Nyut...nyut...kepala rasanya mau pecah. Bagaimana enggak? Model yang sudah aku ship dari awal untuk membintangi iklan jaket yang presentasinya dipenuhi trik politik, tiba-tiba menghilang dan nggak bisa dihubungi oleh managemen artis yang menaungi model berparas bule tersebut. Nama model sekaligus rapper dan selebgram tersebut Malik Zee. Bisa bertemu dengan model tersebut butuh perjuangan seperti saat zaman penjajahan Jepang, belum lagi perjuangan membuat design iklannya. Harus ikut romusha rela nggak pulang ke apartemen dua hari dua malam. Dan sekarang tiba-tiba model itu menghilang??? What the hell yeah...
Aku tuh nggak bisa diginiin. Ketua timku mengadakan meeting dadakan untuk mencari solusi masalah model ini.
"Kayaknya nggak ada cara lain selain mengganti modelnya," ujar Wanda seenak jidatnya.
"Whaaat? Ganti model? Cuma dia yang paling dapet feel nya untuk menjadi model iklan ini," tandasku tak bisa diganggu gugat.
"Mil, waktu kita nggak banyak untuk nyari keberadaan si Malik Rokib Atid itu. Kita dikejar tayang loh."
"Mending ganti ide sekalian kalau mau ganti model."
"Jangan ngaco deh lo, Mil!"
"Ya udah, lo tinggal pilih kita cari Malik sampai ketemu atau ganti ide sekaligus modelnya."
"Gila lo!? Lupa lo kita ngedealkan ide itu sama klien kayak apa perjuangannya?"
"Itu lo paham. Mending mana sekarang?"
Aku keluar dari meeting room dengan perasaan luar biasa kalut. Musti mencari di mana keberadaan selebgram satu itu?
Aku sudah mencoba menelusuri jejaknya melalui semua akun media sosialnya. Hasilnya nol. Terakhir dia aktif media sosial sudah satu minggu yang lalu. Insta story dia yang biasanya selalu dipenuhi titik-titik, saat ini bahkan nggak ada satu garis pun di lingkaran insta story. Aku mencari di website fansclub-nya juga nggak ada tanda-tanda si model ada di mana sekarang ini? And then....jantungku mau copot rasanya, saat melihat ke sayap kiri dari kubikelku, pak Anwar berjalan menuju kemari membawa map yang pasti berisi dokumen rancangan iklanku, tapi dalam bayanganku seperti membawa palu gada yang siap dihantamkan ke kepalaku sesaat lagi.
"Proyek jaket Blinksport katanya ada kendala? Bisa clear kapan itu?" tanya pak Anwar begitu berada di samping kubikelku tak ketinggalan melempar map tersebut di atas mejaku.
"Kasih saya waktu satu minggu untuk menyelesaikan masalah jaket Blinksport, pak."
"Satu minggu? Oke..., gajian lo juga mundur satu minggu dari tanggal biasanya," jawabnya dingin, lalu meninggalkan kubikelku. Pengin aku remet rasanya muka songong bos antik satu itu. Kapan aku dapat pekerjaan lain supaya bisa resign dari tempat seperti neraka ini.
Prisil mengajakku makan siang bersama. Dari wajahnya sepertinya pekerjaan perempuan ini nggak lebih baik dari aku juga kondisinya. Dia mengajakku mencoba sate dan gulai kambing khas Timur Tengah yang lokasinya di seberang kantor. Malas menggunakan alat transportasi apa pun, aku dan Prisil memutuskan jalan kaki ke resto tersebut. Urusan nanti waktu kembali ke kantor lapar lagi, itu urusan kesekian.
"Mil, Jumat clubbing lagi yok. Stres gue," cetus Prisil sambil mengacak rambut model bobnya, tak ketinggalan mengisap puntung rokoknya dalam-dalam lalu menginjak bekas puntung rokok tersebut dengan ujung boots-nya.
Aku tertawa sambil berdecak. "Gue lagi gabung AAC nih," jawabku lalu menyesap minuman kaleng dinginku.
"Apaan AAC? Ayat-ayat Cinta?"
"Bukan bego. Anti Clubbing Comunity. Gue nggak mau kejadian kayak beberapa minggu lalu keulang lagi. Trauma abis gue."
"Itu mah ACC. Dungu emang lo!"
"Oiya ding," jawabku nyengir lalu menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"Gue yakin lo nggak diapa-apain sama brondong tetangga lo itu. Mana mau dia enaena sama tante-tante minim pengalaman dan sok gaul kayak elo. Paling juga dia doyannya sama dedek-dedek gemes yang udah pro."
"Taeee lo ya Prisillia. Eh, tapi siapa yang tahu? Oh..., God..., gimana gue mau minta pertanggung jawaban kalau pelakunya aja nggak sadar dengan perbuatannya. Gue tuntut pun gue yang bodohnya kebangetan kalau sampai dituntut balik sebab masuk unit apartemen orang sembarangan, cowok pula, saat gue lagi mabuk berat. Dia juga selalu ngeles tiap kali gue tanya."
Lalu aku merutuki kebodohanku sendiri malam itu.
"Lo nggak usah minum deh. Lo ngelantai aja. Yang penting gue ada temen clubbing."
"Mana seru clubbing nggak sambil minum? Kenapa nggak joged-joged sampai gempor di apartemen aja sekalian. Gratiiiis sampai bengek."
Prisil hanya tertawa lalu mulai menulis pesanan kami berdua. Aku sendiri menyamakan pesananku dengan Prisil. Aku nggak terlalu rempong kalau urusan makan. Nggak punya ekspektasi tinggi soal rasa makanan, asal bisa bikin perut kenyang sudah cukup.
"Mil, itu bukannya Jidan ya?" Prisil menunjuk ke arah seorang laki-laki yang sedang membukakan pintu mobil untuk seorang perempuan. Kemudian dua orang itu berjalan bersisihan memasuki sebuah restoran kelas menengah atas. Tangan laki-laki yang aku kenali sebagai Jidan berjalan sambil merangkul pinggang perempuan yang sama dengan yang aku lihat bersamanya di hotel malam itu.
"Si tukang selingkuh udah go public nih. Dasar nggak tau malu," geramku sambil menggebrak pelan meja dengan kepalan tanganku.
"Lo jangan ngamuk di sini, Mil. Kalau lo ngerusak properti orang, gue nggak mau patungan ganti rugi," ujar Prisil mengetahui tanduk devil sudah nongol di atas kepalaku.
"Ngamuk gue elegan keleees. Lo bawa gincu sama..., kondom?" Aku berbisik saat bertanya barang terakhir pada Prisil.
"Kalau gincu bawa sih. Kalau kondom? Nggak bawa lah. Kurang kerjaan banget bawa kondom kemana-mana ," jawab Prisil kemudian tergelak. "Buat apa emang?" tanyanya ingin tahu.
Aku tersenyum licik, penuh misteri dan rencana jahat di otak. Prisil mengedikkan bahunya melihat aku hanya senyam senyum nggak jelas.
"Kita makan dulu sampai kenyang biar full energy saat menghadapi tukang selingkuh macam Jidan."
"Jangan gila deh, Mil!"
"Lo tau kan gue account executive paling gila se Dream Hight?"
"Terserah lo aja deh. Pacar juga pacar lo."
"Ralat woy! MANTAN!"
Prisil berdecak. "Kenapa sih, nggak lo coba selesein baik-baik hubungan lo sama Jidan? Kalian pacaran udah tiga tahun, keluarga udah saling tahu, punya rencana indah ingin membangun rumah tangga dan lo pernah cinta mati sama laki-laki itu, masa iya putusnya kayak begini. Mungkin aja dia punya alasan kuat kenapa selingkuh."
"Bokap gue ditinggal istrinya demi laki-laki lain. Sejak itu gue benci yang namanya perselingkuhan. Entah itu pelakunya ataupun alasannya," jawabku sarkas.
Prisil hanya menggeleng jengah lalu memulai acara makannya. Aku mengikuti jejak Prisil untuk segera menandaskan makanan yang sudah tersaji di atas meja. Perutku lapar setelah dihadapkan dengan kekacauan di kantor hari ini, ditambah lagi melihat kebersamaan Jidan dengan perempuan yang tampak jauh lebih muda dari aku. Mungkin perempuan itu salah satu dari dedek-dedek gemes yang disebut oleh Prisil tadi. Perempuan itu kelihatan lebih modis, lebih seksi, lebih cantik dan lebih anggun. Jidan kelihatan sekali begitu mencintai perempuan itu. Aku jadi benci melihat kondisiku yang menyedihkan sekarang ini.
Dari resto sate kambing aku menuju mini market yang letaknya sekitar 50 meter. Prisil harus kembali ke kantor duluan karena ada meeting dengan klien. Bisa dibilang saat ini sekrup dan baut urat maluku sedang longgar, jadi tanpa beban malu sedikit pun aku meraih satu kotak kondom aneka rasa secara random dari rak persediaan di depan kasir, lalu meletakkan kondom tersebut di atas meja kasir.
"Mau dibungkus kak?" tanya kasir mini market seperti sedang menahan senyum di wajahnya.
"Iya lah mbak. Masa iya mau saya bawa gitu aja kayak bawa permen karet," jawabku asal. Penjaga kasir tersebut mengangguk malu lalu meletakkan kondom yang aku beli ke dalam kantung plastik berukuran paling kecil.
"Woy! Jamilah! Ngapain lo?"
Gigi gerahamku saling gemeretak saat pundakku ditepuk cukup keras hingga membuatku terkejut setengah mati. Jakarta itu kan luas banget ya, tapi kenapa juga semesta musti mempertemukan aku dengan bocah tengil ini coba?
Astagadragon...bisa menopause dini gue kalau bocah tengil tau gue beli kondom.
"Sakit, bego!" Aku balas memukul bocah tengil. Dia malah nyengir.
"Beli apa lo? Kok gue denger nyebut-nyebut permen karet?"
"Iye, beli permen karet rasa strawberry. Puas lo?"
Bocah tengil malah ngakak. Aku menerima kembalian dari penjaga kasir. Saat hendak keluar dari mini market bocah tengil menahan lenganku.
"Etdah, keburu amat, mau ke mana emang?"
"Balik kerja lah, ngil. Nah lo sendiri ngapa ngeder dimari? Eh, tapi pengangguran mah bebas ye?"
"Abis ngantar temen," jawabnya tanpa membalas ejekanku lalu membayar minuman kaleng yang dia beli. Setelah selesai kami berdua keluar mini market bersama-sama.
"Udah dulu ya. Gue ada kerjaan nih. Bye, ngil!" Dia hanya mengangguk lalu balas melambaikan tangannya saat aku melambaikan tangan padanya. Sengaja aku baik-baikin dia supaya bocah tengil itu nggak banyak tanya lagi soal urusanku.
Sesampainya di samping mobil Jidan, aku mengeluarkan kunci duplikat mobil ini yang memang selalu aku bawa ke mana-mana dari dulu. Jaga-jaga kalau Jidan kehilangan kunci mobilnya. Udah b******k, bego pula dia memberikan kunci duplikat mobilnya kepadaku. Cinta oh cinta, benar-benar bisa bikin kehilangan kewarasan sebagian.
Setelah pintu mobil terbuka dengan mudahnya, aku membuka bra yang aku kenakan saat ini lalu meletakkannya di bawah lantai mobil. Aku memulas gincu warna merah cabe ke bibirku, memberi kecupan pada dasbor, dan jok mobil bagian penumpang. Terakhir mengeluarkan kondom dari kemasannya, membuang rasa jijik dan ingin muntah aku meletakkan barang laknat itu di lantai mobil bagian penumpang berdampingan dengan bra.
Pertama kali aku tahu bentuk kondom tuh gara-gara teman sekolahku dulu pernah memainkan karet pengaman itu menjadi sebuah balon yang aku kira balon yang terbuat dari bahan yang buruk karena tipis, nggak setebal balon karet pada umumnya. Namun sama sekali nggak pernah terlintas dalam pikiran sadarku untuk merasakan benda laknat itu di dalam tempat paling rahasiaku.
Setelah beres semuanya, aku mengunci kembali pintu mobil dan menunggu reaksi penumpang serta pemilik mobil ini dari jarak yang strategis untuk melihat skenario drama terbaikku siang ini.
Yang aku nanti akhirnya tiba. Perempuan berambut sebahu itu masuk mobil lebih dulu. Disusul oleh Jidan lima menit kemudian. Namun sepuluh menit berlalu mobil tak juga melaju dari tempatnya. Sepertinya skenarioku sedang didalami oleh para pemain dramanya. Konflik dimulai. Si cewek keluar dari mobil, disusul oleh Jidan. Mereka yang cekcok, aku yang membaca naskahnya dari kejauhan.
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Jidan. Menyusul pipi kanannya. Skenarioku berjalan dengan baik. Para pemain drama mengimprovisasi naskah yang sudah aku buat. Akhirnya si cewek pergi. Tinggallah Jidan yang sibuk mengacak rambutnya. Celingukan ke sana kemari seperti orang blo'on. Kemudian tatapan kami bertemu. Aku tersenyum sinis dan mengarahkan kedua jari tengahku padanya. Jidan melebarkan kedua tangannya, seolah bertanya 'apa maksudnya semua ini?'
Aku melangkah mendekat ke arah Jidan. Sambil menatap sinis padanya, aku melongok ke dalam mobil lalu mengambil bra milikku dan gincu milik Prisil.
"Kamu mau ngapain, Mil?"
"Ambil barangku yang ketinggalan di mobil kamu."
"Jadi semua kerjaan kamu? Tega banget sih kamu?"
"Tega kamu bilang? Kamu yang selingkuh kok aku yang dibilang tega? Kamu itu yang raja tega, Jidan."
Jidan mendesakku ke samping mobilnya. Merentangkan kedua tangannya untuk mengunciku. Sedangkan aku menyilangkan tangan di depan dadaku, sadar nggak mengenakan bra saat ini.
Kilatan penuh amarah terpancar jelas dari kedua mata almond milik Jidan. Mata yang dulu selalu bisa menggetarkan jantungku setiap kali berkedip. Mata yang bisa berbicara ketika pemiliknya sedang menceritakan tentang suatu hal. Dan mata yang dulunya selalu menatapku penuh cinta dan kerinduan. Kini berubah menjadi tatapan penuh kebencian dan intimidasi.
"Kamu di sini, beby?" Tiba-tiba ada suara lain diantara aku dan Jidan.
"Aku tuh nyariin kamu. Ayo aku antar kamu balik ke kantor sekarang," kata bocah tengil lalu menyampirkan jaketnya ke pundakku hingga ke depan dadaku. Sambil merangkul pundakku dia membawaku pergi dari hadapan Jidan.
~~~
^vee^