Keadaan Amanda kian terpuruk, di bawah menjauh dari rumah dengan penjagaan ketat oleh dua bodyguard membuatnya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Damian. Ponselnya disita, hidupnya bak tahanan yang tak memiliki kebebasan.
Tok tok tok.
Suara ketukan menyadarkannya dari lamunan. Pintu terbuka dan muncullah seorang lelaki dari sana.
“Nona, nyonya menyerahkan ini.” Amplop yang sama, seperti yang Damian dapatkan.
Tak banyak bicara, lelaki itu kembali menutup pintu dan mengunci ruangan dari luar.
Amanda termenung di tempatnya, perlahan dia membuka amplop itu dengan hati-hati, wanita itu tampak kacau dengan mata sembab, garis kantong mata yang terlihat jelas di wajah cantiknya.
Dunianya hancur kala melihat surat gugatan perceraian yang terdaftar atas namanya.
"Tidak, aku tidak melakukan semua ini. Aku tidak ingin berpisah,” ucapnya lemah.
Manda kehilangan suara karena terlalu banyak menangis. Airmata kembali berlinang, Manda tertunduk dan merutuki ketidakberdayaannya.
“Tuhan, siapapum tolong hentikan ini," jeritnya.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari masalah yang dia hadapi kini.
Tak lama pintu kembali terbuka dan bodyguar itu menyerahkan sebuah paper bag.
“Nona, silahkan pakai gaun ini untuk menghadiri sidang.”
Amanda tertegun, lelaki itu meletakan bawaannya begitu saja dan kembali keluar. Kesal, Amanda melempar paper bag itu. Sebuah gaun berwarna putih keluar dari sana. Mamanya bahkan tak memikirkan perasaannya saat mengirimkan pakaian itu.
Amanda kian depresi saat memungut gaun itu, secarik kertas terselip di sana, bertuliskan.
“Pakai ini, setelah dari pengadilan kita akan menemui calon suamimu.”
Manda mengepalkan tangan. Sungguh dia bak boneka yang harus mengikuti keinginan sang mama.
“Baiklah, jika Mama bisa seegois ini. Aku juga bisa melakukan hal yang sama.”
Sidang akan dilakukan dua hari lagi, Manda tidak memohon atau meraung. Dia sadar, apa yang dia lakukan semuanya akan sia-sia.
Dalam tekanan yang hebat, Manda melakukan hal ekstrem dengan menolak untuk makan. Naasnya tak ada yang menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berusaha tegar, dia tak ingin melukai suaminya tapi nyatanya kabar ini merupakan duka untuk pernikahan mereka yang belum memasuki satu bulan pernikahan. Dua hari berjalan begitu lambat, Manda menghabiskan waktunya di samping jendela dan menatap gedung pencakar langit di luar sana. Segala mimpi bersama Damian akan segera musnah. Seperti keindahan lampu- lampu yang menghiasi kota.
**
Damian menghabiskan waktunya dalam bermunajat kepada Tuhan, berharap hubungan yang dimilikinya dapat terselamatkan, dia terus meminta agar perceraian ini tidak akan terjadi.
Bu Restanti mendengar tangis putranya, hal yang tak pernah di lakukan Damian selama mereka tinggal bersama.
“Dam, apa kau sudah bangun. Ibu sudah buatkan sarapan.”
Dengan lemah, lelaki itu bangkit dari sujudnya, masih menggunakan peci Damian menghampiri ibunya.
“Aku datang, Bu.”
Damian keluar menampakan wajahnya.
“Kau tidak tidur lagi semalam, makanlah, Nak. Kami akan menemanimu ke persidangan.”
Damian menggeleng.
“Aku tidak mau, Bu. Aku tidak mau menceraikannya.”
Grandi muncul dari kamar.
“Kau harus datang ke persidangan dan memohon pada hakim. Jika kau tidak datang, maka perceraianmu akan mudah di kabulkan.”
Damian tertuduk dalam. Bu Restanti memeluk dan menguatkannya.
“Dam, jangan lemah seperti ini, Nak. Datang dan perjuangkan, kau tak memiliki kesalahan atau celah hingga harus menceraikan Amanda, Kau tak pernah melakukan KDRT. Hakim akan berpihak pada hubungan yang baik-baik saja, jika Amanda pun bersaksi maka kalian tidak akan berpisah, ibu sangat yakin.”
Damian menatap ibunya lagi.
“Ibu tidak berbohong, ibu yakin pernikahanmu bisa di selamatkan.”
Damian mengangguk dengan senyum mengembang.
“Iya, Bu. Ibu benar. Semoga Amanda mau mendukung pernikahan kami.”
Membohongi diri adalah hal yang paling menyakitkan. Kendati pertemuan terakhir bersama sang Istri membuat Damian tak yakin.
Tak ada napsu makan, Damian hanya menikmati makanan itu beberapa suap lalu bersiap menghadiri sidang. Damian ragu menghubungi Tomi, dia memutuskan untuk menghadapi sendiri masalahnya.
Pak Grandi dan Bu Restanti telah siap di mobil, Damian keluar dan terheran melihat ayahnya.
“Duduklah di belakang, biar ayah yang menyetir.”
Damian terkejut melihat itu.
“Baik, Yah.”
Damian tidak pernah tahu jika ayahnya bisa menyetir, mobil meninggalkan rumah dan menuju ke tempat tujuan. Selama di perjalanan, Damian kembali terdiam, dia gugup sama seperti saat dia akan menikah dulu.
"Nak, kau tahu. Jodoh, maut, rezeki sudah di tentukan. Jika kau dan Amanda tak dapat di satukan, mungkin memang kalian tidak berjodoh. Tak ada yang bisa melawan ketentuan Tuhan. Tapi, sebagai manusia. Kita bisa berusaha, kau tahu maksud ayah kan?"
Damian mengangguk samar.
"Ya, aku tahu."
Mereka kini tiba di pengadilan yang di maksud.
Bangunan kokoh itu terlihat mengerikan, Pak Grandi memarkirkan mobilnya di luar.
Hal ini tak mudah bagi semua orang. Tidak terkecuali orangtua Damian sendiri. Mereka ikut merasakan kepedihan yang di alami putranya.
"Ayo keluar, kita pasti bisa," ucap Bu Restanti.
Damian sekeluarga masuk ke ruangan, Nyonya Soya dan pengacaranya telah menunggu di sana. Damian menatap ke sekeliling dan mencari keberadaan istrinya. Namun dia tidak menemukan sosok Amanda yang sangat dia rindukan.
“Silahkan duduk, dengan saudara Damian?” tanya petugas yang ada di sana.
Damian menoleh pada kedua orangtuanya, Pak Grandi memberi isyarat agar Damian menurut. Hakim terus memperhatikan Damian yang terlihat kebingungan.
"Iya, Pak. Saya Damian." Lelaki itu duduk di samping kursi kosong.
“Dimana penggugat? Sidang akan segera di mulai. Jika yang bersangkutan tidak datang dalam lima menit, pengajuan ini akan dicabut.”
Nyonya Soya melotot, terkejut mendengar ucapan hakim. Sedang Damian terlihat lega.
"Mereka dalam perjalanan, harap Pak Hakim mau menunggu," ucap Nyonya Soya.
Wanita itu segera mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada anak buahnya.
Detik berlalu dengan harapan Amanda tidak akan hadir sebagai penggugat. Damian sangat mengharapkan itu.
Sidang kelengkapan berkas tak akan di kabulkan jika penggugat tak hadir.
Menit-menit terakhir begitu mendebarkan, tetapi harapan Damian kembali semu saat pintunya terbuka dan Amanda muncul dengan memakai gaun yang indah.
Nyonya Soya tersenyum licik, hakim memperhatikan dan yang lainnya melihat wanita itu masuk dan perlahan mendekati Damian.
Pasangan suami istri itu, saling menatap dan tersenyum, Damian memeluknya membuat Amanda menangis di d**a bidang milik suaminya itu. Pemandangan yang terjadi membuat hakim bingung. Kedua orangtua Damian terharu melihat anak dan menantunya bersatu.
Petugas akan menghentikan mereka tapi Hakim memberi isyarat untuk tidak menganggu.
“Kau baik-baik saja? Kau sangat cantik,” Damian merapikan rambut istrinya dan mencium kening wanita itu.
“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Manda nyaris berbisik. Suaranya belum kembali juga.
“Ada apa dengan suaramu?” tanya Damian khawatir.
“Aku tidak apa-apa, Dam. Aku hanya mengkhawatirkan kamu.”
Damian membawa Amanda duduk di sampingnya, mereka terus bergandengan dan Damian sesekali mencium tangan istrinya. Hakim dan wakilnya tertegun melihat mereka, sedangkan pengacara nyonya Soya sibuk menyetor berkas yang di perlukan.
"Manda, maukah kau berjuang denganku. Aku sangat mencintaimu," ucap Damian dengan airmata berlinang.
Pembicaraan mereka hanya di dengar oleh keduanya.
"Aku juga tak ingin berpisah denganmu, gaun ini. Mama yang memaksa untuk memakainya."
Damian tersenyum dan mencium pipi Amanda. Hanya orangtua Damian dan hakim yang melihat itu.
"Kau sangat cantik, sama seperti ketika kita akan menikah dulu."