Empat bulan yang lalu
"Mbak Iva!" Rieke, salah satu karyawan kafe, memasuki ruangan kerja Iva tanpa permisi. Wajah gadis berusia dua puluhan itu tampak menegang. Nada bicara serta reaksi tubuhnya pun memperlihatkan kepanikan. Sambil terengah-engah dan meremas-remas tangannya sendiri, Rieke berusaha mengatakan sesuatu kepada Iva. "Mbak, itu ... itu, Mbak."
"Ada apa, Ke? Ngomong yang bener dong, ah." Iva menutup layar laptopnya. Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari meja, dan berhenti di samping Rieke. "Coba kamu tarik napas dan keluarin pelan-pelan."
Ragu-ragu, Rieke mengikuti saran Iva. Gadis itu benapas pelan-pelan dan dengan teratur selama beberapa detik.
"Oke. Inhale ... exhale ... good job, Ke." Iva menepuk-nepuk pundak Rieke. "Sekarang ceritakan ada apa sampai kamu lari-larian dan megap-megap kayak orang sesak napas gitu?"
"Itu, Mbak. Ada mayat—"
"Apa?!" Jerit terkejut Iva yang tiba-tiba membuat Rieke hampir melompat. Iva kemudian meletakkan kedua tangannya di pinggul sambil celingukan tidak jelas. "Di mana mayatnya? Di mana?!"
Rieke mengembus napas. Dia pikir tadi Iva yang memintanya untuk tenang, sekarang justru sebaliknya. Iva tampak begitu panik.
"Tenang, Mbak, tenang." Sekarang gantian, Rieke yang membujuk Iva supaya tenang.
Iva menyandarkan pinggulnya ke tepi meja lalu menekan d**a dengan satu tangan. Selama beberapa detik Iva berusaha mengatur napas sampai dia merasa sedikit tenang.
"Di mana mayatnya, Ke?"
"Di bangku luar, Mbak. Tadi sih lagi dijagain sama Aldy dan Susan."
"Emang mayatnya mau kabur ya pakai dijagain segala?"
"Ya, enggak sih, Mbak. Takut dilangkahi kucing saja. Mitosnya kan kalau ada mayat dilangkahi kucing, si mayat bakal bangun lagi."
"Zaman udah modern, masih saja percaya takhayul. Ayo, kita ke bawah!"
Iva dan Rieke kemudian keluar dari ruang kerja Iva menuju ke halaman kafe. Kafe yang memiliki konsep modern futuristic di bagian dalam dan rustic di bagian luar itu sudah terlihat sepi. Iva melirik jam tangannya. Sudah lewat tengah malam dan kafe sudah tutup sejak setengah jam yang lalu.
"Mana mayatnya?" tanya Iva lagi.
"Itu, Mbak!" Rieke menunjuk sesuatu di atas sofa bench.
Berdiri di samping sofa, Aldy dan Susan, karyawan Iva yang lain terlihat tengah menunggui sesuatu yang ditunjuk Rieke. Keduanya menyambut kedatangan Iva dengan wajah yang menegang bercampur takut.
"Mbak, ini ...." Irama ketakutan terdengar dari suara Susan yang sedikit gemetar. Wajahnya menghadap ke arah Iva, tetapi telunjuknya dia arahkan ke atas sofa.
Iva yang melihat petunjuk Susan, mengarahkan pandangannya ke atas sofa. Dia terperangah melihat sosok anak kecil, tepatnya balita, meringkuk tak bergerak di sana. Tubuh anak itu dibungkus kain flanel dan hanya bagian wajahnya saja yang terlihat. Di bawah sofa itu terdapat tas kain persegi berwarna cokelat dan bermotif boneka beruang. Dengan berani, Iva mendekat dan kemudian membuka kain yang membungkus tubuh mungil anak itu. Setelah mengamati dengan seksama keadaan anak itu, Iva akhirnya bisa bernapas lega.
"Anak ini masih hidup." Iva lalu meraih tangan dan mendeteksi denyut nadinya. "Beneran masih hidup."
"Tapi kok dari tadi nggak bangun-bangun, Mbak. Kita semua sampai takut kalau dia—"
"Coba deh kamu rasakan embusan napasnya, Dy." Iva memotong ucapan Aldy. Wanita itu lalu menempelkan telunjuknya di atas bibir anak tersebut untuk lebih meyakinkan.
Melihat Iva, Aldy pun melakukan hal yang sama. "Iya, Mbak. Anak ini masih hidup dan ...." Aldy memperhatikan wajah dan rambut anak itu selama beberapa detik. "Cewek, Mbak."
"Iyalah. Mukanya aja cantik begitu." Iva menipiskan bibirnya. Dia tidak percaya ketiga karyawannya ternyata penakut alias cemen. "Makanya kalau mau menyimpulkan sesuatu itu, dicari tahu dulu kebenarannya. Jangan asal telan saja. Nanti ujung-ujungnya jadi hoax. Di-prank kenyataan."
"Mau pegang-pegang, takutnya anak ini emang beneran sudah meninggoy, Mbak. Kita takut," sambar Rieke sambil memperhatikan gerakan si anak yang terlelap. "Mbak, kok anak ini nggak bangun-bangun ya?"
Iva yang penasaran akhirnya mencoba meyakinkan dirinya dengan mengguncang pelan tangan gadis kecil itu. "Dek, bangun, Dek."
Namun, usaha Iva tidak berhasil. Anak itu tetap memejam dan tidak terpengaruh usaha Iva. Denyut jantung Iva tiba-tiba terpacu lebih kencang oleh panik. Iva kembali memastikan denyut nadi anak itu. Masih berdenyut dan normal.
"Kita bawa anak ini ke rumah sakit." Iva lalu melihat ke arah Aldy. "Dy, bantu bawa dia ke mobil Mbak, ya." Iva mencoba mengatur napas sebelum melihat ke arah dua karyawannya yang lain. "So, siapa yang mau menemani Mbak ke rumah sakit?"
"Aku, Mbak." Rieke menawarkan diri.
"Aku juga ikut, Mbak," tutur Aldy sambil menggendong anak itu.
"Susan juga ikut. Susan enggak mau ditinggal sendirian di sini." Susan beringsut mendekat ke Rieke.
"Ya, sudah. Kita semua ke rumah sakit, tapi dikunci dulu kafenya. Jangan lupa tas anak itu dibawa!" Iva kemudian bergegas ke mobilnya di halaman parkir.
Bersama ketiga karyawannya, Iva membawa anak yang masih tertidur lelap itu ke rumah sakit terdekat. Tiba di sana mereka disambut seorang petugas rumah sakit di lobi.
"Anaknya kenapa, Pak?" tanya si petugas sambil memandang ke arah Aldy yang menggendong si anak. Sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada Susan dan Rieke. Tatap heran sarat kuriositas pun terpancar dari matanya. Pasalnya, ketiga karyawan Iva masih mengenakan seragam kerja yakni kaus merah bertuliskan “Ayo Rene Cafe”.
"Tidak tahu, Mas. Dia tidur nggak bangun-bangun. Eh, t-tapi anak ini bukan anak saya." Aldy menjelaskan kondisi si anak sekaligus mengklarifikasi dugaan si petugas.
Si petugas kemudian melihat ke arah Iva. Iva satu-satunya orang di antara mereka berempat yang memakai pakaian berbeda. Dia mengenakan blus merah muda tanpa lengan dan celana jeans abu-abu. Asumsi si petugas pun beralih kepada wanita itu.
"Oh, anaknya Ibu?" sangka si perawat dengan gamblang.
"Apa?!" Iva membentak si perawat karena asal bicara.
Namun, Rieke yang berada di samping Iva memegang dan mengguncang pelan tangan Iva berusaha meredam emosi sang bos. Rieke tahu Iva tipikal orang yang ngamukan dan barbar. Dia tidak mau Iva mempermalukan dirinya sendiri. "Mbak, kita di rumah sakit."
Iva hanya menelan ludah. Niatnya menjadi orang baik tidak boleh gagal hanya karena dugaan kecil tak berarti dari si petugas.
"Kalau begitu, kita bawa anak Ibu langsung ke IGD," sambar si petugas kemudian. Ekspresinya tampak sedikit ketakutan setelah kena semburan kemarahan Iva.
Terintimidasi oleh panik, Iva tidak ingin lagi mendebat si petugas. Iva dan yang lainnya mengikuti langkah si petugas dan Aldy. Setelah tiba di IGD, petugas tersebut membaringkan anak itu di atas ranjang kosong yang ada di tengah-tengah deretan ranjang pasien lain. Seorang dokter jaga kemudian datang dan memeriksanya.
"Ibunya mana, ya?" tanya si dokter cantik setelah memeriksa anak tersebut.
Iva celingukan lalu memandangi ketiga karyawannya. Namun, Iva tahu dia tidak akan mendapatkan solusi dari ketiga karyawannya tersebut meskipun matanya sudah memelotot memberi isyarat. Dia lalu memutuskan akan mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia dan ketiga karyawannya bukan keluarga anak itu. Mereka hanya menemukannya di pelataran kafe.
"Ibunya? Saya—"
"Begini, Bu." Si dokter memotong ucapan Iva.
Rencana Iva untuk mengatakan hal yang sebenarnya pun gagal lantaran si dokter keburu beranggapan sama dengan si petugas tadi. Mengira Iva ibunya anak itu. Namun, kali ini Iva tidak protes. Dia memilih untuk diam.
"Anak ini sepertinya hanya tidur pulas. Tidak ada tanda-tanda dia keracunan atau terpapar zat berbahaya. Dia sepertinya hanya kelelahan," lanjut si dokter cantik.
"Oh, syukurlah. Saya khawatir dia kena apa-apa." Iva mengembus napas lega. Ganjalan kecemasan yang cukup menyesakkan beberapa saat yang lalu, kini sedikit menguap.
Di saat yang sama, si anak mulai bereaksi. Bocah itu menggeliat, lalu membuka mata dan bergumam. "Mama ...."
Iva terperangah ketika mendapati mata hijau anak perempuan itu menatapnya. Kenapa sih dia ngeliatin aku?
"Tuh, kan, Bu. Anak Ibu sudah bangun." si dokter melayangkan senyuman manis.
"T-tapi, Dok. Dia ...." Iva kemudian diam menyadari mata bening anak itu semakin dalam menatapnya. Cantiknya.
"Ibu tenang saja. Anak Ibu tidak apa-apa," tutur si dokter.
"Beneran, Bu Dokter?" tanya Susan yang terlihat masih mengkhawatirkan keadaan anak itu.
"Iya, Mbak. Adeknya nggak apa-apa kok. Tapi kalau besok ada keluhan, adeknya langsung saja dibawa ke sini." Dokter itu meyakinkan Susan.
"Tuh, Mbak Iva. Kata Bu Dokter, nggak apa-apa." Pengumuman Susan menghantarkan kesiap untuk Iva.
Iva tersentak kaget, lalu menoleh ke arah Susan. "A-apa, San?"
"Kata Bu Dokter, anaknya enggak apa-apa."
Iva mengerucutkan bibir lalu menggerutu sendiri. "Anaknya, anaknya. Anaknya siapa?"
Setelah mengurus administrasi yang sebenarnya tidak perlu diurus lantaran anak itu tidak apa-apa, Iva memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan diskusi pun berlanjut.
Rieke yang duduk di samping Iva menggeser posisinya menjadi sedikit miring sehingga dia bisa dengan jelas melihat wajah Iva yang berada di balik kemudi. "Mbak, apa kita akan lapor polisi?"
"Pasti, dong. Takutnya, nanti ada yang mencari anak itu. Kalau kita nggak lapor polisi, nanti kita dikira penculik." Iva berusaha berkonsentrasi ke jalanan malam sehingga merespons tanpa menoleh. Sedetik kemudian dia melihat anak yang duduk di bangku penumpang belakang, di antara Susan dan Aldy, dari spion dalam. She's fine.
"Kapan kita laporannya, Mbak?" tanya Rieke lagi.
"Sekaranglah. Masa nunggu besok. Keburu basi nanti." Iva menegaskan.
"T-tapi, Mbak. Saya menemukan ini di tasnya." Aldy menunjukkan secarik kertas kepada Iva. Meskipun cahaya di dalam mobil tersebut minim, tetapi Iva bisa melihat lipatan kertas itu.
Iva hanya melirik sebelum mengembalikan pandangannya ke jalan. "Apa itu, Dy?"
"Kayaknya surat dari orang tua anak ini, Mbak. Saya barusan mencoba memeriksa isi tasnya berusaha menemukan petunjuk. Cuma ada dua potong pakaian anak, botol s**u dan kotak susunya, plus surat ini, Mbak."
Iva meminggirkan mobil dan berhenti di bahu jalan. Dia kemudian menyalakan lampu. "Coba Mbak lihat, Dy!"
Aldy memberikan surat itu kepada Iva, lalu Iva membacanya.
"Sinting! Niat banget nih orang ninggalin anak." Suara Iva terdengar meninggi.
"Apaan isinya, Mbak?" Rieke penasaran. Gadis itu menyatukan alis dan menyipitkan matanya yang sudah sipit. Alhasil, mata Rieke tampak seperti dua garis lurus.
"Nih, baca!" Iva memberikan surat itu kepada Rieke.
Bukan hanya Rieke yang dibuat penasaran oleh isi surat itu, Susan juga merasakan hal yang sama. Susan merapatkan dadanya ke punggung jok Rieke dan wajahnya melongok ke depan.
"Kesinian dong, Ke. Aku juga pengen baca," pinta Susan.
Rieke menggeser kertas yang sudah dibentangkan oleh kedua tangannya supaya terbaca juga oleh Susan.
"Astaga! Mbak, ...." Rieke melihat ke arah Iva. Kali ini mata Rieke yang sipit seksi tampak lebih lebar. "Berarti, orang tua anak ini kenal sama Mbak."
"Mbak nggak tahu siapa dia, Ke. Di situ kan cuma ditulis, tolong rawat dan jaga anak saya. Jangan sampai siapa pun tahu keberadaannya. Hidupnya dalam bahaya. Saya akan kembali menjemput anak saya. Terima kasih. Bukan berarti tuh orang kenal sama Mbak, 'kan?"
"Logikanya, kalau dia enggak kenal atau nggak tahu Mbak, dia enggak bakalan ninggalin anaknya di depan kafe Mbak. Secara, hidup anaknya sedang terancam. Dia pasti nyari orang yang bisa dia percaya buat jaga-in anaknya." Rieke melontarkan opininya.
"Betul, Mbak. Atau bisa jadi begini, Mbak ...." Aldy menarik napas dalam-dalam sementara Iva, Rieke, dan Susan dengan serius menunggu kelanjutan ucapannya. Mereka bertiga melongo sambil memandangi Aldy.
"Dy, kita nunggu lho." Iva memperingatkan.
"I-iya, Mbak. Bisa jadi tuh orang tahu Mbak Iva adiknya Pak Raymond. Pak Raymond Bratadhikara kan dikenal punya power untuk perlindungan sekaligus perlawanan. Ya, sebagian besar warganet plus 62 juga tahu rahasia umum itu, Mbak. Makanya tuh orang nitipin anak ini ke Mbak. Karena orang itu percaya anaknya bakalan aman kalau ada di tangan Mbak," imbuh Aldy.
"Terus, Mbak gitu yang harus ngerawat anak ini?" tanya Iva.
Aldy mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan Mbak. Mbak kan adiknya Pak Raymond."
"Dih, najis!" tepis Iva, "ngerawat bunga mawar aja jadinya bunga bangkai alias bunga mati, apalagi ngerawat balita." Iva menatap skeptis ke ketiga karyawannya sedetik kemudian. "Kalian percaya Mbak bisa ngerawat anak ini?"
Rieke, Aldy, dan Susan kompak mengangguk mengiakan.
"Kalian semua memang menyebalkan. Kompak banget ya kalau urusan menyiksa bos." Iva mendesis sambil bersedekap. Pandangannya tiba-tiba teralihkan kepada si anak yang sedari tadi menatapnya. Pancaran mata bening anak itu menciptakan sensasi dag dig dug di d**a Iva. Aneh. Iva pikir Iva tidak pernah merasakan hal seperti ini, bahkan ketika dia jatuh cinta kepada Eros. Rasa ini berbeda. Lebih besar dari gelombang cinta dan lebih dahsyat dari kobaran kasih sayang. Perasaan apa sih ini?
"Ah, sebel deh kalau sudah begini!" Iva mengumpati dirinya sendiri, lalu berkata kepada si anak. "Ngapain sih kamu ngeliatin aku terus?"
"Mama," ucap si anak.
"Tuh, kan, Mbak! Dia sudah manggil mama ke Mbak," cetus Rieke dengan nada senang.
Iva mencebik. Tiba-tiba dia punya ide untuk mencari tahu identitas anak tersebut. Dia pernah tidak sengaja membaca sebuah artikel tentang perkembangan motorik kasar dan halus serta kemampuan berkomunikasi anak usia 3 tahun. Iva yakin usia anak itu tidak lebih dari tiga tahun, bahkan bisa saja kurang dari itu. Setidaknya, walaupun tidak terlalu jelas, Iva percaya anak itu sudah bisa melakukan komunikasi dua arah.
"Nama kamu siapa, Sayang?" tanya Iva dengan suara yang dilembutkan dan bernada manis.
"Abby."
"Apa?" tanya Iva sekali lagi berusaha memperjelas.
"Abby."
Iva mengangguk lalu tersenyum. "Oke, Abby. Abby malam ini mau bobo sama siapa? Mm, maksudnya, di sini kan ada Tante-tante dan ada Om juga. Abby mau bobonya sama siapa?"
Sontak pertanyaan Iva pada gadis kecil bernama Abby itu membuat senewen ketiga karyawannya. Bisa-bisanya Iva membuat penawaran pada anak kecil. Abby kemudian melihat ke arah Rieke, Aldy, dan Susan. Namun, dia menjatuhkan pandangan terakhirnya kepada Iva.
"Abby mau bobo sama Mama," kata Abby dengan suara bening dan sedikit cadel.
Rieke, Aldy, dan Susan serentak mengembus napas lega.
"Pengen sama Mama, Mbak." tutur Aldy sambil tertawa kecil.
"Selamat kita, Ke," tambah Susan dengan bangga.
"Iya." Senyum Rieke mengembang di bibirnya.
Iva cemberut sambil menatap tajam ketiganya satu per satu. "Awas ya kalian!"
"Kan dia pengennya bobo sama Mama. Mamanya kan Mbak Iva," ledek Rieke.
"Awas saja sampai hidup Mbak kacau gara-gara bocah ini, kalian semua bakalan Mbak pecat."
"Siapa tahu nih bocah membawa berkah, Mbak," sambar Susan.
"Preeet, ah!" tepis Iva. Meskipun begitu, Iva mengamini ucapan Susan di dalam hati.