Amarah Tomi semakin meledak, tak segan lelaki itu memecat orang yang telah menyinggung Amanda secara langsung. Dan kini, Anita sang asisten duduk tertunduk menatap ubin di bawahnya, dia tak memiliki keberanian untuk menatap bosnya.
“Anita, mulai sekarang kau saya tugaskan untuk memantau setiap gosip yang beredar di tengah karyawan.”
“Ya, eh maksud Bapak?””
Tomi menatapnya lekat.
“Jika lain kali kejadian ini terulang lagi, maka saya tidak akan segan-segan memecat kamu.”
“Loh, kok saya, Pak? Saya kan nggak ikut-ikutan,” Anita memberanikan diri untuk bersuara. Walau dalam hati kecilnya gemetar.
“Saya mengenal semua tabiat orang yang bekerja di perusahaan saya. Dan, kamu itu. Adalah ratunya gibah. Dan, satu lagi. Kalau Amanda tak kembali ke perusahaan ini.” Tomi menggantung ucapannya membuat Anita semakin penasaran.
“Kalau tidak kembali kenapa, Pak?”
“Kamu juga akan kehilangan pekerjaan.”
Wanita itu sukses dibuat tercengang, dia meringis, tidak siap menjadi pengangguran.
“Pak, jangan dong. Cicilan saya banyak, Pak. Apalagi kemarin baru beli sepatu dari Bu Amanda, emang sih bekas. Tapi, harganya mahal banget, Pak.”
“Saya tidak peduli!”
Tomi meninggalkan kantor untuk mencari keberadaan sahabatnya, Damian belum kembali juga. Tomi yakin mereka sedang bersama sekarang.
**
Damian dan Amanda masih di taman, duduk berdampingan tampa saling bicara. Amanda tak dapat mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Hal yang masuk akal dalam benaknya adalah. Yang mengambil poto itu pasti orang yang bisa masuk ke rumah Daniel. Halaman depan rumah itu sangatlah luas. Jika di ambil dari tepi jalan itu sangat tidak mungkin.
“Kita harus kembali ke kantor, hari semakin siang. Kau pasti lapar.”
Amanda menggeleng, tidak ada keinginan untuk kembali.
“Pergilah, aku tak ingin kembali lagi. Aku malu, Dam. Bisakah kau mengerti itu. Mereka pasti sedang membicarakan aku. Mereka pasti sedang menertawakan aku.”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin menyerah. Jangan menjadi lemah. Kau tahu aku selalu ada untukmu.”
Airmata Amanda melesak membasahi pipi.
“Setelah poto ini beredar, apa kau pikir aku akan percaya diri untuk kembali ke kantor. Aku sungguh sangat malu sekarang.”
“Kau tak melakukannya, satu-satunya lelaki yang menyentuhmu hanya aku. Aku percaya itu.”
Mereka saling menatap, Amanda sangat sensitive dan Damian tidak mengerti itu. Tangis Amanda semakin menjadi membuat Damian menghela napas, bingung bagaimana lagi untuk membujuknya.
“Lo nggak perlu malu, gua udah nyingkirin mereka semua,” ucap Tomi yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Baik Damian maupun Amanda terkejut mendengar suara lelaki itu.
“Pak Tomi,” Damian menatapnya lalu berdiri.
“Disana saja, Dam. Aku tidak ingin ada salah paham diantara kita.”
Amanda menautkan tangannya gugup. Tomi mengambil posisi berlutut di depan wanita itu. Di saksikan dengan Damian.
“Hey, lo nggak ingin kembali? Lo yakin bakalan ninggalin gua.”
Ada rasa cemburu yang menyelinap di hati Damian melihatnya. Apalagi saat Tomi menggenggam tangan wanita yang di cintainya itu.
“Gua udah nyingkirin mereka, tidak peduli perusahaan masih membutuhkannya. Lo lebih penting dari segalanya, Manda.”
Amanda terharu dan menyeka airmatanya.
“Ingat, saat di kampus dulu. Gua bisa menjauhkan orang-orang yang nyakitin lo. Apapun gua lakukan apalagi sekarang. Tidak peduli dengan pandangan semua orang, gua tetap orang yang sama, oke.”
Amanda memeluknya dan menangis di pelukan Tomi. Hal itu membuat Damian menahan napas dan mengalihkan pandangan.
“Lo bilang butuh pekerjaan, kan? Disanalah tempat yang paling cocok. Ada Damian, lo mau bayi lo jauh dari ayahnya, nggak kan? Jika nggak di kantor, kalian nggak akan bisa bersama. Gua yakin nyokab lo nggak akan tinggal diam.” Amanda melerai pelukan Tomi dan menatap Damian.
Pandangan mereka bertemu, hanya sesaat lalu hening.
Tomi terus merayu, dia terus membujuk. Tetapi ekspresi Damian membuat Amanda mematung. Sadar jika lelaki yang di cintainya itu tengah cemburu.
Di tengah pembicaraan Tomi yang berlangsung.
Ponsel Amanda berdering, panggilan datang dari Anita. Amanda menatap layar ponselnya lama.
“Ada apa? Siapa yang menelpon?” tanya Tomi.
Amanda memperlihatkan ponselnya.
“Gua udah ngancem dia, kalau lo nggak balik ke kantor. Dia juga nggak boleh bekerja lagi.”
“Tom, lo sangat berlebihan.”
“Terserah, pikirkan semuanya baik-baik.”
Damian merasa kehadirannya kini tak di butuhkan lagi, lagi-lagi dia merasa kecil. Merasa salah mengganggap remeh keberadaan Tomi di sisi Amanda.
“Sebaiknya saya kembali, banyak pekerjaan yang harus di selesaikan.”
Amanda dan Tomi menatap Damian bersamaan.
Tanpa menunggu balasan, lelaki itu pergi dari sana dengan berjalan kaki. Amanda menatapnya menjauh, tak sekalipun Damian berbalik ke arahnya.
“Ayo, tidak baik orang hamil kayak lo nongkrong di taman sendirian.”
**
Damian tertegun di meja kerjanya, lelaki itu baru saja mendapatkan laporan tentang pembatalan kerja sama yang hampir di setujui oleh beberapa klien.
Semua mengajukan dalam waktu yang ham,pir bersamaan membuat Damian merasa curiga.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, Damian memikirkan kelangsungan perusahaan Tomi saat permintaan itu semakin meningkat dari waktu ke waktu.
“Sial, pasti ada yang tidak beres,” umpatnya.
Damian memeriksa latar belakang perusahaan-perusahaan itu, mencari celah untuk menyelamatkan diri. Sayangnya, dia tak menemukan kelemahan yang di carinya. Semua perusahaan itu bersih.
“Aneh, tapi kenapa hampir semuanya? Bahkan mereka telah berjanji akan memakai jasa kami.”
“Apa yang aneh?” Amanda berdiri di hadapannya membuat Damian terkejut.
“Ha, sejak kapan kau masuk?”
“Dari tadi, aku bahkan mengetuk pintu.”
Damian menggaruk tengkuknya, masalah itu cukup berat dan dia tak Amanda kepikiran.
“Eh, nikmati makananmu. Kau pasti lapar.” Damian berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Lalu kau, mari makan bersama.”
Fokus Damian beralih pada perut buncit Amanda. Dia akan berdiri, tetapi layar komputernya membuat jantungnya berdetak jauh lebih kuat.
“Aku ada urusan penting, kau makanlah duluan.”
Penolakan itu membuat Amanda merenggut, dia berpikir Damian marah kepadanya.
“Apa ini karena kejadian di taman?”
Damian sibuk mencopy, tangannya sibuk menari di atas keyboard.
“Apa, apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” ucapnya tanpa berpaling menatapnya.
Amanda memperhatikan raut wajah Damian. Lelaki itu selesai dengan berkasnya dan segera menyusunnya.
“Aku ada urusan penting sekarang, makanlah sendiri ya, aku akan menemuimu nanti.”
Damian berlalu dari sana dan mengusap kepala Amanda dengan sayang. Sikapnya spontan membuat Amanda bingung.
Anita menghampiri Damian saat lelaki itu baru saja keluar.
“Ada apa?”
“Pak Tomi memanggil Bapak di atas,”
Tak membuang waktu, Damian langsung menuju ke atap.