10. Meminta Keturunan

1011 Words
"Jangan menyerah Keenan. Mama disini akan selalu menemanimu," Vivi berkata menenangkan Keenan yang sedang putus asa. "Karyawanmu berbohong tentang apa kalau mama boleh tau?" Vivi ingin mengetahuinya lebih lanjut, selama ini tidak ada yang berani mengusik ketenangan Keenan di balik sifat dinginnya itu. "Jangan di bahas lagi ma," Keenan memohon agar masalah tadi pagi di lupakan saja. "Alice belum pulang. Apa dia pamit padamu?" tanya Vivi penasaran, biasanya Alice akan pulang meskipun harus masuk kamar dan berdiam diri tanpa ingin keluar sepertinya enggan berinteraksi setelah kejadian beberapa hari yang lalu dimana Alice di usir oleh Keenan. Keenan mengernyit. "Alice jalan kaki, aku tidak tau ma kalau dia belum pulang," jawabnya menggelengkan kepala. Apakah Alice pergi? Mengapa tanpa se-izinnya? "Sekarang telepon dia. Jangan sampai Alice kenapa-napa di jalan. Karena ibu Riana masih belum tau kalau kita menganggap Alice bukan menantu yang sebenarnya," kata Vivi sedikit malas, kemiripan Alice dengan Alicia itu tidak mengecewakan semua orang saat acara pernikahan tiba, namun hena yang seharusnya sudah terlukis indah di tangan justru tidak ada dan Alice memberikan alasan luntur. Keenan mengangguk. "Iya ma, aku telepon Alice," tangannya mencari nomor bernama Alice, kemudian panggilan berdering beberapa saat sampai suara lembut itu menyapa pendengarannya. Sedikit tenang, tapi berbeda karena bukan Alicia yang ia telepon. "Alice. Sekarang juga kamu pulang, jangan keluyuran. Terutama ke rumah ibumu," nada ancaman peringatan itu di peruntukkan pada Alice. Keenan tidak ingin Riana tau kalau identitas Alice sebagai Alicia sudah terbongkar. "Jangan membantah perintahku! Ini adalah pesan dari mama," kemudian Keenan menutup sambungan teleponnya tanpa ingin mendengarkan ucapan Alice. "Bagaimana Keenan? Apakah Alice bersedia untuk pulang kembali disini?" tanya Vivi gelisah, ia takut Alice mengadu pada Riana. Keenan mengangguk. "Mama tenang saja. Alice pasti akan kembali." *** Setelah mendapatkan telepon dari Keenan tiba-tiba dan menyuruhnya untuk pulang, akhirnya Alice pamit pada sang ibu. "Jaga dirimu baik-baik disana ya. Entahlah sampai kapan kakakmu akan di temukan," Riana memeluk sejenak Alice, ia pasti sangat merindukan anaknya itu. Berada di rumah sendirian yang sepi tanpa adanya Alice juga Alicia hilang tanpa jejak. "Aku pamit pergi ya bu," Alice mrncium punggung tangan sang ibu yang sudah tidak halus lagi, bertambahnya usia membuat ibunya terlihat semakin tua. Riana memandangi kepergian Alice menghilang perlahan bersama gelapnya malam. *** Helaan nafas lelah dari Alice. Matanya melihat bangunan rumah bertingkat dua itu dari kejauhan. Sebentar lagi ia akan sampai. "Kembali ke rumah itu? Apa yang akan aku dapatkan selain kebencian Keenan? Bahkan ibu Vivi dan pak Arion sudah tidak menyukaiku lagi. Aku ini adalah perusak hubungan orang," Alice berujar di setiap langkahnya, ia menyalahkan dirinya sendiri. Pernikahannya bersama Keenan seharusnya menjadi kebahagiaan kakaknya, Alicia. "CEPAT!" suara gertakan yang berasal dari Keenan itu mengejutkan Alice. "Aku masih berjalan, tidak mungkin juga berlari karena kakku sudah lelah," Alice rela di sepenjang jalan ia tidak memilih naik transportasi, hanya bermodalkan keberanian saja untuk kembali pulang di rumah Keenan. "Lari, lagipula 17 langkah lagi kamu sampai disini," perintah Keenan tak ingin terbantahkan. Ia sudah muak dengan Alice ingin sekali menceraikannya namun masih berpikir ulang dan tidak gegabah karena Riana pasti akan mencurigainya. Alice mengangguk. Kakinya mengayun berlari menghampiri Keenan, ia memaksakan rasa lelahnya. Tapi satu langkah lagi keseimbangan Alice yang akan jatuh itu dengan sigap Keenan memeluknya. Terjadilah aksi saling menatap dan terpesona beberapa detik saja. Setelahnya Keenan melepaskan Alice hingga terjatuh di tanah. "Mas!" Alice terkejut, ia tidak siap sampai telapak tangannya tergores bebatuan kecil, rasa perih itu mulai ia rasakan. "Mas Keenan kenapa membiarkan aku jatuh? Apa mas senang melihat aku terluka?" nada memelas dan tatapan sayu Alice saat bertanya, namun Keenan hanya memalingkan wajahnya. "JANGAN BANYAK DRAMA! MASUK!" Keenan tak peduli, baginya Alice adalah seroang musuh dalam selimut yang diam-diam menghanyutkan. Alice mengangguk, ia berjalan sendirian. Menahan rasa perih di telapak tangannya, ternyata lebih sakit di benci oleh orang yang ia anggap sebagai kakak keduanya ini. *** Saat di dalam, Vivi dan Arion duduk menunggu kedatangan Alice. "Akhirnya kamu pulang juga," nada meremehkan dari Vivi itu membuat Alice memberanikan diri mendongak menatap sang ibu mertua. "Aku mengambil barang yang tertinggal di rumah," Alice membuat sebuah alasan bohong agar Vivi percaya. Tapi belum tentu, karena Vivi mengatakan ini. "Mengambil barang atau mencoba mengadu pada ibumu itu?" tak ada ekspresi di wajah Vivi, melihat Alice saja membuat hari-harinya merasa bosan. Alice menggeleng, Vivi salah menuduhnya. "Obat penghilang rasa pusingku tertinggal di kamar. Aku tidak bisa meminumnya sehari saja," penuh kesungguhan dan jujur, memang akhir-akhir ini kepalanya terasa di tekan hebat sewaktu-waktu. "Mama jangan percaya sama Alice. Dia itu pembohong," Keenan tiba-tiba menyahut, semakin menambah panas keadaan. "Sudah jelas Keenan, untungnya mama tau sejak awal dan curiga kenapa hena yang seharusnya di pakai saat pernikahan itu tidak ada. Alasannya? Luntur," sindir Vivi menatap Alice sinis. Tidak bisa berkata-kata hanya diam membisu. Saat itu pernikahan yang mendadak Alice tetap menerima keadaan, meskipun enggan karena keinginannya menunggu agar sang kakak kembali pulang. Tapi sejauh ini masih belum ada tanda-tanda kakaknya pulang. "Bagaimana nanti para tetangga bertanya tentang pernikahan ini ma?" akhirnya Keenan menyuarakan isi hatinya, ia selalu memikirkan hal ini. Menjadi orang yang terkenal selalu menjadi sorotan publik, terutama profesi ayahnya saat ini sebagai seorang presiden. "Tidak perlu khawatir Keenan. Minta saja pada Alice keturunan. Lagipula Alicia istrimu yang sebenarnya itu tidak kembali sampai sekarang," jawab Vivi memberikam sebuah saran. Keenan tidak setuju. "Ma. Kenapa harus Alice? Aku berharapnya Alicia. Aku ingin mendapatkan anak dari Alicia saja ma," menolak tegas atas permintaan mamanya, ia juga tidak sudi menyentuh Alice. "Kalau kamu tidak mau. Adopsi saja dari panti asuhan," Arion berpendapat, lebih baik lagi agar Keenan tidak mengecewakan Alicia suatu saat nanti. Alice menggeleng. "Aku pasti akan memberikan ke-" ucapannya dengan cepat di sahut oleh Keenan. "DIAM! AKU TIDAK SUDI," nada tinggi yang menggema di ruang tamu, Keenan tak bisa mengendalikan emosinya jika sudah satu ruangan bersama Alice. Nasib Alice seperti bubur halus, sulit untuk kembali lagi. Entah sampai kapan pernikahan palsunya ini ia jalani. 'Kakak, pulanglah. Aku lelah menanggung penderitaan semua ini. Mereka benar-benar membenciku kak,' batin Alice meraung pilu. Sebisa mungkin air matanya tidak menetes, ia harus bisa menunjukkan rasa tegarnya di hadapan keluarga Keenan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD