Seperti yang sudah Bianca ucapkan kalau dia akan bangkit dari keterpurukannya. Hari ini dia mulai dari berolahraga pagi di taman komplek perumahan elit tempatnya tinggal. Bianca hanya berolahraga ringan. Dia berlari kecil mengelilingi taman. Sesekali dia memelankan laju langkahnya dan berjalan santai. Karena baru hari pertama, Bianca hanya mampu bertahan selama lima belas menit di keramaian itu. Setelahnya dia kembali ke rumah. Bianca langsung masuk ke dalam kamarnya. Jantungnya berdetak kencang lalu keringat dingin mengalir dari keningnya.
"Aku tidak akan menyerah," bisik Bianca pada dirinya sendiri.
"Aku kuat," ucapnya lagi. Bianca menarik napasnya panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Dia lakukan itu berulang untuk menenangkan dirinya. Setelah dirasa cukup, Bianca masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Bianca sengaja berlama-lama di bawah guyuran air shower karena hal itu dapat membantunya semakin tenang.
"Bianca kamu di dalam, Sayang?" Bianca menoleh ke pintu saat mendengar samar suara mamanya. Bianca mematikan air sebelum memberikan jawaban pada sang Mama.
"Iya, Ma!" Bianca sedikit mengeraskan suaranya.
"Kamu sarapan di bawah kan? Atau mau Mama bawakan makanan kamu ke kamar?"
"Sarapan di bawah, Ma," jawab Bianca seraya mengambil handuk untuk mengeringkan seluruh tubuhnya.
"Baiklah, Mama tunggu di bawah, iya?" Janeta pergi setelah mendapat jawab dari sang putri.
Bianca memilih pakaian santai, lalu dia terhenti saat akan mengambil baju kedua. Bianca mengigit bibirnya ragu. Dia kemudian bertekad hanya mengenakan pakaian satu lapis saja setelah pakaian dalamnya. Bianca menarik tangannya lalu mengenakan pakaiannya dengan cepat. Dia berdiri di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya. Bianca mengenakan kaus berwarna hitam berlengan pendek dan celana dengan warna senada berbahan katun yang panjangnya mencapai betis. Bianca mengangguk puas dengan penampilannya. Dia lalu keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga menuju dapur.
Lagi-lagi Doni dan Janeta terkejut dengan perubahan putri mereka. Doni tersenyum menyambut kedatangan putri satu-satunya di dapur. "Selamat pagi, Sayang," sapa nya seraya menarik kursi untuk Bianca.
"Terima kasih, Papa," ucap Bianca setelah dia duduk dengan nyaman di kursinya. Doni mengangguk menerima ucapan terima kasih putrinya.
Janeta menyodorkan gelas berisi s**u serta dua potong roti lapis untuk Bianca. Bianca menatap s**u itu dengan kening berkerut. "Itu baik untuk perkembangan bayi kamu," kata Janeta ketika melihat kerutan di dahi putrinya itu. Sebenarnya Bianca tidak terlalu suka dengan s**u, akan tetapi dia akan tetap meminumnya jika dipaksa.
Doni tidak memberikan tanggapan apapun pada perkataan istrinya itu sementara Bianca mengangguk patuh dan menghabiskan minuman berwarna putih itu.
"Apa yang akan kamu lakukan hari ini?" tanya Doni sesaat setelah dia menghabiskan sarapannya. Bianca menggeleng pelan.
"Aku belum membuat rencana apapun, Pa," jawab perempuan itu.
"Bagaimana kalau ikut Papa ke kantor?" tawar Doni berani. Melihat perubahan Bianca, dia berharap putrinya kembali bekerja di kantor. Bianca adalah satu-satunya harapannya untuk meneruskan perusahannya. Meskipun masa pensiunnya masih lama, setidaknya dia ingin Bianca sudah handal saat menggantikan kepemimpinannya nanti.
"Maaf, Pa. Aku belum siap untuk ke sana," tolak Bianca halus.
"Bagaimana kalau merawat tanaman bersama Mama di belakang rumah?" Janeta memberikan tawaran yang paling masuk akal dan langsung di angguki oleh Bianca.
Setelah mereka sarapan Janeta langsung membawa Bianca ke halaman belakang rumah mereka, sementara Doni harus berangkat ke kantor. Ada banyak macam jenis tanaman di sana. Mulai dari tanaman hias hingga sayuran segar.
Ini bukan pertama kalinya bagi Bianca ikut merawat tanam milik Janeta. Dulu dia sering membantu Mamanya untuk sekedar menyiram atau mencabut rumput-rumput liar di sekitar tanaman itu. Bianca mengambil selang lalu menyemprotkan air pada tanaman itu. Sementara Janeta menggunting ranting-ranting yang terlihat menggangu di tanaman hiasnya. Janeta menceritakan kembali awalnya dia menyukai tanaman itu. Menceritakan masa muda yang bekerja sebagai pegawai toko bunga. Tempat yang mempertemukannya dengan Doni.
Bianca selalu antusias dengan kisah kedua orang tuanya. Meski sudah berkali-kali diceritakan dia tidak akan pernah bosan mendengarnya lagi. Sangat berbeda dengan apa yang dia alami. Kisahnya cinta sangatlah buruk. Mencintai Alex mampu menghancurkannya hingga pernah berpikir untuk jadi pembunuh. Iya, membunuh janin yang dia kandung sekarang. Terkadang pikiran itu masih datang. Akan lebih baik kalau dia tidak memiliki anak dari Alex.
"Bi," panggil Janeta pelan. Bianca menoleh menatap ibunya.
"Mama sayang sama kamu, Nak," kata wanita itu.
"Aku juga sayang sama Mama," balas Bianca dengan senyum lembut di wajahnya.
"Kamu tahu, kalau setiap ibu akan menyayangi anaknya. Setiap ibu punya cara yang berbeda untuk mendidik dan mengasihi anak mereka. Sama seperti tanaman itu." Janeta menunjuk tanaman hias yang batang utamanya menua karena tumbuhnya tunas baru dari akarnya.
"Dia merelakan semua nutrisi untuk tunas baru. Berharap tunas baru itu akan tumbuh jauh lebih besar dan jauh lebih indah darinya." Bianca menangkap maksud dari perkataan Mamanya.
"Mama berharap kamu menyayangi anak mu. Seperti yang para ibu lakukan pada umumnya. Kamu harus bisa menyayangi dan juga melindunginya ... Sayang, kamu akan mengerti betapa menakjubkannya seorang ibu, saat kamu melahirkan nanti dan dia ada di depan kamu semua rasa sakit yang kamu tanggung akan hilang tanpa jejak." Bianca tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Logikanya menolak percaya dengan perkataan ibunya. Namun, ternyata hatinya bergerak lebih dulu.
***
Sudah sebulan Alex berada di kota itu. Dan tepat hari ini, dia mulai bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah menengah pertama milik swasta. Tidak ada perusahaan yang menerimanya bekerja satu-satunya pilihannya adalah menjadi tenaga pengajar. Meski gaji yang ditawarkan tidaklah banyak namun, untuk menyambung hidup Alex harus menerimanya.
Alex memasuki ruang guru lalu memperkenalkan dirinya. Dia baru saja dari ruangan kepala sekolah dan dia diminta untuk masuk ke sana. Seorang wanita muda mendekat dia memperkenalkan dirinya sebagai guru di mata pelajaran sejarah. Namanya Nadira. Alex mengangguk lalu wanita itu menunjuk meja kosong untuk Alex.
"Itu meja Bapak, dekat dengan meja saya," kata wanita itu sedikit tersipu. Alex lagi-lagi hanya mengangguk. Dia mengerti gelagat yang wanita itu tunjukkan akan tetapi Alex tidak tertarik sama sekali. Masalah hidupnya sudah rumit. Dia tidak ingin menambah masalahnya lagi.
"Bapak sepertinya bukan orang Medan iya?" tanya Nadira dari bangkunya. Dia menunduk lalu mengaitkan rambutnya kebelakang telinga ketika Alex menatap datar dirinya.
"Saya orang Bali," jawab Alex pendek. Nadira terlihat semakin antusias namun Alex membelakanginya, menolak melanjutkan obrolan dengan Nadira.
Nadira menatap punggung lebar Alex. Dia ingin pria itu menjadi pasangannya. Nadira yakin Alex tidak akan mampu bertahan dari pesonanya. Pada akhirnya Alex akan jatuh ke pelukannya.
Bersambung...