Chapter 43 Poto

1176 Words
Kehebohan terjadi di pintu masuk gedung perkantoran Tomi Corporation. Amanda meradang setelah mengetahui omong kosong yang melibatkan namanya dalam hot news di tengah para staf.   “Oh, jadi kalian menyempatkan diri untuk menebak bayi siapa di dalam perutku ini, lucu sekali.”   Anita menarik Amanda agar tidak memperpanjang masalah itu. Tomi tidak akan tinggal diam dan semua orang terancam kehilangan pekerjaan.   “Manda, dengerin gue. Udah yuk, nggak usah diladenin.” Anita menariknya tapi Amanda menolak untuk abai.   Amanda menatap tak percaya pada wanita itu.   “Lo tahu ini, Nit? Dan lo nggak ngasih tahu gue. Apa gue serendah itu?”   Anita menggeleng. Dia mulai ketakutan.   “Mau gimana lagi, kita semua tahu. Kalau pak Tomi suka sama Bu Amanda dari dulu. Dan, ibu malah menikah dengan Pak Damian. Kemarin sebelum libur, kita semua melihat kemesraan Bu Amanda dengan Pak Tomi di parkiran. Ibu tuh terlalu serakah, mempermainkan perasaan dua orang sekaligus.”   “Iya, benar!”   Amanda terpaku mendengarnya, entah mimpi apa dia semalam. Kenapa hari ini dia begitu sial.   “Kalian jika tidak tahu apa-apa, lebih baik diam.”   “Kenapa, Bu? Kita semua kasihan sama Pak Damian, dia begitu mencintai ibu. Kita juga mendukung kalian sampai-sampai menjadi bagian keluarga Pak Damian saat menghadiri pesta pernikahan. Tapi, jika benar anak yang ada di dalam sana bukan anak Pak Damian. Sungguh kami sangat membenci ibu.”   “Sudah cukup!” Damian mendengarkan semuanya dari tadi.   Para staf menunduk tak berani menatap lelaki itu, Amanda berdiri tegap di sana. Pertahanannya hampir saja runtuh saat melihat Damian menatap ke arahnya.   “Beraninya kalian, mengusik keluarga saya.”   Damian berjalan maju, pelan tapi pasti dan mengenggam tangan Amanda di hadapan semua orang.   “Pak, kami hanya membela bapak.”   “Saya tidak perlu di bela, tahu apa kalian dengan hidup saya. Memangnya kenapa jika Amanda dekat dengan Pak Tomi. Mereka sudah seperti saudara.”   “Bapak percaya itu?”   Amanda terluka mendengarnya.   “Ya, saya lebih mempercayai ibu dari calon anak saya ketimbang omong kosong kalian. Dan, jika kalian datang hanya untuk bergosip lebih baik berhenti bekerja.” Damian menoleh pada Anita, wanita itu tertuduk segan, takut mendapatkan masalah.   “Ayo,” pinta Damian.   Amanda merasa malu dan enggan mengikutinya. Tomi datang di saat yang sama, lelaki itu tampak fresh saat keluar dari mobil.   “Ada apa ini? Kenapa semuanya ngumpul di luar?” tanya lelaki itu.   Suasana menjadi tegang, genggaman tangan Damian pada Amanda semakin erat.   “Kok diem aja? Ada apa?!”   Suara bariton dari lelaki itu membuat semua orang gemetar. Tomi menatap Damian, tapi lelaki itu memberinya isyarat agar tak bertanya pada dirinya.   “Apa kau tahu sesuatu, Anita?”   Anita yang baru saja naik jabatan gemetar di tempatnya.   “Jawab, sebagai sekertarisku kau harus selalu bisa di andalkan. Kapan dan dimana pun. Sekarang aku bertanya padamu. Apa yang terjadi?”   Semua orang menatap Anita, nasib berada di tangan wanita itu.   “Pak, sungguh saya tidak ikut-ikutan. Saya ngga bersalah, Pak.”   “Kamu kenapa? Saya meminta kamu untuk menjelaskan. Apa di sini nggak ada yang punya mulut. Hey kamu!” Tomi menunjuk ke arah security yang sedang berjaga.   “Iya, Pak.”   “Sini dan katakan kenapa semua orang berdiri mematung.”   Security itu menjawab dengan lugas, Amanda terpejam dan semua staf khawatir.   Tomi sendiri terkejut mendengar berita itu. Siapa yang tidak tahu hubungannya dengan Amanda. Semua staf dan karyawan mengetahuinya. Bahkan OB disanapun memahami.   “Oh, rupanya kalian sudah bosan bekerja, ya. Mau resain bersamaan oke, akan saya kabulkan.”   Semua orang tercengang mendengarnya.   “Jangan, Pak. Tolong, kami masih betah di kantor ini.”   “Tidak, kalian sudah berani membicarakan saya di belakang. Ini bukan hanya karena kalian menfitnah Amanda. Tapi kalian juga telah mencoreng nama baik kami,”   “Pak, kami janji nggak akan mengulanginya lagi. Tolong maafkan kami.”   Damian memberi isyarat pada Tomi agar lelaki itu tak memperpanjang masalah.   “Sudahlah, tolong jangan besarkan masalah ini.”   Amanda kecewa mendengarnya, genggaman tangan Damian di lepasnya begitu saja.   “Permisi, aku mengundurkan diri.”   Deg.   Keputusan tiba-tiba yang di ambil Amanda membuat Damian dan Tomi tertegun.   “Tidak, kau tidak boleh kemana-mana. Kau akan tetap bekerja di perusahaan ini, kau mengerti!”   “Tidak, Tom. Kau sudah begitu baik, hingga mereka beranggapan tidak baik pada kedekatan kita. Jangan memecat mereka, aku yang akan mencari pekerjaan lain.”   Tomi tidak rela mendengarnya, Amanda berjalan keluar tanpa menoleh. Damian mengepalkan tangan, dia meminta izin untuk menyusul.   “Pak, aku izin hari ini.”   Damian pergi tanpa menunggu persetujuan Tomi.   “Kenapa kalian masih di sini, sana pergi. Saya tidak butuh karyawan seperti kalian.”   **   Amanda terus melangkah, berjalan menjauh dan menuju ke taman terdekat. Ucapan teman-teman kerjanya tadi membuatnya berpikir tentang masa depan anaknya kelak.   Jika saat ini saja dia telah menghadapi masalah besar seperti ini, bagaimana jika anaknya lahir. Amanda tertekan, bahkandia membayangkan bagaimana jika anaknya bertanya kenapa dia dan ayahnya tak tinggal bersama.     “Oh Tuhan, apa yang akan terjadi? Bagaimana aku bisa menghadapinya nanti.”   Amanda menutup wajahnya dengan kedua tangan.   “Apa yang kau pikirkan?” Damian mendekatinya.   Amanda mendongak, kesal dengan kehadiran lelaki itu.   “Apa pedulimu, pergilah tinggalkan aku sendiri.”   Bukannya pergi, Damian justru duduk di samping Amanda.   “Kenapa kau mengusirku? Taman ini bukan milikmu bukan.”   Mood Amanda semakin tidak karuan.   “Baiklah, silahkan nikmati harimu.” Amanda bergegas dan akan meninggalkan Damian.   “Kau mau kemana, kautak boleh kemana-mana.”   Damian menariknya hingga Amanda terduduk di pangkuannya.   “Apa yang kau lakukan? Apa kau senang melihatku di pandang sebelah mata. Kau suka melihat mereka menghinaku, iya!”   “Cukup, kau tahu aku tidak seperti itu, bukan.”   “Aku tidak percaya padamu, Dam. Aku kecewa padamu,” ucap Amanda berusaha melepaskan diri.   Damian menyandarkan kepalanya di punggung wanita itu.   “Jika kau mau mereka tak menganggapmu remeh, maka perhatikan penampilanmu. Perhatikan pergaulanmu. Jaga diri baik-baik.”   “Apa maksudmu? Hoh, jadi benar kau sependapat dengan mereka.”   Amanda melepaskan pelukan Damian di pinggangnya.   “Buktinya, kau keluar dengan pakaian tanpa lengan semalam. Kau harusnya jaga diri agar tidak masuk angin.”   “Kau mengikutiku? Aku tidak percaya ini.”   Damian menggeleng.   “Aku sangat percaya padamu, untuk apa aku megikutimu. Cek ponselmu.”   Damian mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atiknya sebentar, terdengar suara notif pesan masuk di ponsel Amanda. Wanita itupun langsung memeriksanya. Alangkah terkejutnya Amanda saat melihat potho itu, di dalam sana dia terlihat seolah sedang memeluk Daniel.   “Darimana kau mendapatkan potho itu? Ini fitnah, aku hampir terjatuh semalam dan dia menolongku.   “Oh, jadi pothonya asli. Aku pikir tadinya hanya rekayasa.”   “Dam, aku tidak seperti itu, Semua ini salah paham.”   “Siapa yang salah paham? Aku tidak salah paham sama sekali padamu. Aku juga tidak meragukan bayi yang ada dalam kandunganmu, hanya saja aku ingin kau berhati-hati.”   Amanda penasaran, siapa kira-kira yang telah melakukan semua itu. “Pakailah, pakaian tertutup sama seperti saat kita masih bersama. Dan, jangan keluar malam tanpa di damping papa. Andai saja aku bisa menjagamu secara langsung, tapi kenyataan berkata lain.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD