Sebuah Penawaran

1514 Words
Di samping rumah. Kyra bersandar pada dinding dan Leon menatapnya intens, sebelum akhirnya membahas hal, yang tak ingin Kyra bahas sama sekali. "Aku sangat yakin, wanita yang semalam itu pasti kamu," ucap Leon dengan suara berbisik dan sesekali ia menoleh ke arah kanan dan kirinya, untuk memastikan, bila tidak ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Kyra melipat bibirnya. Tidak mengiyakan tidak juga mengelak. Sementara Leon kembali menatap Kyra seraya berkata, "Kamu ingin apa? Katakan saja. Aku akan memberikan apapun yang kamu inginkan. Tapi, jangan sampai ada yang tahu, tentang apa yang sudah terjadi. Aku akan segera menikah. Hal seperti semalam tidak seharusnya terjadi diantara kita. Jadi, katakan saja, apa yang kamu inginkan. Aku pasti akan memberikannya!" cetus Leon. Kyra tersenyum masam. Ia tengah disogok kah? Agar tidak mengatakan kepada siapapun itu, tentang apa yang sudah diperbuat oleh laki-laki di hadapannya ini semalam. Ia masih tidak mengerti. Kenapa hal semacam ini harus terjadi kepada dirinya. Tapi, ia pun cukup sadar diri. Akan kesenjangan sosial diantara ia dan Tuannya. Bukan hanya harus dirahasiakan. Akan tetapi, ia harus menganggap tidak pernah terjadi hal apapun itu, diantara mereka berdua. "Saya mau melanjutkan pendidikan. Saya baru lulus SMA. Mau kuliah. Mau mengejar cita-cita, supaya jadi orang yang sukses, supaya ibu tidak perlu bekerja sebagai pelayan lagi di sini." Kalimat-kalimat yang akhirnya dilontarkan oleh Kyra, tentang keinginannya yang sempat tidak disanggupi oleh sang ibu. "Baiklah! Kuliah saja! Persiapkan semua dokumen yang diperlukan dan untuk biayanya, biar saya yang menanggung semuanya. Kamu tidak perlu khawatir!" cetus Leon dengan penuh keyakinan. Kalimat-kalimat yang terdengar seperti sebuah iming-iming, hanya karena telah ditiduri. Atau bisa dibilang, sebagai sebuah imbalan, atas apa yang diperbuat oleh anak dari majikan ibunya ini. Tak ada pilihan lain. Memangnya, apa yang ia harapkan. Sudah seharusnya, apa yang terjadi pada dirinya semalam, ia lupakan saja. Persis seperti apa yang dibilang oleh ibu Kyra sendiri. "Baik, Tuan." Balasan yang Kyra katakan sambil pergi dari hadapan Leon. Leon mengembuskan napas kasar, setelah menghilangnya gadis bertubuh mungil itu, dari hadapannya. Ada-ada saja memang. Kenapa juga semalam ia malah mencicipi tubuh wanita lain. Apa karena Michelle seringkali menolaknya akhir-akhir ini? Kenapa juga, ia tidak bisa menahan barang sebentar saja, sampai akhirnya bisa melakukannya lagi, bersama calon istrinya sendiri. Benar-benar merepotkan. Sementara itu di kamar yang hanya berukuran dua kali dua meter, khusus untuk pelayan. Kyra menjatuhkan tubuh bagian belakangnya pada tepi tempat tidur. Ia bergeming beberapa saat, sebelum akhirnya melakukan apa yang diminta oleh anak majikan ibunya. Yaitu, menyiapkan segala jenis dokumen, yang ia butuhkan untuk melanjutkan pendidikannya. Suara dorongan pintu terdengar, Kyra menoleh dan mendapati sang ibu yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang apa?" tanya Mirna, saat mendapati putrinya yang tengah sibuk membongkar isi tas yang dibawanya kemarin. "Siapin dokumen buat kuliah, Bu." "Kuliah??" ulang Mirna dengan dahi mengerut. Kyra mengangguk pelan dengan mata yang masih terfokus pada lembaran-lembaran kertas, yang ia bawa kemarin. "Iya. Kyra mau kuliah. Supaya bisa cari pekerjaan yang layak. Jadi, ibu nggak perlu lagi kerja di sini," ujar putri semata wayangnya tersebut. Mirna mendekat dan berdiri di hadapan putrinya tersebut. "Lho tapi, Ibu tidak memiliki uang yang cukup Kyra. Kemarin, tabungan ibu saja sudah habis untuk biaya kelulusan kamu dan juga untuk ongkos kamu datang ke sini. Bagaimana bisa kamu berkuliah. Ibu sudah bilang kan kemarin?" "Tuan yang mau kasih biayanya, Bu," balas Kyra yang bergeming tanpa menatap sang ibu, yang kali ini menampakan kerutan dahi, yang lebih banyak lagi. "Tuan? Tuan siapa??" tanya Mirna dengan mata membeliak dan intonasi suara yang cukup tinggi. "Tuan, Tuan yang semalam udah...," Kyra menggigit bibir bawahnya. Ia hampir lupa, untuk tidak pernah menyebutkan hal ini lagi. Khawatir ada yang mendengar dan malah menjadi masalah untuk ia beserta ibunya juga. "Tuan Leon?" ucap Mirna dengan suara yang pelan, sambil melirik ke arah pintu. Berharap, tidak ada yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Kyra mengangguk pelan. Mengiyakan ucapan ibunya tersebut. Mirna pun langsung memijat ruang diantara kedua matanya. Kini, ia dalam masalah besar pikirnya, setelah ayah Kyra meninggalkan mereka berdua begitu saja dan akhirnya Mirna menitipkannya kepada sang nenek. Mirna memutuskan untuk bekerja di rumah besar ini. Dan semua upah yang didapat, sudah cukup untuk membiayai sekolah putri satu-satunya ini hingga tamat SMA. Sepertinya, meminta Kyra untuk datang dan menyusulnya ke sini adalah sebuah kesalahan yang besar. Terutama, dengan apa yang harus sampai terjadi kepada putrinya tersebut, bersama dengan putra majikannya sendiri. Sekarang, ia harus berbuat apa? Kalau dibiarkan saja, pasti akan ada masalah besar, yang akan terjadi ke depannya nanti. Apalagi, bila harus berhubungan dengan laki-laki, yang akan menjadi suami orang. "Tidak perlu, Kyra! Jangan kamu terima! Ibu kan sudah bilang, jangan lagi kamu berhubungan dengan dia!" "Tapi, Bu. Dia sendiri yang bilang begitu. Tadi, dia bilang mau kasih biaya kuliah untuk Kyra. Nanti, kalau Kyra sudah lulus kuliah, dapat pekerjaan yang bagus. Ibu nggak perlu lagi bekerja di sini. Kyra akan belikan rumah dan juga Kyra...," "Hentikan Kyra! Berhenti menghayal terlalu tinggi!" hardik Mirna. Kyra terperanjat dan langsung menundukkan kepalanya. Ia juga tidak ingin begini. Tapi, apa salahnya mencoba peruntungan. Demi kehidupan yang layak dan lebih baik ke depannya nanti. Memikirkan ingin masa depan yang cerah bagi ia dan ibunya. Kasihan. Selama ini ibunya tersebut menanggung semuanya sendirian. Dan sekarang, ia datang untuk membantu pun, malah menjadi beban baru untuk ibunya itu. Mirna menjatuhkan tubuh bagian belakangnya di samping Kyra. Memasang raut wajah memelas dan kembali berkata, "Kyra sayang ibu kan?" ucap Mirna dengan intonasi suara yang lembut dan langsung dijawab anggukan kepala oleh Kyra. "Tidak usah berhubungan lagi dengan Tuan Leon ya, Nak? Dia akan segera menikah. Sebentar lagi, dia akan menjadi suami orang. Apa kata istrinya nanti, bila dia tahu, suaminya membayarkan uang kuliah kamu? Dia pasti akan curiga. Dan pastinya, kamu yang akan kena imbasnya nanti. Ibu juga, pekerjaan ibu juga. Ibu masih membutuhkan pekerjaan ini . Hanya dengan bekerja di sini, ibu bisa membiayai kamu sampai lulus SMA dan juga mengirimi uang untuk nenek di kampung. Jadi, sudah ya? Buang semua angan-angan kamu itu." "Tapi, Bu...," ucap Kyra yang langsung menoleh dan hanya mendapatkan tatapan intens dari sang ibu. Kyra memainkan kuku jemari tangannya. Menghela napas berat dan mengangguk. "Iya, Bu. Kyra mengerti." "Ya sudah. Ayo, sekarang bantu ibu. Besok, acara pernikahan Tuan Leon. Kita harus membantu mempersiapkan semuanya." Kyra menghela napas panjang. "Iya, Bu. Ayo." Keesokan harinya. Di mansion keluarga Harrison. Halaman belakang yang begitu luas, akan segera menjadi saksi bisu, menyatunya dua insan manusia, yaitu Leonardo Harrison dan juga Michelle Sanjaya dalam tali suci pernikahan. Mengikat janji untuk sehidup semati, hingga akhirnya maut lah yang dapat memisahkan mereka berdua. Acara hari ini sengaja diselenggarakan di sini. Bukan karena tidak sanggup menyewa gedung yang megah. Akan tetapi, ini adalah permintaan dari Leon langsung, yang tidak ingin ada kendala saat diperjalanan. Tidak ingin ada kata terlambat, ataupun hambatan lainnya. Mengingat, sulitnya mendapatkan restu dari sang ibu, yang tidak menyukai bila putra satu-satunya menikah dengan wanita yang tidak sepadan dengan keluarga mereka. Michelle, hanyalah seorang gadis yatim piatu. Dibesarkan hanya oleh Tantenya dan pergi ke ibukota untuk mengadu nasib menjadi seorang model. Siapa sangka, Leon sudah mulai tertarik kepada Michelle, sejak mereka sempat bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama yang sama, yang akhirnya terpisah, karena Leon yang harus meneruskan sekolah di luar negeri dan kini, saat ia kembali, Leon memutuskan untuk meraih cinta pertamanya itu dan menikahinya. Leon, sudah nampak gagah dengan balutan jas hitam dengan kemeja putih. Setangkai bunga pun terselip pada saku kemejanya. Ia sudah siap. Sudah sangat siap menunggu kehadiran mempelai wanitanya, dengan langkah yang tegap dan penuh percaya diri. Ia keluar dari dalam kamarnya. Baru melangkah menuruni dua anak tangga. Seseorang nampak membuat Leon menghentikan langkah kakinya. Yaitu Kyra yang sudah berbalut gaun putih panjang, hingga mencapai lututnya. Rambut panjangnya di tata ke belakang, berhiaskan bunga mawar putih. Terlihat cukup anggun dengan pulasan make-up tipis. Sampai-sampai membuat Leon tertegun sejenak, sebelum akhirnya meneruskan langkah kakinya dan pergi ke halaman belakang. Sementara Kyra sendiri, masih diam mematung sambil menghela napas panjang. Sebentar lagi orang yang sudah menjadi laki-laki pertama yang menyentuhnya, akan segera menjadi suami orang lain. Seharusnya, apa yang laki-laki itu lakukan, dilakukan oleh suami Kyra nantinya. Dan bukan malah dia. Kyra menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mencoba untuk melupakan, saat bayangan hal yang tak semestinya terjadi itu berputar di dalam kepalanya. Kini, Kyra meneruskan langkah kakinya dan mengambil sesuatu yang diperintahkan, sebelum akhirnya menyusul ke halaman belakang dan menyaksikan pernikahan Tuannya. Dengan langkah kaki yang lemas, Kyra melangkah. Ia keluar dari dalam rumah dan berjalan ke arah kerumunan orang. Sepertinya ada yang aneh, semuanya nampak tengah berkasak kusuk. Kyra hanya menatap heran kepada sekumpulan tamu-tamu yang datang. Berusaha memecah kerumunan dan mencari tempat yang dekat dengan pelaminan. Kini, Kyra telah berhasil mencapai tempat yang cukup strategis menurutnya. Ada di sisi kanan pelaminan, yang berhiaskan bunga mawar putih. Ia memandangi ke depan dan melihat Leon yang sibuk menggenggam ponsel, sambil sesekali nampak berusaha menghubungi seseorang, dengan raut wajah gusar. "Wanita itu benar-benar membuat malu!" seru Leona, yang berdiri tidak jauh dari sisi Kyra. Kyra menatap sang majikan ibunya dengan tatapan heran. Hingga sebuah suara berat, tepat di hadapan Kyra sendiri membuatnya menoleh. "Ayo kita menikah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD