Malam ini Arya telah berada di kamarnya, ia menghabiskan waktu membalas chat Lucy karena memang tak ada lagi chat dari orang lain kecuali Lucy seorang. Siang tadi Lucy juga menghabiskan banyak waktu bersama Rio dan sesuatu nampaknya terjadi karena malam ini ayahnya terlihat sangat marah dan seakan menyalahkan Lucy atas semua yang terjadi walaupun Lucy tak mengetahui apapun.
[Boleh aku cerita? Tapi apa kamu mau mendengarnya melalui telepon?]
Arya membuka handphonenya di kamar dengan posisi rebahan. Kamar sederhana yang tidak terlalu banyak tempelan di tembok yang memiliki warna cat putih itu memang sebuah ruangan ternyaman yang dia miliki.
"Lucy mau telpon, ya? Apa dia mau cerita hal penting? Biasanya dia cuma chat doang. Aku jadi penasaran," ucap Arya yang kemudian membalas pesan Lucy dengan penuh semangat.
[Wah tumben? Apa kamu ada masalah? Mau cerita langsung, ya? Aduh aku gugup kalo ngomong sama perempuan]
Lucy kemudian membalas pesan dengan sangat cepat membuat percakapan itu kurang efektif dan terasa lama sedangkan Lucy ingin segera bercerita.
[Kayaknya aku lagi kena masalah besar, jadi aku mau minta saran dari orang yang tinggal di kota seperti dirimu]
Arya membacanya dan memberikan ekspresi cukup aneh karena Lucy seakan membuat alasan sedemikian rupa padahal niatnya untuk berbicara dengannya.
"Kenapa dia melakukan hal seperti ini? Alasan Lucy malah terdengar konyol tapi, karena ini adalah Lucy jadi aku akan memakluminya," ucap Arya kemudian mengetikkan sesuatu.
Sebelum Arya menyelesaikannya ketikannya kemudian suara telpon Arya berdering yang ternyata dari Lucy.
"Eh? Dia menelpon? Ya ampun aku masih berantakan, aku belum siap gimana, nih?" Arya nampak panik karena ia jarang mengangkat telepon dari seorang wanita.
Agak tidak logis karena Lucy hanya menelpon tetapi, Arya begitu panik sampai-sampai ia mengatakan hal apapun yang tak memiliki hubungannya sama sekali. Telepon Lucy terus berdering membuat Arya terpaksa harus mengangkat telepon itu.
"Halo Arya? Apa aku bisa bicara dengan, Arya?" ucap Lucy melalui telepon itu.
Lucy terlihat bahagia apalagi malam ini di pulau itu sedang diadakan pesta ulang tahun pulau yang kesekian tetapi, Lucy memilih untuk di rumah karena kedua orang tuanya pergi ke sana, Lucy tak ingin mengacaukan pesta itu karena Sultan sangat membencinya.
"Iya aku, Arya," balas Arya yang nampak terduduk di pinggiran kasur.
Dengan menahan rasa gugupnya bahkan saat ini ia merasa ingin buang air kecil sehingga Arya terpaksa merapatkan kedua kakinya.
"Aneh, kenapa aku kayak gini? Suara Lucy lembut banget bikin aku semakin gak karuan, padahal cuma ditelpon doang, apa-apaan ini?" gumam Arya menggigit bibir bawahnya menahan rasa gugup yang telah memenuhi raganya.
"Kamu kok gugup gitu? Kamu kenapa? Kayaknya kamu cukup hyper aktif di chat, kenapa sekarang kayak gak bisa ngomong?" tanya Lucy yang merasa jika Arya cukup berbeda dari saat ia di dalam chat.
"Eh, enggak kok aku emang kayak gini aslinya hehe," balas Arya malu-malu.
Malam itu mereka berbicara banyak sampai akhirnya Lucy mengarahkan pembicaraan kepada hal yang lebih personal.
"Hahaha kamu lucu banget sih sampai niruin suara anime gitu." Arya tertawa saat mendengar Lucy yang suaranya di perkecil layaknya tokoh dalam anime.
"Aaahh onican, hahaha ih geli juga ya ngomong kayak gitu." Lucy tertawa dan mencoba untuk membuat Arya lebih nyaman agar dia tak merasa gugup lagi.
"Ya ampun kamu bikin aku ngakak malem-malem. Oh iya katanya kamu mau ngomong serius sama aku? Kamu mau ngomong apa?" tanya Arya mengarahkan pembicaraan pada intinya.
"Soal itu, sebenarnya aku sulit terbuka dengan orang lain tetapi, jika bercerita dari orang yang jauh dari kita sepertinya jauh lebih nyaman," ucap Lucy mulai serius.
Lucy yang saat ini merebahkan tubuhnya di kasur menetap sebuah gambar yang pernah ia buat saat usianya masih lima tahun dan gambar itu diam-diam ia pajang di kamarnya. Ada cerita sedih dibalik gambar itu yang terlihat seperti gambar anak kecil yang menggenggam kedua tangan orang tuanya dan di sebelah gambar itu terdapat gambar seorang anak perempuan yang dijauhi oleh ayahnya.
"Aku iri sama kamu Arya, memiliki ayah yang menyayangi kamu, hidup di kota yang luas dan modern serta bisa mengelilingi tempat yang belum pernah kamu jelajahi tanpa beban," ucap Lucy dalam pembicaraannya.
Arya jelas kebingungan dengan ucapan tersebut karena menurutnya hal itu tidak perlu di bahas tetapi, Arya mencoba untuk mengerti keadaannya mungkin saat ini Lucy sedang mengalami masalah.
"Kenapa kamu bilang kayak gitu? Bukannya hidup di sana lebih asyik? Kamu bisa liat pantai tiap saat, merasakan angin alami tanpa polusi serta banyak pasir putih yang bisa kamu mainkan," ucap Arya.
"Tapi aku gak bahagia hidup di sini, di rumah ini bahkan aku seperti seorang anak yang tidak diinginkan untuk lahir di dunia." Lucy menahan air matanya untuk terjatuh setiap kali ia ingat perlakuan ayahnya itu seakan kebahagiaan yang Lucy dapatkan selama ini tak pernah terjadi.
"Kamu ada masalah keluarga? Apa temen-temen kamu bully kamu?" tanya Arya penasaran.
Lucy sudah mulai terisak, suaranya mulai berat dan terasa sulit berbicara membuat Arya terdiam dan serius mendengarkan curhatan yang tak pernah Arya sangka itu.
"Aku punya temen sejak aku kecil namanya Rio, dia baik dan selalu ada di samping aku. Temen-temen juga baik dan gak ada yang benci aku bahkan bully aku tapi, ada satu hal yang membuat aku gak pernah merasakan semua kebahagiaan itu." Lanjut Lucy menahan tangisnya.
Setiap orang memiliki porsinya masing-masing sehingga apa yang Lucy rasakan saat ini tidak membuat Arya kemudian menjudge Lucy. Arya sabar mendengarkan cerita itu sampai selesai.
"Kenapa kamu gak bahagia? Apa ada masalah lain?" tanya Arya.
"Menurut kamu di dunia ini selain tuhan, siapa yang paling kamu sayangi?" tanya Lucy pada Arya.
"Orang tuaku? Aku sangat menyayangi mereka, bahkan kasih sayang mereka menguatkan aku walaupun aku terkena masalah," ucap Arya.
"Kamu bener Arya, orang tua. Apa kamu bahagia jika orang tua kamu sayang kamu? Lalu apa yang akan terjadi jika mereka tak sayang kepadamu?" tanya Lucy lagi.
Pembicaraan ini mengarah pada permasalahan personal, dari sana Arya langsung mengerti jika yang saat ini Lucy alami adalah masalah dengan keluarganya.
"Apa kamu memiliki masalah dengan orang tua mu?" tanya Arya penasaran.
Mendengar apa yang Arya bicarakan kemudian Lucy mengingat semua kejadian yang ia alami dari dulu sampai sekarang. Bahkan Lucy sempat di ikat dan di siram oleh air hangat saat itu karena Sultan begitu membencinya. Terakhir Lucy ditampar karena ia hanya lewat di depan Sultan dan membuat ia ingin pergi dari sana
"Ya ampun kok malah formal banget, ya? Maafin aku Arya kalo aku ganggu kamu malem-malem," ucap Lucy yang tak bisa lagi menahan air matanya jatuh.
Arya tidak tahu seberat apa masalah yang Lucy hadapi tetapi malam itu Arya mencoba untuk tidak menasehati Lucy dengan membawa masalah yang menimpa Arya.
"Gapapa Lucy, aku gak keberatan kok. Aku tau semua orang punya masalah, seseorang harus bisa mencurahkan apa yang mereka ingin katakan. Aku seneng kalo ada orang yang mau percaya sama aku termasuk kamu, kamu orang pertama yang selalu hubungi aku jadi aku akan coba buat hibur kamu," ucap Arya tersenyum.
"Makasih Arya, aku gak tau kenapa orang yang aku temuin di chat random bisa bikin aku senyaman ini?" Lucy menyeka air matanya sembari tetap menempelkan layar handphonenya di pipi.
Arya penasaran apa yang dialami Lucy sehingga ia menanyakannya.
"Iya sama-sama tapi, kalo aku boleh tau emangnya apa yang terjadi sama keluarga kamu?" tanya Arya.
Lucy kemudian menceritakan semuanya tanpa beban sedikitpun karena memang itu yang ia mau.
"Sejak kecil ayahku selalu menghukum aku bahkan saat aku gak melakukan kesalahan apapun, dia terlalu membenci aku," ucap Lucy mengusap air matanya.
"Ya ampun jadi kamu mengalami penyiksaan? Sampai sekarang?" tanya Arya.
"Iya Arya bahkan terakhir kali dia menampar ku saat aku hanya berjalan di depannya, dia ingin aku pergi dari sini," ucap Lucy kembali menangis yang membuat Arya harus menenangkan dirinya.
"Susah kamu sabar ya mungkin ayah kamu melakukan itu karena dia sedang banyak beban pikiran," ucap Arya yang tidak mengetahui asal usul keluarga Lucy.
"Iya gapapa Arya sebenarnya dia bukan ayahku, aku gatau kenapa ini semua bisa terjadi, sekarang aku merasa jika sudah tak ada tempat di sini yang membuat aku nyaman, aku ingin pergi dan pindah dari sini walaupun sebenarnya ibu sangat menyayangi aku," ucap Lucy mengusap air matanya.
Di sana Arya tahu jika Lucy mengalami hal semacam itu dan di dunia ini kisah semacam sinetron masih sering terjadi walaupun kadang kita sadari.
"Jadi begitu, ya? Tapi ibu kamu sayang sama kamu Lucy, kamu jangan kecewakan dia, kamu harus buktikan jika kamu adalah wanita yang tangguh yang bisa menaklukkan apapun dan bisa membuat mereka bangga," ucap Arya melalui sambungan telepon itu.
Cukup lama mereka membicarakan hal itu dan Arya berhasil menenangkan Lucy sampai pembicaraan yang cukup membuat Arya penasaran ia tanyakan pada Lucy.
"Sekarang kamu sabar aja, ya." Arya tersenyum kemudian merebahkan diri.
"Iya Arya makasih karena kamu mau jadi temen curhat aku," ucap Lucy mulai kembali mengukir senyum.
"Oh iya aku penasaran, waktu dulu ada bencana tsunami apakah pulau kamu gak kena efeknya?" tanya Arya penasaran.
"Tsunami? Dimana? Aku gak pernah denger ada tsunami," ucap Lucy.
"Eh, gak ada ya? Tapi waktu itu ada beritanya kok sampai satu negara berduka," ucap Arya.
"Mungkin itu daerah lain, Arya," ucap Lucy karena ia tak pernah merasa jika di daerah pulau yang ia tempati tak pernah ada bencana seperti itu.
"Oh gitu, ya? Yaudah deh aku kira di daerah kamu," ucap Arya.
"Nanti kita video call supaya kamu bisa liat pulau aku," ucap Lucy mulai tersenyum.
"Beneran? Wah keren, ayo besok ya kalo ada waktu," ucap Arya kegirangan.
"Tentu," ucap Lucy tersenyum.