Part 3 : Awal Menuju Karma

1741 Words
Dikecewakan bukan perkara sehari dua kali dialami oleh Neta. Memiliki sikap pemaaf dan baik tak ayal membuatnya seperti sedang dimanfaatkan oleh Devan untuk membuat kesalahan berulang kali. Dari hal sepele hingga yang serius—bermain api di belakangnya. Yups, sebenarnya Neta sudah mengetahui kelakuan buruk Devan—pacarnya. Entah itu dari teman-temannya sendiri atau ia yang melihatnya langsung. Selama ini Neta hanya pura-pura tidak tahu, dan lebih memilih percaya kepada Devan yang dianggap b******k oleh semua orang yang mengenalnya. Mungkin karena rasa cintanya kepada Devan terlalu besar hingga ia menutup mata atas semua perbuatan Devan di belakangnya. Neta tidak mengerti mengapa Devan-nya berubah menjadi seperti itu, padahal dulu Devan tidak seperti itu—b******k. Devan yang dulu Neta kenal adalah Devan yang baik dan ramah. Devan yang dulu Neta kenal adalah Devan yang penyayang dan perhatian. Devan yang dulu Neta kenal adalah yang selalu menepati janjinya. Bukannya Devan yang sekarang. Namun ada sesuatu yang masih mampu membuat Neta bertahan di sisi Devan yang b******k itu. ‘Sampai saat ini Devan tidak berani memutuskannya.’ Apakah Neta bangga dengan itu? Jawabannya adalah ya, Neta bangga. Berarti Devan masih mencintainya hingga dia tetap dipertahankan, tidak seperti pacar-pacarnya yang lain yang diputuskan secara sepihak Ketika Devan merasa bosan. Di tengah lamunannya tentang Devan, tiba-tiba ponsel Neta berbunyi—menandakan ada pesan masuk ke ponselnya. Kak Devan Kamu lagi ada di mana, Net? 13.45 Tumben, biasanya juga ia yang sering mulai duluan—menanyakan kabar. Jari-jari lentik Neta pun bergerak lincah di atas layer ponselnya. Me Di kampus 13.47 Kak Devan Masih ada kelas atau free? 13.50 Lagi-lagi Neta merasa heran melihat respons Devan. Me Free 13.52 Kak Devan Kalau gitu kita jalan-jalan yuk 13.58 Bibir Neta berkedut membentuk sebuah senyuman. Ia tidak menyangka Devan akan mengajaknya pergi jalan-jalan. Sudah lama sekali Devan tidak mengajaknya jalan-jalan. Terakhir kali Devan mengajaknya pergi jalan-jalan satu bulan yang lalu. Dengan semangat empat lima Neta pun membalas pesan Devan. Me Ayo Kak 14.00 Kak Devan Ya udah, kalau gitu tunggu di tempat biasa ya, nanti kakak jemput di situ 14.03 Neta segera menutup aplikasi chatting-nya dan mulai beranjak dari kursi kantin yang sejak tadi didudukinya dan juga teman-temannya. “Buru-buru amat, Net, mau ke mana?” tanya Indira—teman sejurusan Neta. “Tau tuh, wajahnya seger bener,” timpal Tirani. “Roman-romannya sih, kayaknya pangeran kodoknya ngajak jalan,” sindir Dea yang sebenarnya tidak menyukai Neta dan Devan pacaran. Yups, tidak ada banyak yang tahu jika Deanira Ervina adalah salah satu mantan kekasih atau korban sang buaya darat yang bernama Devano itu. Dea sempat terpincut dengan ketampanan seorang Devan yang mirip sekali dengan idolanya, makanya waktu itu Dea mau-mau saja jadi selingkuhan Devan. Dan sekarang Dea menyesali itu. “Aku duluan ya, udah ditungguin sama kak Devan di depan,” pamit Neta. “Iya.” Neta pun segera ngeluyur keluar dari area kantin kampus, meninggalkan teman-temannya yang sedang membicarakan hubungannya dengan Devan. “Gue enggak tahu si Devan ngasih pelet apa sama si Neta, sampai-sampai si Neta tergila-gila sama cowok b******k kayak gitu,” dumal Tirani yang memang sangat membenci laki-laki sejenis Devan. Tirani sendiri mengalami trauma dengan laki-laki seperti itu. Ayahnya dulu meninggalkannya dengan ibu dan kakak-kakaknya demi bersama para kupu-kupu malam yang siap memuaskannya dua puluh empat jam. Makanya Tirani sangat mengutuk laki-laki sejenis seperti itu dan berharap mereka mendapat karma yang setimpal. “Iya bener, gue jadi kasihan sama si Neta,” sambung Indira. “Alah, si Neta-nya juga susah dibilangin!” *** Sementara itu, di depan gerbang fakultas kedokteran tampak seorang pria tampan tengah duduk di atas motornya sembari memainkan ponselnya. Neta tersenyum melihat pria itu, lantas ia berlari menghampirinya. “Kak!” Devan mendongakkan wajahnya. Sebuah senyuman tersungging dari bibir sexy-nya saat menemukan Neta—pacarnya. “Nih, pakai!” Devan menyerahkan sebuah helm yang sengaja ia bawa untuk dipakai oleh Neta dan pacar-pacarnya yang lain. Neta pun mengambil helm itu dan memakaikannya sendiri. Namun sebelum Neta naik ke motor Devan, Neta merasakan ada seseorang yang mengawasinya dari jauh. Neta mencoba mencari orang yang mengawasinya, tetapi ia tidak menemukan orang itu. Neta malah menemukan orang-orang yang tengah membicarakannya dengan Devan. Alah, itu sudah biasa terjadi, dan Neta tidak peduli itu karena Neta tidak butuh pandangan orang-orang. “Net!” Neta tersentak. Ia pun langsung naik ke atas motor sport milik Devan. Setelah motor Devan meninggalkan area fakultas kedokteran, barulah orang yang mengawasi Neta muncul dari tempat persembunyiannya. Dia adalah Kenzo. “Tuhan, jika Neta bukan jodoh hamba maka segera sadarkanlah Devan dari perilaku buruknya. Tetapi jika Neta benar-benar jodoh hamba, maka dekatkanlah Neta pada hamba.” Kenzo berdoa yang terbaik untuknya dan juga Neta. *** Dahi Neta berkerut saat motor Devan berhenti di sebuah basement apartemen. “Loh, Kak, bukannya kita mau jalan-jalan, ya? Kok kita malah ke apartemen Kakak?” tanya Neta kebingungan. Devan tersenyum. “Iya, kita bakal jalan-jalan, tapi ke apartemen Kakak dulu ya, soalnya ada sesuatu yang akan Kakak tunjukkin sama kamu.” Devan pun menggandeng tangan Neta menuju lift. Entah hanya perasaan Neta saja atau bukan, tetapi ia rasa ada yang aneh dengan Devan. Sepertinya Devan tengah merencanakan sesuatu. Pintu lift terbuka tepat di lantai tiga, di mana lantai tersebut adalah tempat salah satu unit apartemen Devan berada. Devan menekan password apartemennya, dan itu semua diperhatikan oleh Neta. Lagi-lagi Devan mengganti password apartemennya, Neta hafal betul apa maksud pacarnya yang sering mengganti-ganti password apartemennya. “Yuk masuk,” ajak Devan, mempersilakan kekasihnya masuk ke dalam apartemen mewahnya. Neta pun duduk di sofa, sementara itu Devan pergi ke dapur membuat minuman untuk mereka berdua. “Makasih, Kak,” ucap Neta setelah Devan menaruh sebuah nampan yang berisi dua gelas orange jus dan dua cup salad buah kesukaan Neta. Neta pun mulai meminum orange jus buatan Devan. Rasanya sangat enak sekali, rasa manis dan asamnya sangat pas hingga menghadirkan cita rasa yang segar. “Gimana Net, enak?” tanya Devan. “Enak, seger.” Devan tersenyum mendengar jawaban kekasihnya. “Syukurlah kalau enak. Kakak sengaja buatin kamu orange jus, karena Kakak tahu kamu pasti pengen yang seger-seger. Cuaca di luar ‘kan panas.” Neta tersenyum mendengar penuturan kekasihnya. “Makasih Kak.” “Sama-sama. Apa sih yang enggak buat pacar Kakak yang cantik ini,” goda Devan. Kedua pipi Neta pun merona mendengar gombalan Devan. “Net,” panggil Devan. “Iya, Kak?” “Kita pergi jalan-jalannya sebentar lagi ya,” jawab Devan. Neta mengerutkan keningnya. “Loh, kenapa?” “Di luar masih panas, mobil Kakak ditinggal di rumah utama. Kalau pakai motor nanti kamu kepanasan. Mendingan kita perginya sebentar lagi aja.” “Oke Kak.” Neta tampak tak masalah acara jalan-jalannya tertunda sebentar. Lagi pula di sini ia masih bisa berpacaran dengan Devan. Sementara itu, diam-diam Devan menyeringai. Ia sangat puas kekasihnya itu jatuh dalam perangkapnya. *** Sudah setengah jam Neta berduaan di apartemen kekasihnya itu. Dan kini Neta merasa ada keanehan dalam dirinya. “Loh, kamu kenapa, Net?” tanya Devan pura-pura panik. Neta menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba tubuhnya terasa sangat panas sekali. Diam-diam Devan menunjukkan smirknya. Obat yang dimasukkan ke dalam minuman Neta telah bereaksi. “Kak!” pekik Neta saat tiba-tiba Devan menarik tubuhnya hingga berada di pangkuan Devan. “Kak,” cicit Neta ketakutan. Ia melihat di hadapannya ini bukanlah kekasihnya, melainkan seorang iblis yang haus akan nafsu. Mendapat alarm tanda bahaya, Neta pun sekuat tenaga lepas dari kungkungan Devan yang tengah menatapnya dengan pandangan lapar. “Mau ke mana kamu!” Secepat kilat Devan menarik tangan Neta. “Enggak! Kakak jahat! Aku benci sama Kakak! Mulai hari ini kita putus!” teriak Neta dengan nyaring. Saat ini Neta sangat ketakutan sekali, itu terbukti dari tubuhnya yang bergetar sangat hebat. Devan tersenyum sinis, lalu tertawa yang membuat Neta semakin ketakutan. “Hahaha, tidak semudah itu untuk lepas dariku, Sayang!” Dengan tidak berperasaan, Devan membanting tubuh Neta ke sofa hingga terdengar bunyi benturan yang sangat keras. “Enggak!” Neta pun menendang tulang kering Devan. Ia kembali lolos dari kungkungan Devan. Neta berlari ke arah pintu ke luar. “Mau ke mana lagi, Sayang? Kau tidak boleh keluar sebelum aku selesai memakanmu!” “Dasar iblis!” “Hahaha, sini Sayang, jangan menghindar. Kakak bakal ajarin kamu permainan, yang bakal bikin kamu jerit-jerit kenikmatan. Ayo cepat sini, Sayang.” Neta semakin histeris. Ia menjerit-jerit ketakutan dan berusaha menghindar dari Devan yang siap memangsanya. Selain itu, Neta juga sedang mati-matian menahan hasratnya yang membara akibat obat yang diberikan Devan ke dalam minumannya. “Aku berdoa kepada Tuhan semoga kamu merasakan apa yang dirasakan oleh kami—para perempuan yang telah kamu sakiti!” teriak Neta Devan tidak terima dengan penuturan Neta barusan. Obsidiannya menggelap. Dengan gerakan cepat, Devan pun meraih tangan Neta, lalu menampar wajahnya. “Kurang ajar! Kamu harus Kakak kasih hukuman!” Neta menggelengkan kepalanya. Tidak, ia tidak mau. Ia tidak mau menyerahkan kehormatannya kepada Devan, pria yang dicintainya sekali pun. Mata Neta tidak sengaja menangkap keberadaan sebuah vas yang berada di belakang tubuh Devan. Entah mendapat keberanian dari mana, dengan gerakan cepat ia pun meraih vas itu, lalu memukulkannya ke kepala Devan. “Arghh!” pekik Devan yang mendapat serangan tak terduga dari Neta. Devan memegangi kepalanya yang banyak mengeluarkan darah. Perlahan-lahan pandangannya kabur hingga ia tidak sadar dan mengingat apa yang terjadi selanjutnya. *** Bunyi alarm terdengar begitu nyaring memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah ini. Tidur seseorang pun terusik mendengar bunyi yang sangat memekakkan telinganya. “Siapa sih yang pasang alarm jam segini? Perasaan gue enggak pernah pasang alarm!” gerutu Devan yang tidurnya terusik oleh bunyi alarm. Devan menghela napasnya melihat jam digitalnya yang baru menunjukkan pukul lima pagi. Dengan malas, Devan pun melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Kesadaran Devan belum sepenuhnya sadar, makannya ia tidak menyadari sesuatu hal aneh pada dirinya dan juga sekitarnya. Setelah berada di kamar mandi, Devan pun mulai melepas satu persatu pakaiannya. Lalu ia beranjak menuju ke bawah shower. Devan belum menyadari sesuatu, hingga ia menyabuni tubuh bagian depannya dan merasakan sesuatu yang aneh. Tunggu! Kenapa Devan merasakan tengah menyentuh sesuatu yang bulat dan kenyal. Kesadaran yang tadinya belum sepenuhnya sadar, kini Devan telah sadar sepenuhnya. Devan melirik ke bagian bawahnya. Tunggu ke mana perginya batangnya, kenapa malah jadi goa? Devan memegang sebuah helaian berwarna hitam yang ia duga itu adalah ram—but. Tunggu! Devan pun berlari ke arah kaca yang ada di kamar mandi tersebut. Ia menelisik tubuhnya lewat kaca hingga ia menyadari sesuatu, raganya adalah pe-rem-puan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD