Sontak Leona menoleh dan membeliak kaget, saat putra kesayangannya tersebut melontarkan kalimat bagi seorang anak pelayan di rumahnya.
Leona bergegas mendekat dan mencekal lengan putranya dengan erat.
"Leon, apa yang kamu katakan! Kamu sadar, siapa yang sedang kamu ajak untuk menikah??"
Kyra menelan salivanya dengan begitu berat. Dadanya terasa nyeri, sekilas tadi, ia seperti tengah diangkat tinggi-tinggi dan sekarang, dihempaskan ke bawah dengan keras dan terasa begitu menyakitkan.
Apa yang ia harapkan memangnya? Menjadi seorang Cinderella yang dipersunting pangeran? Dan hidup bahagia sampai akhir hayat? Sungguh gadis kecil dengan angan dan impian yang terlalu tinggi.
"Sudah ada tamu undangan, sudah ada penghulu di depan sana, hanya tinggal pengantin wanita yang tidak ada di sini," ucap Leon kepada Leona.
Leona tersentak. Putranya tidak bermaksud untuk menikahi seorang anak pelayan bukan??
Leon kembali mengalihkan pandangannya kepada Kyra, yang sedang menundukkan kepalanya. Lalu melepaskan tangan sang ibu dan meraih tangan Kyra yang mungil.
"Ayo, kita pergi ke sana. Jadilah pengantin pengganti untukku!" pinta Leon dengan sangat gamblang.
Leona tak tidak diam. Untuk setuju kepada wanita biasa seperti Michelle saja, ia harus berpikir hingga ratusan kali, apalagi untuk anak seorang pelayan.
"Leon, kita bisa mencari wanita lain. Masih banyak wanita di luar sana. Kenapa kamu memilihnya??" ucap Leona yang nampak tidak didengar sama sekali, oleh orang yang kini melenggang pergi, sambil membawa seorang bertubuh mungil bersamanya ke depan altar.
"Ayo, kita bisa mulai sekarang!" ucap Leon penuh penekanan, kepada penghulu di depannya.
Leona panik. Ingin segera menarik tangan putranya tersebut, bahkan menampar wajahnya juga, agar ia tersadar dari kebodohan yang sedang ia perbuat. Namun, Leona tidak dapat melakukan itu. Karena sekarang, para tamu sibuk memperhatikan ke arah dua insan yang tengah berada di depan altar. Tak ingin membuat kegaduhan dan lagipula, tidak ada yang tahu gadis kecil itu hanyalah seorang anak pelayan di rumahnya. Jadi, untuk sementara waktu ini, Leona hanya dapat menahan diri. Sebelum menghujani putranya dengan banyaknya penghakiman.
"Apa kamu bersedia, menerima Leonardo Harrison sebagai suami kamu dan menemaninya dalam suka maupun duka?"
Kyra kikuk. Ia nampak kebingungan. Apakah ia sedang mengucapkan janji suci pernikahan, bersama anak dari majikan ibunya sendiri?
Kyra menelan salivanya sendiri. "Saya... Saya bersedia."
Hanya kata itu yang Kyra lontarkan. Tidak ada alasan untuk menolak. Leon yang mengajaknya. Leon yang memintanya langsung untuk menjadi pengantin pengganti. Hanya seorang pengganti saja. Tidak boleh terlalu percaya diri. Tapi cukup membuat Kyra tersipu.
Penghulu pun menanyakan hal yang sama kepada Leon dan tanpa banyak berpikir, tentu saja Leon mengiyakan hal tersebut.
Kini, keduanya diminta untuk berbagi kecupan. Kyra menggigit bibir bawahnya. Sementara Leon mengatupkan kedua kelopak matanya dan berinsiatif untuk maju lebih dulu.
Pagutan singkat Leon berikan dan hal itu telah sukses, membuat jantung Kyra melonjak tak tahu aturan.
Tepukan tangan bergemuruh dan bersautan. Apa ia sedang bermimpi sekarang? Sebuah pernikahan yang tidak pernah ia sangka-sangka akhirnya terjadi juga. Yang jelas, sepasang mata yang menatap tajam dirinya, meyakinkan Kyra bahwa ia tidak hanya sedang bermimpi belaka.
Acara berlanjut. Leon dan Kyra menyambut tamu undangan. Sementara Leona menatap sinis kepada sepasang pengantin di depan sana.
Langkah Leona terburu-buru, untuk pergi ke sisi sang suami, yang tengah sibuk berbincang bersama dengan rekan-rekan sejawatnya.
"Pa, ayo kita bicara sebentar!" ajak Leona sambil menarik pelan lengan lelaki tua, yang seolah tidak terganggu atas pernikahan yang baru saja putranya lakukan.
"Maaf Tuan-tuan, saya permisi dulu. Silakan dinikmati jamuannya," ucap Hans, sambil mengangguk dan memenuhi panggilan sang istri.
Leona membawa Hans ke tempat yang lebih sepi serta jauh dari hingar-bingar para tamu yang hadir.
"Ada apa Sweet heart? What's wrong with you ?"
"Kamu masih bisa sesantai ini?? Padahal, anak kamu menikah dengan seorang anak pelayan??" cecar Leona geram.
"So what? Ini pilihannya sendiri bukan? Lagipula, Leon itu sudah dewasa. Dia pasti tahu yang baik dan buruk untuknya. Kita sudah tidak berhak mengatur hidupnya lagi. Dia bebas memilih, selama memang itu keinginannya sendiri."
"Astaga!! Saat dia berkata ingin menikahi wanita itu saja, aku berpikir ribuan kali untuk menerimanya. Dan sekarang lihatlah, dia tidak hadir dan menghilang begitu saja di acara sebesar ini. Membuat keluarga kita, harus menanggung malu!" ucap Leona penuh penekanan.
"Sudahlah, Leona. Kita nikmati saja acara hari ini. Toh semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku akan pergi untuk menyambut tamu-tamu ku dulu." Hans berlalu pergi meninggalkan Leona yang menyilang kedua tangannya sambil menatap ke arah pelaminan, dengan raut wajah tidak suka.
Malam harinya.
Setelah acara resepsi pernikahan usai. Kyra pergi lebih dulu, meninggalkan Leon yang masih sibuk bersama dengan kawan-kawannya.
"Tuan, saya duluan ya?" ucap Kyra dengan kepala menunduk dan sambil memainkan jemari kedua tangannya. Ia hanya melirik sekilas, kepada Leon yang tengah duduk pada kursi bersama teman-temannya, yang kini menatap Kyra tanpa berkedip.
"Ya sudah. Pergilah!" perintah Leon yang acuh tak acuh serta kembali sibuk berbincang dengan kawan-kawannya.
Kyra berbalik pergi dan berjalan secepat mungkin. Meninggalkan perkumpulan laki-laki yang menatap punggungnya. Hingga hilang dari balik pintu rumah besar milik keluarga Harrison.
"You're really crazy, Leon!" cetus Eric sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Tapi, aku rasa, untuk ukuran seorang anak pelayan, dia tidaklah seburuk itu. Dia manis. Kulitnya putih bersih dan terlihat terawat. Dan lagi, kenapa dia masih menyebutmu Tuan? Kalian sudah menikah sekarang, tidak seharusnya dia masih memanggilmu begitu!" protes Damian.
"Terserah dia saja. Aku tidak peduli," ucap Leon yang kini meneguk segelas tequila. "Kalian sahabatku bukan? Apa kalian bisa membantuku, untuk mencari keberadaan Michelle??"
Eric tersenyum lebar. Sementara Damian mengerutkan keningnya.
"Untuk apalagi mencarinya? Kamu sudah menikah sekarang, sudah memiliki istri," ujar Damian.
Leon tersenyum masam. "Dia tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Aku sudah berkorban begitu banyak untuknya. Bahkan, aku sudah setuju dengan ayahku untuk ikut andil dalam perusahaan. Dan sekarang, dia meninggalkanku di hari pernikahan kita dengan alasan yang tidak jelas. Aku penasaran. Kenapa dia pergi. Kenapa dia memutuskan untuk tidak datang. Kenapa dia hanya mengirimkan pesan singkat, bila tidak bisa datang dan langsung menonaktifkan ponselnya. Ini terlalu mendadak. Aku harus mencarinya. Meskipun dia meminta untuk tidak dicari. Aku harus meminta kejelasan dari ini semua!" cetus Leon berapi-api.
"Sudahlah, Leon. Minimal, hargai istrimu yang sekarang. Bagaimanapun juga, kamu sudah berstatus sebagai suaminya."
"I don't care. Dia hanya seorang pengantin pengganti saja. Bukan pengantinku yang sesungguhnya!" ketus Leon.
Sementara itu, di lantai bawah, di sebuah kamar kecil. Tubuh Kyra yang mungil meringkuk di atas tempat tidur. Ia lelah sekali. Setelah semalaman membantu persiapan pernikahan. Dan siang tadi, yang harusnya ia menikmati waktu istirahat sambil menikmati makanan. Malah harus berakhir dengan ia yang turut andil menyambut tamu yang datang. Berdiri seharian, sambil menyalami setiap tamu yang datang satu persatu.
"Kamu kenapa ada di sini??" tanya Mirna yang baru saja masuk ke dalam kamar dan mendapati putrinya tersebut, yang berada di dalam kamar mereka yang sempit, bukan berada di kamar suaminya sendiri.
Kyra membuka mulutnya dan menguap. Ia bangkit perlahan dan duduk di tepi tempat tidur sambil menggaruk kepalanya.
"Ngantuk, Bu. Capek banget seharian ini."
"Iya ibu tahu. Tapi kenapa tidurnya di sini? Tidur di kamar atas sana. Di kamar suami kamu," ujar Mirna.
Kyra melongo. Ia bergeming sepersekian detik, lalu berkata, "Kyra beneran nikah sama dia, Bu???" tanya Kyra yang masih setengah sadar dan berpikir, bila kejadian hari ini hanyalah mimpinya saja.
"Ya iya. Kamu sudah menikah dengan Tuan Leon. Makanya, sana. Pindah ke kamar atas. Ke kamarnya Tuan Leon. Dia pasti mencari kamu."
Kyra menghela napas. Ia bingung dan juga canggung, bagaimana cara menghadapi laki-laki yang siang tadi menikahinya.
Namun, sang ibu malah mendorongnya keluar dari dalam kamar. Sekarang, tak ada pilihan lain, selain menuruti perintah sang ibu untuk pergi ke kamar atas.
Sesampainya di lantai atas.
Kyra mengetuk pintu kamar. Namun, tak ada jawaban. Ia mulai memutar gagang pintu dan menerobos masuk, tanpa permisi lagi.
Kini, terpampang ruangan yang kosong tak berpenghuni. Tidak ada si pemilik kamar di dalam sana. Mungkin, ia masih berada di bawah bersama dengan teman-temannya.
Tak sepenuhnya salah. Ia memang masih berada di bawah. Menikmati minuman bersama kawan-kawannya.
"Ini sudah malam. Sebaiknya, aku pulang. Kamu juga sudah mabuk. Pergilah ke atas. Jangan menyia-nyiakan malam pengantinmu!" cetus Damian.
Leon bergeming. Ia sudah terlalu mabuk dan tak lagi fokus mendengarkan kawan-kawannya, yang kini berpamitan dan pergi meninggalkan Leon seorang diri.
Leon bangkit dari kursi dan terhuyung. Sontak para penjaga berdatangan dan berusaha memegangi tubuh Leon, agar tidak ambruk.
"Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri," ujar Leon yang kini berjalan sempoyongan seorang diri.
Leon sampai di lantai atas dengan susah payah. Ia membuka pintu kamarnya dan mendapati sesosok wanita yang berada di atas ranjangnya sekarang.
Leon mendekat perlahan dan menjatuhkan tubuhnya pada tepi tempat tidur. Kyra langsung melonjak bangun. Merasakan ranjang yang tiba-tiba saja bergerak.
Sepasang mata miliknya, menatap Leon yang tengah terpejam di bawah kaki Kyra yang mungil. Kyra menarik perlahan kakinya dan hal tersebut, mengusik Leon, yang langsung membuka kelopak matanya lebar-lebar dan mengarahkan bola matanya kepada Kyra.
"Ma-maaf, Tuan. Kaki saya," ucap Kyra tergagap.
Leon bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Kedua sorot matanya tak lepas sedikitpun dari menatap wajah Kyra yang terlihat tegang.
"Kenapa kamu di sini??" tanya Leon tanpa berkedip.
"Ha?" Kyra menaikkan kedua alisnya ke atas. Pertanyaan yang membingungkan. Tapi, sepertinya ia mulai sedikit paham. Di sini bukanlah tempatnya.
Kyra keluar dari dalam selimut dan hendak turun dari atas tempat tidur. Inginnya melangkah pergi. Namun, cekalan pada lengan Kyra yang mungil, membuat ia tertegun.
"Sepertinya, aku melupakannya. Sudah. Naiklah! Pergi tidur!" perintah Leon.
Kyra terlihat kikuk. Ia tidak nyaman ada di situasi seperti ini. Tapi, malah menuruti saja, setiap perkataan yang Leon katakan kepadanya.
Kyra kembali merebahkan tubuhnya dan menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Sebelum akhirnya, ia membeliak kaget, saat tubuhnya tiba-tiba didekap dari arah belakang.
Sepasang tangan mulai bergerak dengan begitu bebas di bagian depan tubuh Kyra, memberikan sentuhan hingga sebuah remasan. Ingin memberontak. Tapi takut Leon marah kepadanya.
"Tu-tuan Mau apa?" tanya Kyra gemetar.
Gerakan tangan Leon terhenti. Ia berbicara dengan nada berbisik, tepat di dekat indra pendengaran Kyra.
"Melakukan hal seperti kemarin malam," bisiknya dengan suara yang berat.