Kenapa Kamu Memilihnya?

1456 Words
Di dalam mobil, tepatnya di kursi belakang mobil. "Kenapa kamu memilihnya??" tanya Hans dengan tatapan yang lurus dan hanya menatap jalanan di depan sana, kepada Leon yang menoleh dan terlihat kebingungan, untuk menjawab pertanyaan dari lelaki di sampingnya ini. "Tidak apa-apa. Hanya ingin saja." Hans menarik kedua ujung bibirnya, sebuah senyuman pun mengembang dari sana. "Benarkah?? Bahkan, sikap kamu terhadapnya, terlihat seperti kamu tidak menginginkannya." "Itu urusan pribadi, Pa. Sepertinya, Papa tidak memiliki kewenangan untuk ikut serta di dalamnya." "Kyra itu anak yang baik. Dia begitu polos. Kalau boleh membandingkan. Menurut Papa, daripada Michelle, mungkin Kyra lebih baik. Dia terlihat penurut, tidak banyak tingkah dan juga sopan. Kyra termasuk ke dalam sosok istri yang banyak diidamkan oleh pria manapun itu." Leon menyunggingkan bibirnya. "Benarkah? Yang seperti dia bisa diidam-idamkan banyak lelaki??" ucap Leon dengan nada mencibir. "Kenapa memangnya?? Kenapa kamu bicara seolah Kyra itu begitu buruk?? Apa yang kurang darinya? Hampir tidak ada bukan?" "Dia itu kampungan, Pa. Apa Papa tidak bisa melihat caranya berpakaian?? Itu sangat ketinggalan zaman. Sangat jauh berbeda dengan Michelle." "Itu karena Michelle adalah seorang model. Lain halnya dengan Kyra. Lagipula, bila dipulas sedikit. Ia pasti tidak akan jauh berbeda dengannya." "Nonsense," gumam Leon. "Oh iya, hari ini, kita akan langsung terjun ke lapangan. Pokoknya kamu harus melihat semua tahapan awal produksi, hingga menjadi barang jadi. Kamu harus tahu seluk beluk tentang perusahaan, hingga ke akar-akarnya." "Why??" ucap Leon. "Kenapa masih bertanya juga?? Papa ini sudah tua. Sudah seharusnya beristirahat di rumah saja, untuk menikmati masa tua. Dan tugas kamu ya meneruskan perusahaan. Apalagi, kamu sudah menikah. Sudah punya kewajiban menafkahi istri kamu. Belum lagi, kalau punya anak nanti." Leon tersenyum menyeringai. Bahkan, ia hampir saja tertawa. Istri? Anak? Ya, mungkin ia akan memilikinya. Tapi, saat nanti ia telah menemukan Michelle dan menikah dengannya. Bukan malah dengan wanita yang saat ini hanya menggantikan posisinya sementara. Sementara itu di kediaman keluarga Harrison. Kyra tengah sibuk mencuci piring di dapur. Ia membantu sebisanya dan tidak mau terlihat berpangku tangan. Ia harus terbiasa melakukannya dan harus memposisikan diri, sebagai anak pelayan di rumah ini. Bukan malah sebagai seorang menantu. Karena bagaimana pun juga, suaminya sendiri yang mengatakan, bila ia hanya seorang pengganti dan tidak memperlakukannya bak seorang istri. Belum lagi Nyonya di rumah ini, yang sama sekali tidak nyambut baik dirinya sebagai seorang menantu. "Hey!" tepuk seseorang dari belakang tubuh Kyra. Kyra melonjak kaget dan hampir saja memecah piring. Ia bergegas menoleh dan mendapati Layla yang berdiri tepat di belakang tubuhnya. "Lagi apa??" tanya Layla kemudian. "Em, sedang mencuci piring, Nona," balas Kyra sambil buru-buru mematikan kran wastafel. "Nona sedang butuh apa? Biar saya siapkan. Ingin teh? Jus? Atau mungkin camilan???" ucap Kyra yang memberondong Layla dengan banyaknya pertanyaan. "Nggak butuh apa-apa sih. Cuma lagi butuh temen aja. Udah selesai kerjaannya? Kalau udah. Naik ke atas yuk!" ajak Layla. "Untuk apa Nona??" tanya Kyra. "Nanti juga tahu. Ayo cepetan ikut," desak Layla. "Saya selesaikan pekerjaan saya dulu Nona. Nanti, saya menyusul." "Ya udah. Cepet ya?" Kyra mengangguk paham. "Baik, Nona." Layla pergi meninggalkan Kyra dan Kyra bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Baru setelah itu, ia pergi menyusul Layla ke kamarnya. Kyra berdiri di depan pintu kamar. Ia mengetuk beberapa kali, hingga suara orang di dalam kamar, membuatnya berhenti mengetuk. "Iya. Tunggu sebentar!" Kyra menoleh ke kiri dan kanan. Tempat yang begitu sepi, karena pagi ini, banyak pelayan yang sedang sibuk merapikan seisi rumah. Termasuk dengan dirinya tadi, sebelum dipanggil ke sini. "Yuk masuk!" ajak Layla, saat pintu kamar terbuka. Kyra mengangguk patuh dan menundukkan kepala, sambil berjalan masuk ke dalam kamar. "Ayo sini," ajak Layla yang sudah lebih dulu duduk di atas karpet pada lantai. Kyra mengedarkan pandangan matanya, kepada setiap kertas yang berserakan di atas karpet. Ia pun duduk di dekat Layla yang kembali sibuk sendiri memilah milih kertas. Sementara ia sendiri hanya berdiam diri di tempat. "Em, sudah belum Nona? Saya mau kembali menyelesaikan pekerjaan saya," ucap Kyra kemudian. Layla mengangkat kepala dan menatap Kyra. "Pekerjaan apa?" "Pekerjaan saya. Merapikan rumah," balas Kyra sambil tersenyum tipis. "Itu kan tugas Pelayan," ucap Layla selanjutnya. Kyra tersenyum kaku dan berkata lagi, "Iya. Itu juga termasuk tugas saya." Layla mengembuskan napas panjang. Ia menatap Kyra tanpa berkedip, hingga sebuah ucapan menyertainya. "Kamu itu sudah menikah dengan kakak kan? Kenapa malah merasa menjadi pelayan?? Dan lagi, kenapa aku dipanggil Nona terus sih?? Panggil namaku aja. Layla. Bukan Nona." "T-tapi Nona. Nanti Nyonya besar bisa marah." "Mama maksudnya??" ucap Layla. Kyra mengangguk dan hembusan napas Layla lakukan lagi. "Tidak usah takut. Mama memang begitu. Jutek. Tapi Mama aslinya baik kok. Udah. Nggak usah panggil aku Nona terus. Panggil Layla. Ok??" Kyra terlihat ragu. Ia tidak mau dianggap tidak sopan. Tapi sepertinya, satu anggota keluarga ini, berkelakuan persis seperti ayah mertuanya. Meskipun, suaminya sendiri malah menyamai sikap ibu mertuanya itu. "Baik Nona. Eh, Layla." "Nah begitu. Kan enak. Oh iya, aku lagi persiapkan beberapa berkas untuk masuk kuliah. Waktu itu kakak pernah bilang, kalau kamu mau masuk kuliah yang sama dengan aku. Apa kamu udah persiapkan semuanya??" Kyra melongo. Leon memang pernah menjanjikan, untuk menguliahkan dirinya waktu itu. Sebagai tanda tutup mulut, atas apa yang terjadi diantara mereka berdua. "Sudah siap belum???" tanya Layla. "Oh. I-iya sudah Layla. Semuanya sudah disiapkan." "Baguslah. Nanti, tinggal daftar saja," ucap Layla yang kembali berkutat dengan kertas-kertas yang berserakan. "Aku masih nggak nyangka deh, kalau akhirnya, kakak malah menikah sama kamu. Apa sebelumnya, kalian menjalin hubungan diam-diam??" tanya Layla dengan mata yang tidak lepas dari kertas-kertas di tangannya. "Ha?" Kyra menaikkan kedua alisnya bersamaan dan menggeleng kemudian. "Tidak Layla. Mana ada hal yang semacam itu." "Masa sih?? Padahal, kakak seperti mengejar-ngejar kamu terus." Perkataan yang membuat Kyra rasanya ingin tertawa. Tentu saja mengejar. Tapi bukan mengejar karena cinta. Hanya mengejar karena kesalahan yang terjadi, diantara mereka berdua. "Itu hanya perasaan kamu saja. Saya tidak pernah ada hubungan apa-apa dengan Tuan Leon." Layla berdengus dan menatap Kyra. "Terus, kenapa kalian berdua bisa menikah??" Kyra menelan salivanya sendiri. "Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja, saya ditarik dan diajak menikah." "Aneh. Jangan-jangan, kakak diam-diam tertarik sama kamu lagi," terka Layla. "Itu mustahil," ucap Kyra sambil tertunduk lemas. "Kenapa mustahil? Kamu diajak nikah lho. Sudah jadi istrinya kakak lagi sekarang. Apa coba artinya, kalau kakak nggak suka? Tapi ada bagusnya sih. Soalnya kakak itu posesif abis. Dia suka larang aku buat ngelakuin ini dan itu. Sekarang, kamu sudah jadi Kakak ipar aku. Kalau ada apa-apa, aku bisa kan minta tolong kamu buat bujuk kakak?? Siapa tahu, sama istrinya kakak bisa luluh." "Kalau saya bisa. Saya pasti membantu kok. Tapi, saya tidak yakin, kata-kata saya akan didengarkan." "Kamu kenapa insecure begitu sih??" tanya Layla. "Saya ini bukan apa-apa. Tidak cantik juga. Jadi, apapun yang kamu katakan tentang saya, itu tidak benar. Saya tidak memiliki pengaruh sebesar itu." Layla mengernyitkan keningnya. Ia menatap setiap sudut wajah Kyra, lalu bangkit dan mengambil beberapa perlengkapan make-up, dari atas meja dan duduk bersila di depan Kyra. "Coba sini. Aku dandani!" seru Layla antusias. "T-tapi Layla...," "Udah ayo sini. Aku akan sulap wajah kamu. Kakak pasti takjub pas liat kamu nanti." Sore harinya. Mobil hitam glossy memasuki gerbang hitam yang menjulang tinggi. Mobil tersebut berhenti, pada halaman depan mansion, milik keluarga Harisson. Pintu-pintu mobil bagian belakang, segera dibuka oleh penjaga yang berhamburan dan sepasang ayah serta anak keluar dari dalam mobil tersebut. Leon mengembuskan napas panjang hingga berkali-kali, sungguh melelahkan serta membosankan hari ini. Ia yang terbiasa menghamburkan uang saja. Sekarang, malah disuruh bekerja untuk menghasilkannya. Tapi, apa boleh buat. Itulah kesepakatan yang sudah ia buat bersama dengan sang ayah, agar dapat dukungan penuh untuk menikah. Meskipun pada akhirnya, malah harus menikahi wanita yang salah. "Sweet heart, aku pulang!" seru Hans, yang selalu menyisipkan panggilan mesra untuk istri tercintanya. "Selamat datang. Bagaimana pekerjaan hari ini?" tanya Leona yang membantu membuka jas suaminya. "Ya begitulah. Cukup melelahkan. Oh ya, Kyra kemana?" tanya Hans. "Tidak tahu," balas Leona seperlunya. Leon yang lelah. Sudah meniti langkah, menuju kamar atas. Ia membuka pintu dan langsung disuguhkan senyuman lebar dari seorang wanita. Leon melirik kepada wanita tersebut. Tidak ada reaksi apapun. Ia masih memberikan Kyra tatapan mata yang sama seperti biasanya. "Siapkan air hangat untukku!" perintah Leon sambil melemparkan jas miliknya dengan sembarangan dan melompat ke atas ranjang, lalu rebahan dalam posisi telentang, sambil memejamkan mata. Kyra keheranan. Ia bahkan kembali menatap wajahnya sendiri dari pantulan cermin, untuk memastikan, bila pulasan wajahnya tidak berantakan. Leon yang kembali membuka kelopak matanya dan masih mendapati Kyra, yang masih berada di posisinya. Ia bangkit dengan cepat dan menatap Kyra, dengan sepasang mata yang tajam. "Apa kamu tidak mendengarku!? Siapkan air!! Kenapa masih berdiri disitu!!!" pekik Leon tak tanggung-tanggung. Kyra melonjak kaget. Ia mengangguk cepat dan terburu-buru pergi ke kamar mandi. "Dasar tidak berguna," ucap Leon sebelum ia kembali merebahkan tubuhnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD