Chapter 10 Menuju ke rumah mertua

1068 Words
Malam pertama di rumah Damian, Amanda sulit untuk terpejam. Ukuran ranjang yang sempit dan kasur yang sederhana membuat Amanda terjaga. Alangkah kagetnya dia, saat lampu satu per satu di matikan. "Apa yang terjadi?" tanya Amanda khawatir. "Oh itu, Ayah mematikan lampu di luar, kenapa?" "Kok di matikan? Nanti kalau mau pipis gimana? Ke kamar mandi kan jauh?" "Tuh," Damian menunjuk ke arah senter dengan ekspresi mukanya. "What!" Damian sampai tertawa kecil melihatnya. "Emang kenapa? Nggak pernah lihat lampu di matikan?" Amanda hanya menggeleng sebagai jawaban. "Apa lampu kamar kita juga akan di matikan?" "Tidak jika kau tidak menginginkan." Damian berbaring di tempat tidur di susul oleh sang istri, karena tempat yang sempit. Damian harus mendekap wanita itu sepanjang malam. "Setelah gajian kita akan beli tempat tidur baru, kau akan memilih kasur yang mana yang kau sukai," ucap Damian menghibur istrinya. Amanda tersenyum mendengar ucapannya. "Apapun tempatnya, jika bersamamu. Aku rasa nggak ada masalah." "Wah, kau semakin pintar merayu," goda Damian. Amanda sangat senang berada di tempat itu. Sederhana dan hangat. Ucapan mamanya terus mengganggu pikiran Amanda. Wanita itu gelisah dan Damian menyadarinya. "Ada apa? Apa ada masalah?" Malam semakin larut. Dan Amanda memilih untuk merahasiakan. "Nggak, aku hanya khawatir dengan berat badanku. Jika makan makanan lezat buatan ibu terus, yang ada aku gendut jika tinggal di sini." "Tapi kamu makannya dikit, Beb." "Iya, kan aku masih jaim. Lihat besok, aslinya keluar." Damian hampir saja tertawa keras mendengarnya. "Oke, kau hanya perlu percaya. Gendut pun aku suka." Setelah pembicaraan itu mereka pun tertidur. Pagi ini Amanda dan Damian terbangun karena suara ponsel Amanda yang terdengar nyaring. Nyonya Soya menelpon hingga berulang kali. "Siapa, Beb?" tanya Damian. Amanda melihat nama yang tertera di sana. Wajahnya memucat dan segera bangkit "Oh ini Reni, temen kantor. Kayaknya ada masalah penting aku angkat dulu ya," ucap Amanda gugup. "Oke, aku mandi duluan." Amanda lega melihat suaminya beranjak keluar. Setelah memastikan semuanya aman. Wanita itu pun segera mengangkat panggilannya. "Iya, Ma. Manda akan segera datang." Hanya kata itu dan ponsel di matikan. Manda segera keluar dan mendapati Damian masih di depan pintu. "Dam, kamu?" "Ada apa? Apa ada masalah serius? Jawab aku." Manda pun menyampaikan kegelisahannya. "Baiklah, kita ke rumah Mama pagi ini." "Tapi, Dam. Kamu kan harus masuk kerja." "Aku akan meminta izin, tidak baik membuat mama menunggu." Mereka sarapan bersama di dapur, Bu Restanti sudah menyiapkan makanan untuk semua orang. Makanan sederhana, nasi goreng dan telur orak arik. "Dam, Amanda di makan makanannya," ucap Bu Restanti ramah. "Terimakasih, Bu." Ponsel Amanda kembali berdering membuat Damian semakin penasaran. "Maaf," Amanda segera mematikan ponselnya. "Kenapa tidak di jawab, siapa tahu penting." "Nggak kok, Bu. Nggak penting." Tatapan Damian membuat semua orang menatap Amanda. "Ada apa?" tanya Pak Grandi. Damian kehilangan napsu makannya. "Nggak ada apa-apa, Yah. Sebaiknya kami berangkat lebih cepat. Sarapannya di kantor saja." Bu Restanti segera ke dapur dan mengambil tempat bekal untuk Damian dan istrinya. "Tunggu, ini ibu udah siapkan. Kalian tinggal makan nanti di kantor." Amanda terpaku melihat perhatian ibu mertuanya. "Ayo, Nak. Jangan sampai terlambat." Kami berangkat Bu, Yah." Setelah menyalami kedua orangtuanya, Damian dan Amanda pun berangkat. Sikap Damian begitu dingin, dia membuka pintu mobil untuk istrinya lalu masuk ke kursi pengemudi. "Apa ada yang kau sembunyikan dariku?" tanya lelaki itu sambil fokus menyetir. Amanda masih diam terpaku dan tidak berani menatap ke arah lelaki itu. "Mama menelpon dari semalam, pasti ingin membicarakan hal yang penting." "Dam, sebenarnya." "Apa? Sebenarnya apa Amanda?" Lelaki itu mulai tak sabar. Manda sontak saja kaget melihat reaksi suaminya. "Aku bisa mengatasi ini, kamu tenang saja. Kamu bisa langsung ke kantor, kok." "Apa kamu bilang? Kenapa kamu selalu meminta aku ke kantor. Kamu nggak coba jujur sama aku, kita ini suami istri atau bukan sih?" "Oke, aku mengaku kau adalah seorang yang berada, lelaki mapan dengan kekayaan yang melimpah sama Mama." Kiikkkkk. Spontan Damian menginjak rem hingga ban mobil itu berdecit. "Apa? K-kamu bohongin orangtua kamu? Oh, kenapa aku tidak menyadarinya. Itu sebabnya aku naik jabatan di kantor." Damian sangat kecewa mendengar kenyataan yang keluar dari mulut istrinya. "Nggak ada hubungannya jabatan itu sama pernikahan kita, Dam. Aku juga nggak sengaja bohongin Mama. Dia cuman nanya kamu kerja dimana, lalu aku jawab, terus dia mau lihat kamu itu yang mana. Ya udah, aku lihatin foto-foto kebersamaan kita. Nggak ada yang lain kok." "Kalau mama beranggapan lebih, itu bukan kesalahan kamu atau aku, Dam." Damian menghela napas kasar. "Harusnya aku dengerin kata Ibu dan Ayah saat itu. Harusnya aku menemui orangtua kamu dan mengatakan kenyataan yang sebenarnya." "Dam, ini bukan masalah serius, kamu nggak perlu marah-marah." Damian kembali menyetir dengan perasaan yang kacau. Tiba di tempat tujuan, mereka pun keluar dari mobil dengan saling menatap satu sama lain. "Dam, tolong beri aku waktu. Aku akan bicarakan semuanya sama Mama. Kamu nggak perlu ikut campur." "Nggak, apapun yang terjadi jika kalian membahas aku maka aku harus ada di sini." Nyonya Soya dan suaminya sudah berada di ruang tengah, sepulang dari acara arisan bersama teman-teman sosialitanya. Wajah mereka menjadi pucat dan malu. Nyonya Soya membanggakan Damian di depan semua orang, tapi salah satu temannya malah mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan. "Assalamualaikum, Ma," ucap Amanda memasuki rumah. Nyonya Soya dan suaminya terkejut melihat kedatangan Damian yang ikut serta. "Wa'alaikumusalam, Damian kok di sini? Bukannya kalian harus kerja?" Nyonya Soya tak ingin menyinggung perasaan menantunya sebelum fakta benar-benar terungkap. Sikap mama mertuanya membuat Damian melongo. "Mama kan ngajak Manda bertemu. Kami udah buru-buru takut Mama nungguin." Amanda menggandeng tangan suaminya erat. "Ah, nggak ini. Apa namanya. Papa tuh, nyariin kamu terus makanya mama telepon dari tadi. Kamu harusnya jangan nyusahin Nak Damian." Amanda bernapas lega mendengarnya. "Tapi, Ma. Bukannya ada hal penting yang ingin Mama bicarakan? Damian minta maaf jika kemarin membawa Amanda tanpa izin dulu sama mama dan papa." Nyonya Soya segera menxekatinya dan memegang lengan menantunya itu. "Nggak kok, nggak ada yang penting. Kalian boleh balik ke kantor, nanti terlambat." Nyonya Soya seolah mendorong mereka keluar dari rumah. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat mobil keluaran terbaru terparkir di halaman. "Loh, ini mobil siapa?" tanya Nyonya Soya penasaran. Wanita itu mengelilingi mobil iti hingga terkagum-kagum. "Ini keluaran terbaru kan?" tanya Rama menyusul istrinya. Manda tersenyum, dia sangat berhati-hati. "Mobilnya Damian, Pa. Jadi Ferarri kemarin di anggurin, pakai ini lebih nyaman kalau jalan bareng keluarga." Damian tidak membantah ucapan istrinya. "Hebat kamu, Dam. Kalau papa jadi kamu. Papa pasti milih mobil ini juga." Lelaki itu hanya bisa cengengesan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD