2. Kakek Lampir

1804 Words
"Jika bertemu denganmu adalah keharusan, apakah mencintaimu juga sebuah takdir Tuhan?"     "Teks Eksplanasi adalah...," gadis itu menggaruk-garuk kepalanya, "adalah apa, ya?"      Tangannya membuka buku yang sejak tadi dia tutup. "Ohh. Teks Eksplanasi adalah teks yang bertujuan menjelaskan proses kejadian suatu peristiwa baik alam, sosial-" Bukk     Echa berjengit kaget. Dia menabrak seorang laki-laki karena sibuk membaca buku pelajaran sambil berjalan tanpa melihat arah jalannya. Dia menabrak d**a bidang laki-laki itu sampai jatuh tersungkur.    "Aws." Echa meringis. Pantat, Echa....     "Kalau jalan lihat-lihat! Pakai mata, jangan pakai dengkul! Punya mata nggak, sih, lo?!" Suara ngebas yang menggelegar di siang bolong itu berhasil membuat kuping Echa berdengung.     "Maaf, Echa nggak sengaja." Echa berdiri dari lantai sambil membersihkan roknya yang kotor. Dia mendongak untuk bisa melihat wajah orang yang dia tabrak.     Seperti tersengat aliran listrik, tatapan tajam laki-laki itu berhasil membuat jantung Echa berdesir. Ditambah, penampilan laki-laki itu yang terkesan urakan dengan baju keluar, tidak pakai dasi, rambut berantakan, luka lebam di wajahnya, dan tatapan elang itu mampu membuat semua orang yang bertemu dengannya tahu kalau lelaki itu sangat menyeramkan dan nakal. Sampai penampilannya menutupi bahwa dia tampan. Laki-laki itu tertegun saat balik menatap mata Echa yang hitam pekat.     "Maaf kata lo?! Lo kira ditabrak itu nggak sakit?!" bentaknya dengan volume tinggi membuat Echa mengkeret.     "Echa minta maaf...." Echa menunduk dalam sambil memainkan jemarinya.     "Lo pikir maaf aja cukup? Gue bukan orang yang gampang memaafkan." Dia mendesis. Perhitungan.     "Maaf.... Kamu mau minta apa dari Echa? Bakal Echa kasih, tapi jangan marah-marah...." Echa memelas, tapi tidak berani menatap mata elang itu. Dia masih menunduk, kali ini sambil meremas roknya.     "Oke." Eh?     "Lo harus nemenin gue sepulang sekolah selama satu minggu."     Echa mendongak cepat. "Ha?" Apa katanya?!     "Nggak lama, 'kan?" lelaki itu tersenyum sinis, "dan lo pasti mau." Tanpa menunggu persetujuan Echa, laki-laki itu meninggalkannya begitu saja.     Echa mendengus. Kenapa dia harus bilang mau memberi apa yang laki-laki tadi mau? Echa bodoh! Gadis itu hanya bisa menatap punggung tegap laki-laki tadi dengan wajah penuh kekesalan.     "Seenaknya aja jadi orang! Ngambil keputusan kok sepihak! Bodo amat, Echa nggak mau." Echa menghentakkan kaki ke lantai sebelum mengambil bukunya yang terjatuh, lalu segera melangkah pergi dari sana. Karena pasti, dia sudah terlambat ulangan bahasa Indonesia.      Sepuluh menit yang lalu, bel masuk telah berbunyi dan Echa melewatkan sepuluh menit itu hanya untuk melanjutkan makan.      Tujuh menit yang lalu, Echa masih berada di kantin. Dan tujuh menit yang lalu, kedua sahabatnya itu meninggalkannya karena bel masuk telah berbunyi, sedangkan Echa dengan santai menghabiskan makanannya.     "Dasar, Kakek Lampir!!"      "Nyebelin banget jadi orang!!"     "Awas aja kalau ketemu! Echa nggak berani ngapa-ngapain!"     Echa melengos saat seorang siswa tak sengaja melewatinya. "Inget itu!"     "Lo makan lama amat, nyemilin piringnya, ya?" tanya Kyana bingung, pasalnya Echa itu jarang dihukum, dan karena telat masuk tadi, Echa harus mendapat 20 tambahan soal Bahasa Indonesia.     "Enak aja! Nggak gitu. Tadi sempet ada masalah di jalan...." Echa menceritakan pertemuannya dengan Kakek Lampir, begitulah dia memanggilnya. Gadis itu menceritakan betapa menyebalkannya sosok yang sempat dia tabrak.     "Siapa, sih?" Maora menatap lurus ke papan tulis berharap mendapati sosok dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Echa.      Maora itu adalah anak yang paling suka ngegosipin orang di antara mereka bertiga. Makanya, dia hampir hafal dengan kakak kelasnya juga teman seangkatan yang sering jadi bahan gosip. Dan dari cerita Echa, seharusnya laki-laki itu terkenal karena biasanya siswa nakal di SMA Pranata itu terkenal.     "Luka lebam?" Maora menggali file-file dalam otaknya tentang kakak kelas laki-lakinya yang baru-baru ini digosipkan berantem, tetapi hasilnya nihil.     "Ngapain, sih, susah-susah nyari tahu soal dia?! Dia itu nyebelin! Nggak usah diinget-inget lagi!" geram Echa.     "Siapa tahu dia termasuk Most Wanted di sini? Lo 'kan untung disuruh nemenin dia pulang sekolah selama seminggu!"      Echa tertegun. Dia baru ingat ucapan Kakek Lampir tadi. Dan tiba-tiba dia jadi merasa takut.     "Ngapain lo bengong?" Kyana menyenggol lengan Echa, membuat Echa tersadar.     "Nggak apa-apa, Echa cuma laper." Echa mengelus-elus perutnya.     "Kapan lo kenyang, Cha?" tanya Kyana sambil terkekeh geli. Echa itu gadis banyak makan yang nggak gendut-gendut dan nggak pernah kenyang, membuatnya selalu lama berkutat di kantin.     "Kalau Echa mati!" teriaknya di kuping Kyana.     Kyana mendelik. Echa tertawa.     "Daripada ribut, kantin, kuy! Istirahat pertama tadi gue makan dikit," ajak Maora. Mendengar ajakan itu, Echa dan Kyana langsung mengekori Maora.     Seperti biasa, di istirahat kedua kantin akan semakin ramai, banyak yang berebut tempat duduk sampai banyak yang berebut antrean. Tapi tidak dengan Echa, Maora, dan Kyana. Untung mereka tadi cepat-cepat ke kantin kalau telat sebentar saja, mereka tidak kebagian tempat duduk.     "Mau pesan apa?" Echa menatap kedua sahabatnya bergantian.     "Gue bakso sama es jeruk," pesan Maora. Dia memang penggemar bakso sampai pipinya tembem banget, tapi tetap cantik kok, malah terkesan menggemaskan.     "Gue sama." Kyana terlihat sedang menyusuri seisi kantin dengan matanya, mencari seseorang yang kelihatannya penting.     "Ekhem!!" Maora berdehem keras.     "Nyari kebetan ni ye..., " goda Maora.     "Apa, sih? Enggak! Enak aja."    "Alahhh, ngakunya enggak. Aslinya mah iya."    Echa mengibaskan tangannya. Gadis itu tak menghiraukan mereka. Dia buru-buru pergi membeli bakso karena cacing di perutnya sudah berpesta. Makanan tadi pagi sepertinya sudah diproses oleh usus sampai rasa lapar kembali menggerogitinya.     "Permisi, Kak. Permisi."     Echa menghela napas setelah berhasil menyelinap ke dalam kerumunan. Dia mengantre cukup lama. Saat sudah saatnya dia memesan makanan, seseorang menjajarinya, Jiwa.     "Suka bakso?" Pertanyaan itu mengudara, terkesan basa-basi, tetapi Echa suka, karena sosok yang basa-basi itu adalah Jiwa.     "Nggak terlalu, cuma buat ngisi perut. Kalau yang Echa suka itu cokelat, martabak manis, kue tart, cupcake, donat, pokoknya yang manis-manis." Echa melempar senyum manisnya pada Jiwa, membuat jantung Jiwa dag-dig-dug sir, tetapi lelaki itu mencoba menutupinya.      Dia berdeham. "Kalau gue, lo suka? Gue 'kan manis," Jiwa terkekeh.     Echa tertawa, ingin sekali dia berteriak dengan lantang jika wajah Jiwa 'lah yang sangat manis jika tersenyum. Tapi, bisa-bisa image-nya hancur. "Kurang manis, wlek." Echa menjulurkan lidahnya.    Jiwa mengulum senyum.     "Woi, buruan pesennya!!" teriak seseorang dari belakang.      Mendengar teriakan itu, Echa langsung memesan baksonya, sedangkan Jiwa melangkah pergi dari sana tanpa mengeluarkan satu atau dua patah kata untuk pamit.     Echa membawa tiga mangkok bakso, dua es jeruk, dan segelas jus alpukat kesukaannya ke meja. Namun, kejadian memalukan yang entah kenapa akhir-akhir ini menjadi kebiasaannya kembali terjadi. Bukk     Lagi-lagi Echa menabrak seseorang. Ditambah, dia membuat baju orang itu basah oleh jus alpukat. Kali ini bukan lagi laki-laki tapi seorang perempuan dengan rok ketat yang orang-orang bilang ketua geng perempuan di SMA Pranata. Kakak kelas Echa, Chea and the geng yang sering dipanggil Checan karena personilnya memakai nama panggilan dengan awalan C; Chea, Celyn, dan Casa. Mereka terkenal galak, suka semena-mena, dan tidak berperikekakakkelasan.     "Iuhhh!! Jijik banget!! Baju gue!!" Pekikan Chea membuat kantin yang tadinya bising berubah hening. Pekikan melengkingnya itu juga membuat Echa menjadi pusat perhatian sekarang. Gadis itu tampak sangat marah pada Echa. Buktinya, dia seperti ingin membunuh Echa dengan tatapan tajamnya. Kyana dan Maora yang melihat hal itu dengan tergesa berjalan menghampiri Echa.     "Lo punya mata nggak, sih?! Lo buta?! Liat baju gue!" Chea mengibaskan bagian depan bajunya, "iuh! Kotor banget!! Lo jadi adik kelas songong banget, sih?!"     "Maaf, Kak.... Echa nggak sengaja. Maaf banget." Echa menaruh makanannya di meja terdekat, dia mengambil sapu tangan di sakunya, lalu membersihkan baju Chea yang terkena jus alpukat. Walau cuma sedikit, tetapi dipastikan Chea marah besar.     "Dasar kurang ajar!" Casa mendorong kasar Echa.     "Kakak bisa nggak, nggak usah pakai kekerasan?! Lagian ini cuma sedikit." Maora menatap Casa tak suka. Dia tahu Echa salah, tetapi Casa sudah keterlaluan.    "Enggak! Masalah buat lo?"     "Masalah. Kakak harusnya bisa ngasih contoh yang baik buat adik kelas. Dia 'kan udah minta maaf," geram Maora.     "Nyolot ya lo, nggak sopan banget!" Sekarang gantian Chea yang mendorong keras Maora, membuat gadis itu mengaduh.     Echa pasang badan di depan Maora. "Echa udah baik-baik, ya, di sini. Udah minta maaf dan bersihin baju Kakak. Maaf sekali lagi, nggak perlu pakai kekerasan, Kak. Apalagi jahatin Maora," kata Echa tersulut emosi. Gadis manis itu membalas tatapan tajam Casa.     "Wah.... Lo nggak tahu, ya, siapa kita? Berani banget bilang begitu. Lagian, lo itu salah, pakai ngotot lagi." Celyn menunjuk-nunjuk wajah Echa dengan telunjuknya.     "Aku tahu aku salah. Tapi nggak gini caranya, Kak. Maora nggak salah, jadi Kakak tolong jangan dorong-dorong dia."    "Wah, makin jadi dia."    Echa membuang napas kasar. Gadis itu menggulung lengan seragamnya yang pendek menjadi lebih pendek. "Kalau Kakak mau pakai kekerasan, ayo." Dia makin menajamkan tatapan matanya dan maju beberapa langkah mendakati Chea, Casa, dan Celyn.     "Kalau Kakak berani sakiti sahabat Echa, Echa nggak akan segan buat bales Kakak," dia membuat gerakan menonjok dengan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kiri, "Echa nggak main-main." Echa memang jago beladiri karena sejak kecil dia hidup dengan papanya yang merupakan seorang pemilik sebuah club karate.     Chea mengambil segelas es jeruk di atas meja kantin, dia ingin menyiramkannya pada Echa. Namun, saat air di dalam gelas itu melayang. Byurr     Airnya mengenai Miss Glen yang terkenal sangat galak, tidak main-main saat menghukum dan modis itu. Awalnya, dia melihat keributan dan menghampirinya. Naasnya, dia malah mendapat gebyuran air tepat di wajahnya.     Di waktu bersamaan, badan Echa didorong oleh Jiwa. Keduanya jatuh di atas tanah dengan Jiwa yang berada di atas Echa. Keduanya sama-sama membisu, saling mengunci tatap. Adegan heroik sekaligus romantis itu membuat semua mata tidak fokus ke muka Miss Glen yang memerah karna marah, tetapi pada pangeran es dan Echa.     "Chea! Casa! Celyn! Jangan berbuat seenaknya pada adik kelas!!" Miss Glen memekik dan menyeret ketiga gadis itu ke ruang BK tanpa mendengarkan penjelasannya.    "Dia yang salah, Miss!"    "Iya, bener!"     "Jelaskan itu di ruangan saya!"     "Tapi saya beneran nggak salah, Miss!"      Jiwa yang sadar sedari tadi mereka hanya diam saja pun bangkit. Tangannya terulur membantu Echa berdiri. Setelah dirasa Echa aman, dia mengedarkan pandangannya pada seisi kantin. Bisik-bisik yang tadinya terdengar jelas menjadi hening. Mereka yang terang-terangan menatap Jiwa maupun Echa langsung melanjutkan aktivitas masing-masing.     "Makasih." Echa mengulum senyum. Pipinya memanas karena malu. Gadis itu menunduk, memainkan tangannya.     Jiwa tersenyum. "Santai aja. Gue ke kelas, ya?" Jiwa menepuk puncak kepala Echa. Dia melangkah keluar kantin disusul dua sahabatnya, Aldi dan Alvaro yang sejak tadi menyaksikan semua kejadian itu dari balik kerumunan.     "Sweet...." Maora mengerling pada Echa. Dia terlihat salting padahal yang mengalaminya itu Echa. Gadis itu sampai menggigit bibir bawah sambil menatap kepergian Jiwa dengan mata berbinar.     "Temen jatuh itu ditanya sakit nggak? Bukannya dibilang sweet!" sewot Kyana.     Maora mencibir.     "Lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Kyana pada Echa.     Belum sempat Echa menjawab, Maora sudah menjawab duluan, "Ya, nggak apa-apalah. Orang pangerannya aja tadi dateng nolongin!" Maora memekik tertahan.     Kyana menatap Maora jengah. "Maklumin ajalah, dia 'kan jomblo." Ditariknya tangan Echa dan dia gandeng lengan gadis itu meninggalkan Maora yang cemberut karena ditinggal. Pangeran? Semoga aja. Echa harap kamu orang yang selama ini Echa tunggu.      Echa tersenyum tipis, masih dengan rona di pipi.      Dia tidak tahu saja, di antara banyaknya siswa-siswi di kantin, di antara kerumunan di sana, salah satunya memperhatikannya dengan pandangan yang sinis dan wajah merah padam.     "Caper."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD