menatap mereka terang-terangan dengan pandangan aneh.    "Echa ketemu pangeran ganteng!!" Matanya berbinar-binar.    "Siapa?" tanya Maora penasaran.    "Jiwa."     Maora tersenyum miring. "Ketua OSIS itu?"     Echa mengernyitkan dahi heran. "Kenapa senyum devil gitu?"     Maora menggeleng pelan. "Nggak apa. Cuma..., seneng aja, sih. Akhirnya lo sadar kalau ada cowok ganteng di sekitar lo."     Echa berdecak pelan. "Dari dulu sadar kali. Tapi, yang ini beda. Echa suka." Senyum lebar terlukis di wajah Echa.    Maora tersendak. Gadis itu sampai melotot dan memegangi dadanya. "Lo suka sama kak Jiwa?" tanya Maora antusias, pasalnya sahabatnya ini belum pernah menyukai lelaki dengan exited seperti ini.    "Entahlah, tapi Echa suka sama sikap Jiwa ke Echa." Echa duduk di samping Maora.    "Suka sikapnya? Lo gila? Kak Jiwa itu terkenal super dingin sama semua orang. Tapi, untungnya dia baik. Satu lagi, Jiwa? Nggak pakai embel-embel kak, tuh" Maora dibuat pusing oleh pernyataan Echa. Kenapa gadis itu seakan terlalu antusias dengan Jiwa?    "Dia nggak dingin, buktinya dia baik sama Echa. Apalagi senyumnya, hangattttt banget kayak oven sampai bikin Echa meleleh, dan kata Jiwa emang nggak usah manggil kakak." Echa makin melebarkan senyumnya.    "Senyum???! Serius, Echa?! Senyum?!!"     Echa mengangguk mantap. "Iya, senyum."     Maora sempat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasalnya, Jiwa itu terkenal dingin, sangat-sangat dingin walau baik dan care dengan orang lain. Namun, setelah mendengar cerita Echa mulai dari dia terlambat sampai senyuman Jiwa, Maora pun akhirnya percaya.     "Dia beneran senyum kok."    "Sumpah. Gue masih heran, Cha."    "Gila. Gila, gila, gila, gila. Dia beneran nggak waras." Seorang gadis berambut ikal sepunggung memasuki kelas dengan wajah kesalnya. Dia Kyana, sahabat Maora dan Echa, mereka bersahabat sejak SMP. Tapi dulu, mereka sempat pisah kelas.    "Lo kenapa, Kyan?" tanya Maora heran. Sahabatnya yang selalu terlihat tenang, adem ayem itu mendadak memasang wajah masam dengan tanduk di kepala.    "Kalian inget nggak sama kakak kelas yang namanya Aldi?" Kyana balik bertanya. Maora dan Echa mengangguk, mereka ingat.    "Dia tadi udah bikin kepala gue cenat-cenut karena kena bola! Dia yang ngelempar, eh, malah dia yang marah-marah!" sungut Kyana.     "Dia udah minta maaf?"     "Udah! Tapi tetep aja dia nyalahin gue. Katanya 'maaf, ya. Lagian, lo-nya sih jalan kok di tengah lapangan' ya, jangan salahin gue! Salahin, tuh, panitia MOS!!"    Echa tertawa geli. "Ya, udah, sih. Kamu nggak usah kayak gitu, boleh kesel tapi jangan terlalu, nanti cinta," goda Echa.     Kyana mendesis.    "Lo juga jangan terlalu berharap, Cha.  Nanti kalau nggak kesampaian sakit rasanya," bisik Maora tepat di telinga Echa.     Echa terdiam, meresapi baik-baik perkataan Maora. Benar juga, jangan terlalu berharap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD