Part 4 : Devan Syok

1257 Words
Astaga, Devan sampai tidak bisa berkata-kata menatap pantulan dirinya lewat kaca kamar mandi. Devan kembali mengucek kedua matanya, siapa tahu ia salah lihat. Namun tetap saja ia melihat raganya dalam bentuk seorang wanita. Gila! Ini benar-benar gila! “Enggak, ini enggak mungkin,” gumam Devan seraya menatap horor dirinya lewat pantulan cermin di kamar mandi. Astaga, rasanya kulit Devan merinding sekali. Ini ia sedang bermimpi atau bagaimana? Kok tiba-tiba raganya bisa seperti ini? Devan buru-buru menyalakan kran air, lalu membasuh wajahnya. Siapa tahu ia salah lihat karena kotoran di matanya belum sempat ia bersihkan atau mungkin kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Namun saat Devan kembali mengangkat wajahnya, ia masih menemukan dirinya dalam raga seorang wanita cantik berwajah setengah bule. “Enggak! Ini pasti gue lagi mimpi, enggak mungkin tiba-tiba aja gue berubah jadi cewek!” pekik Devan. Pekikan Devan barusan berhasil mengundang perhatian seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar Devan. Karena penasaran sekaligus khawatir orang itu pun memanggil Devan dan menggedor-gedor pintu kamar mandi. “Kak! Kakak kenapa?!” teriak orang itu. Devan kembali tersadar dari lamunannya. Namun ia masih syok mendapati dirinya dalam wujud seorang wanita. Berkali-kali ia menampar-nampar kecil pipinya, tetapi hasilnya tetap nihil, ia masih ada dalam seorang wanita. “Astagfirullah! Ini gue kenapa?! Ya Allah, kenapa gue berubah jadi cewek?!” teriak Devan histeris. Rasanya Devan ingin menangis sejadi-jadinya. Kenapa sekarang ia berubah menjadi seorang wanita? Apakah ada yang salah? “Mama!” Setelah itu pandangan Devan buram, kepalanya terasa sangat berat dan juga lututnya terasa lemas, ia sampai tak mampu menopang lagi tubuhnya hingga ia bersandar perlahan pada dinding kamar mandi. Bertepatan dengan itu ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, lalu terdengar teriakan seseorang memanggil nama seorang wanita yang tidak Devan ketahui. “Kak Jessi!” *** Pandangan semua orang kini tertuju pada sebuah pintu bercat putih dan tertempel sebuah kertas bertuliskan 'Kawasan Jessica, yang tidak berkepentingan di larang masuk'. Namun bukan tulisan dalam kertas itu yang menjadi fokus semua penghuni di rumah megah ini, tetapi keberadaan seseorang yang mereka cemaskan keadaannya setelah ditemukan terkapar di kamar mandi oleh putri bungsu pemilik rumah megah ini. “Tuh 'kan, Pa, Mama juga bilang apa, bawa aja Jessi ke rumah sakit, bukan dirawat di rumah," ujar Rika. Sementara itu laki-laki paruh baya yang juga tengah mengkhawatirkan anak tengahnya itu hanya bisa mendesah pelan mendengar omelan sang istri yang terus menyalahkan. Ia juga tidak tahu jadinya akan seperti ini. "Udah dong, Ma. Kita juga enggak tahu bakal kayak gini. Dari pada Mama ngomel-ngomel, mendingan Mama berdoa, semoga Jessi baik-baik aja," ujar Farel yang jengah mendengar omelan mamanya. Tak berselang lama dokter pribadi keluarga Atmadja keluar dari dalam kamar Jessica sambil menenteng tas kerjanya yang berisi peralatan medis. Beliau langsung menyampaikan masalah kesehatan yang terjadi pada putri kedua keluarga Atmadja itu. "Bagaimana, Din?" tanya Winata. Dokter Dina menatap kawan lamanya itu lekat, lalu menghela napasnya dalam. "Kayaknya kejadian kemarin bikin Jessica trauma. Ada baiknya kalian bawa Jessica ke psikiater." Setelah mendengar penjelasan dokter Dina, seluruh anggota Atmadja mencelos. Apakah kejadian kemarin separah itu? Mimik wajah Winata pun berubah. Laki-laki berusia setengah abad itu sangat emosi saat mengingat kembali apa yang menjadi penyebab salah seorang putri kesayangannya ini menjadi seperti ini. Winata bersumpah akan memberikan hukuman yang setimpal pada pelaku yang membuat putrinya menjadi seperti ini. "Selain trauma, apa enggak ada penyakit atau masalah yang serius, Dok?" tanya Farel yang sangat mencemaskan keadaan Jessica. "Nah, ini yang ingin saya sampaikan kepada kalian. Waktu kejadian kepala Jessi kebentur 'kan?" tanya dokter Dina pada orang-orang di hadapannya itu. Semua menganggukkan kepalanya. "Ada hal yang saya takutkan, soalnya yang terbentur itu kepala bagian belakang Jessi. Lebih baik setelah Jessi sadar dan kondisinya juga cukup baik, bawa Jessi ke rumah sakit untuk dicek kepala bagian belakangnya. Takutnya ada sesuatu hal yang serius," kata dokter Dina. Setelah berbincang-bincang cukup lama dokter Dina pun berpamitan kepada keluarga kawan lamanya itu, karena dua jam lagi ia ada jam praktik di rumah sakit. "Mari Dok, saya antar," ujar Farel. Farel pun mengantarkan dokter Dina ke bawah hingga menyisakan Winata, Rika, dan Karina di depan kamar Jessica. Mereka bertiga bukannya masuk menemui Jessica, justru malah terbengong. "Ma, Pa, kata dokter Dina 'kan, kak Jessi ngalamin benturan di kepala bagian belakangnya, gimana kalau misalkan kak Jessi amnesia, kayak di tv-tv?" celetuk Karina. Ia teringat dengan drama Korea yang baru saja ditontonnya itu dan kejadiannya hampir sama seperti yang dialami oleh Jessica. Sentilan keras mendarat mulus di kening Karina. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Rika, ibunya sendiri. "Ck, kalau ngomong asal jeplak aja. Jangan samain Drakor sama kehidupan real!" omel Rika yang tak habis pikir dengan jalan pikiran putri bungsunya itu. Sementara itu Winata hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Karina yang terkadang membuatnya mengelus d**a. "Jangan ngomong kayak gitu lagi, ah. Ucapan itu doa," tegur Winata. Mendengar perkataan tegas papanya, Karina pun menundukkan kepalanya. "Maaf, Pa." Farel mengerutkan keningnya melihat orang tua dan adiknya masih berdiri di depan pintu kamar Jessica. Ia kira mereka bertiga sudah masuk ke dalam. "Loh, kenapa belum pada masuk?" tanya Farel. Sontak Winata, Rika, dan Karina pun menoleh mendengar suara berat sulung keluarga Atmadja itu. "Iya, ini juga mau masuk," balas Winata. Mereka bertiga pun masuk ke dalam kamar Jessica, mengabaikan sebuah tulisan peringatan yang tertempel di depan pintu kamar gadis itu. Lagian ini urgent, masa mereka tidak boleh masuk ke dalam kamar. Begitu mereka berempat masuk, mereka menemukan Jessica sudah terasadar dari pingsannya. Gadis itu tengah menyandarkan punggungnya ke headboard. Sementara itu tatapan gadis itu kosong. "Jes," panggil Rika. Devan yang berada dalam raga Jessica pun sontak menoleh ke arah Rika. Mimik wajahnya berubah menjadi sendu, lalu setelah itu terdengar rengekan dari mulut Devan yang membuat semua orang terkejut. "Ma, tolongin Devan. Masa Devan berubah jadi cewek! Devan enggak mau, Ma. Tolongin Devan. Devan enggak mau jadi cewek. Devan mau jadi cowok lagi," rengek Devan seraya terisak kecil. Ia benar-benar merasa sedih mendapati dirinya dalam raga seorang wanita. Semua orang tampak saling pandang. Mereka tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Devan yang dikenal mereka dengan nama Jessica itu. Apakah Jessica sedang mengigau? Pikir mereka. "Devan? Siapa Devan, Jes? Pacar kamu?" tanya Winata. Devan menggelengkan kepalanya. Wajahnya kini sudah dibanjiri oleh air mata. "Papa pikun, ya? Masa enggak ngenalin anak sendiri!" Sontak Winata pun mendelik ke arah Devan yang berada dalam raga Jessica. Ia tak terima dikatai pikun oleh anak tengahnya itu. "Kurang ajar kamu ngomong Papa pikun! Yang ada itu kamu yang pikun!" "Pa!" tegur Rika seraya memberikan pelototan tajam pada suaminya yang tentunya membuat nyali Winata menjadi ciut. Rika kembali mengalihkan atensinya pada Jessica. Wanita paruh baya itu mengusap rambut putrinya, lalu membawa Jessica ke dalam pelukannya. Meskipun ia bingung dengan apa yang diucapkan oleh Jessica, ia tidak tega melihat putrinya bersedih seperti ini. "Ma, kembaliin tubuh Devan, Devan enggak mau jadi cewek! Devan janji kalau Devan udah balik lagi ke tubuh aslinya, Devan bakal berubah. Devan enggak akan nakal lagi ...," lirih Devan. Sementara itu Winata, Farel, dan Karina masih berdiri di sisi ranjang dengan kebingungan. Ini Jessica kesambet atau bagaimana? Kok omongannya enggak jelas? Dan lagi siapa Devan, kenapa disebut-sebut oleh Jessica? "Kak, kayaknya kak Jes, kesambet deh," bisik Karina. Tatapannya masih tertuju pada Jessica yang kini berada di pelukan mamanya sambil menangis pilu. "Hush, kalau ngomong suka ke mana aja!" tegur Farel, walau dalam hati ia juga sempat berpikiran sama seperti sang adik. "Siapa Devan? Kenapa Jessi dari tadi ngomongin terus Devan? Apa Devan juga orang yang terlibat dalam kejadian kemarin? Jika benar aku tidak akan mengampuni dia!" batin Winata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD