Part 11

1518 Words
Jessica menatap bingung ke arah dua remaja laki-laki di hadapannya ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, untuk apa kedua anak tengil ini berada di kantor Tiger Air? “Gue cari-cari ternyata lo lagi mangkal di sini. Ayo balik," ajak seorang pria bertubuh mungil itu. Namun masih terlihat imut di mata Jessica. "Sebentar, Bay. Gue mau ngobrol--" Belum sempat remaja bernama Tian itu menyelesaikan perkataannya, temannya bernama Bayu sudah lebih dahulu menyela. “Enggak, ayo balik! Anak-anak udah nungguin di basecamp," potong Bayu seraya menarik tangan Tian. "Eh, tunggu dulu!" "Alah, lama!" “Kak Jes, jalannya kapan-kapan aja ya?” teriak Tian seraya melambaikan tangannya lebar-lebar, setelahnya melempar ciuman tak kasat mata ke arah Jessica yang menatapnya geli. Terdiam, Jessica melihat kedua bocah prik pergi keluar dari dalam gedung Tiger Air. Sementara itu dari arah yang berlawanan dengan kedua bocah tadi, Nabila dengan tidak ada dosanya berjalan santai dan melambaikan tangan ke arah Jessica. “Heh, lo ke mana aja?” umpat Jessica pelan tetapi penuh penekanan. Ia kesal karena merasa ditinggalkan begitu saja di tempat asing. Mana ia tidak mengenal siapa pun, kecuali Neta. Eh, bukan Neta, tetapi Natasha. Ia suka lupa Neta dan Natasha adalah dua orang yang berbeda, walaupun wajah mereka sama. “Ngegas, ih! Gue tadi nyariin lo ke atas, abisnya lo lama! Barusan di atas katanya ada yang rame-rame, berantem gitu,” jawab Nabila lantas menoleh kembali ke arah belakang. “Eh, si Tian gangguin lo lagi barusan?” Hah, siapa Tian? “Tian?” ulang Jessica agak sedikit bingung. “Itu bocah tadi gue liat dari jauh ngobrol sama lo kan?” jelas Nabila. Jessica diam tak bergeming. Tian? Oh, jadi nama bocah prik itu Tian. Bagus juga namanya, walaupun nama dan kelakuannya rada enggak sinkron. "Iya, mana mau ngajak gue jalan lagi," jawab Jessica. Nabila bergidik ngeri setelah mendengar penuturan sepupunya itu. Menurutnya Tian itu terlalu agresif untuk ukuran seorang anak SMA yang justru harus fokus merancang masa depannya. Ini justru malah menggoda sepupunya yang jelas usianya lebih tua dari laki-laki itu. "Ngeri gue sama anak zaman jigeum," celetuk Nabila. Jessica membenarkan perkataan Nabila. Memang benar mahasiswa sekarang agak kurang ajar. *** Di sisi lain Natasha tampak berjalan ke arah seorang pria yang tengah bersandar pada kap mobil. Laki-laki dengan wajah tampan khas pria timur tengah itu sontak menegakan tubuhnya begitu menangkap tubuh mungil Natasha berjalan menghampirinya. “Aduh, Kak, maaf ya, aku lama. Soalnya tadi diulang-ulang terus," ucap Natasha dengan penuh penyesalan. Natasha merasa kurang enak hati karena harus mengganggu waktu istirahat laki-laki di hadapannya itu. Padahal ia tahu laki-laki itu baru pulang setelah melakukan flight malam dan baru sampai tadi pagi. “Kak, ini aku enggak ngerepotin 'kan?” Laki-laki bermata sipit itu melebarkan senyum. “Enggak kok, Nat. Santai aja nggak apa-apa, justru aku jauh lebih khawatir kalau kamu pulang sendirian malam-malam kayak gini. Ya, walaupun belum kemalaman sih, tapi tetap aja enggak baik kalau kamu pulang sendirian." Mendengar penuturan Reyhan, sudut bibir Natasha pun terangkat ke atas membentuk sebuah lengkungan senyum yang dapat membuat meleleh hati para kaum adam. Senyum Natasha ini manis sekali hingga orang-orang yang melihatnya ikut tersenyum. "Makasih," ucap Natasha. Ia benar-benar merasa beruntung memiliki tunangan seperti Reyhan. Laki-laki itu sering bersikap manis kepadanya. Reyhan terkekeh geli mendengar ucapan terima kasih gadis itu. “Belum juga kamu masuk mobil, belum nyampe rumah, udah bilang makasih aja. Nanti ya bilang makasihnya kalau udah nyampe,” balasnya begitu hangat dan ramah. "Hehehe, enggak apa-apa," ucap Natasha. Reyhan dan Natasha pun masuk ke dalam mobil setelah obrolan singkat mereka. Kebetulan udara malam ini sedang tidak bagus, walaupun cuacanya sangat bagus. "Pakai jaketnya yang benar, malam ini udaranya lagi enggak enak, loh," ujar Reyhan. "Iya, Kak." Dalam kereta besi milik Reyhan, Natasha menghirup aroma pinus, aroma yang cukup familiar di indra penciumannya. Aroma pinus ini mengingatkannya kepada sosok yang sampai saat ini masih belum bisa dilupakannya. Ah, mengingat sosok yang sempat mengisi hatinya selama beberapa tahun ke belakang ini membuat hati Jessica kembali dirundung rasa sakit. Hubungan yang sudah berjalan selama empat tahun harus kandas karena maut yang memisahkan mereka. Kekasih hatinya meninggal dalam sebuah kecelakaan maut di sebuah tol saat akan menuju Surabaya. “Kak Reyhan ganti pengharum mobil, ya?” tanya Natasha membuka konversasi di antara kesenjangan mereka pada malam itu. Saking seringnya gadis itu menghuni jok penumpang di samping kemudi sampai hafal dengan aroma dalam mobil milik Reyhan. “Iya, Nat. Aku pengen nyoba aja. Gimana menurut kamu? Kamu suka enggak sama wanginya?” balas Reyhan. Namun Natasha tak buka suara hanya menganggukkan kepalanya pelan sebanyak dua kali. Laju mobil Reyhan memelan ketika sampai di persimpangan. Laki-laki itu melirik ke arah Natasha yang tiba-tiba menjadi diam tak bergeming setelah jawaban miliknya atas pertanyaan Natasha dia perdengarkan. “Nat, kamu kenapa?” tanya Reyhan dengan raut khawatirnya. "Wangi, tapi wanginya ngingatin aku sama mas David," jawab Jessica tanpa sadar. Seharusnya ia tidak mengungkit laki-laki lain dalam obrolan mereka. Mendadak suasana menjadi canggung tak berkawan. Jika sudah menyangkut satu sosok pemilik nama yang diutarakan Natasha barusan, semuanya akan menjadi terasa tidak enak. “Maaf, Nat. Besok aku bakal ganti pengharumnya, pakai pengharum yang biasa aku pakai," ucap Reyhan. Perkataan Reyhan barusan lantas membuat Natasha bereaksi. “Loh, maaf! Aku minta maaf, Mas! Aku enggak bermaksud. Aku Cuma tiba-tiba jadi keinget dia gara-gara aroma pengharum mobil kak Reyhan. Ini kan saya juga Cuma numpang. Mas enggak usah peduliin omongan saya tadi, maaf ya Mas sekali lagi?” Hanya anggukan kecil yang Natasha berikan. Perkara Devan yang telah pergi jauh, dia sudah mengikhlaskan segalanya. Takdir sudah berkata, semesta telah bertitah, lalu dia bisa apa? *** Hampir saja Jessica membanting ponselnya lantaran kesalnya sudah mencapai ubun-ubun gara-gara kelakuan si bocah tengil yang tadi siang sempat mengganggunya. Tian terus menerus mengirimkan chat ke nomor ponselnya. Untung Jessica masih sayang benda pipih itu coba kalau tidak? “Jes!" Tanpa menyahut, Jessica menolehkan kepala ke arah sumber suara. Di mana sang Mama berseru dari luar sepertinya. “Jes!!” “Apa sih, Mama!” Jessica menggerutu masih belum beranjak dari posisi duduknya di sofa ruang tengah. “Jessica, Mama panggil enggak keluar-keluar sih? Tuh ada yang nyariin!” ujar Mama yang telah masuk dan menghampiri si anak gadis yang duduk bersila di ruang tengah. “Nabila? Ngapain? Kenapa enggak langsung masuk aja?” tanya Jessica bertubi-tubi yang masih terlihat anteng-anteng saja pada posisinya. Mama menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Bukan Nabila. Lagian kamu, Nabila terus kayak enggak ada temen main lain aja!” Jessica mengatupkan bibirnya. Kalau dipikir-pikir memang benar, dia ke mana-mana selalu dengan Nabila. Mau bagaimana lagi Devan kan masih terasa asing dengan dimensi yang dia tinggali saat ini. Masih beruntung dirinya dipertemukan dengan orang-orang yang sama dengan orang-orang yang dia kenal saat menjadi Devan yang asli. “Ya udah gih, sana! Mama mau bikinin minum dulu," ucap Tian. Dengan malas, gadis pemilik surai sebahu itu bangun dari duduknya. Merajut langkah menuju ruang tamu. Kira-kira jika bukan Nabila, lalu siapa tamu untuknya malam ini? Dua kaki itu berhenti mengayun begitu sampai di perbatasan antara ruang tengah dan ruang tamu. Kesal yang semula tenggelam perlahan-lahan kini mulai muncul ke permukaan kembali. Nyatanya Tian sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. Mau anak itu sebetulnya apa sih? Begitu mendapati sosok Jessica yang sudah memenuhi pandangan, Tian mengulas senyum tak ada dosa. Jika diperhatikan dengan baik dan saksama, bocah itu begitu mirip dengan keponakannya yang begitu antusias jika dirinya datang ke berkunjung. Apa jangan-jangan? *** Ini Tian di masa depan? Gelak Nabila mengudara mengisi tiap-tiap konversasi yang tercipta. Pasal Jessica yang menceritakan kedatangan Tian semalam. Bocah itu benar-benar mengganggunya. Anak tengil yang suka noona-noona. “Terus-terus?” Nabila masih sibuk memegangi perutnya. “Terusin aja sendiri sono! Geli gue dikintilin bocah kayak gitu, dikira gue seneng apa ya?” omel Jessica membuang wajah menghadap jendela besar yang ada di cafe lantai satu perusahaan. Lagi, Nabila tertawa. “Ketawa terus gue tampol lo!” “Haha ya abisnya lucu sih. Udah mau aja jadi pacarnya, lo sama dia kan cuma beda lima tahun! Hahaha,” sahut Nabila. “Pala lo!” Nabila terbahak hingga menyedot atensi beberapa orang. Tangannya meraih gelas minumnya. Sampai dua sosok anak manusia yang baru saja masuk ke dalam cafe mengambil atensi Jessica, yang mana seorang pria dan wanita, Natasha dan seseorang yang tak asing. Sepasang maniknya tak henti menelisik keduanya yang berjalan ke arah meja untuk memesan sesuatu. Ribuan jarum-jarum kecil tak kasat mata seperti kompak menyerang hatinya, tepat pada titiknya. Jessica menatap tidak suka. Devan yang merasa, Jessica yang bereaksi. Dia benci interaksi antara keduanya, yang mana Natasha dan pria itu saling lempar senyum dan membuat obrolan kecil. Sangat benci! Minta disleding lehernya apa gimana? Berani bener ngajak jalan cewek gue! Nabila mengernyit bingung menatap Jessica yang air mukanya tampak tak bersahabat tengah menjatuhkan pandang ke suatu arah. Dua maniknya secara otomatis mengikuti ke mana Jessica memfokuskan pandangannya. Di sana yang dia dapati adalah Natasha yang tengah mengobrol santai dengan Reyhan. Berulang kali Nabila perhatikan mereka secara bergantian. Jessica yang menatap kesal ke arah mereka di sana dan dua orang itu yang masih asyik bercengkerama. "Jangan-jangan ..." Nabila tidak melanjutkan perkataannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD