Di rumah, Lila tidak bisa tidur. Dia kepikiran percakapan yang ia tangkap antara Bara dan sepupunya. Setelah Guntur menanyakan perihal tentang Hera, tidak ada jawaban dari Bara.
Sampai kemudian laki-laki itu muncul didepannya dan sepertinya terkejut saat melihatnya berdiri dibalik tembok yang memisahkan lorong dan teras samping.
Lila pun bisa menyimpulkan jika Bara terpaksa dengan perjodohan ini. kalau memang seperti itu, lebih baik perjodohan ini di batalkan saja dari pada menyakiti satu sama lain.
Jika Bara terpaksa menerima perjodohan ini seharusnya mereka harus bicara. Tidak semestinya perjodohan ini di lanjutkan. Meski pada akhirnya akan membuat kecewa banyak orang.
Di sela pekerjaannya, Lila mengirimkan pesan pada Bara untuk mengajaknya bertemu. Lila sudah memutuskan untuk berbicara berdua dengan teman SMA-nya itu.
Tak lama pesan balasan dari Bara tiba. Laki-laki itu bersedia bertemu dengan Lila nanti malam.
***
Bara memandang wanita yang baru keluar dari lift. Wajahnya terlihat lelah namun senyumnya masih tetap tersungging. Senyum yang sedari dulu selalu menghiasi hari-harinya.
"Laper, " Ucap Hera setelah berdiri dihadapan Bara.
"Kamu belum makan? " Tanya Bara.
"Belum. Adik aku baru dateng buat gantiin jaga mama jadinya aku belum makan. "
"Ya udah kita makan. " Balas Bara. "Kamu mau makan apa? "
"Mau yang berkuah. Gimana kalau kita makan rawon. Udah lama kita nggak makan rawon. "
"Oke."
Keduanya berjalan meninggalkan lobby rumah sakit menuju tempat parkir.
"Makasih, ya, udah jemput. " Tutur Hera.
"Sama-sama."
"Kamu yang terbaik, Bara. "
Bara hanya tersenyum.
Didalam sebuah mobil dua orang perempuan sedang memperhatikan Bara dan Hera yang sedang berjalan bersama.
"Aku nggak bisa ngomong apa-apa, La, " Ujar Dian yang duduk di balik kemudi.
Lila hanya diam melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Tadi, ia baru mengirim pesan pada Bara dan sekarang ia sudah melihat laki-laki itu bersama kekasihnya. Menakjubkan.
"Makasih, ya, Yan, buat makan siangnya, " Ucap Lila seraya membuka Save Belt. Dia tidak ingin membahas tentang dua orang yang baru saja mereka lihat.
Jam makan siang tadi Dian mengajaknya keluar untuk makan soto. Bumil ingin di temani makan soto sebab suaminya sedang sibuk.
"La, tunggu. " Tahan Dian.
"Ya? " Lila tidak jadi membuka pintu mobil.
Lila memang terlihat biasa saja tapi Dian tahu sahabatnya itu tidak baik-baik saja.
"Kamu udah bicara sama Bara? "
Lila menggeleng pelan.
"Jujur aku kesel lihat Bara. Bisa-bisanya dia punya pacar tapi mau di jodohin sama kamu. Lihat dia langsung kayak gini bikin aku jadi emosi. Kamu harus tolak perjodohan itu, La. Aku nggak rela kamu diduakan sama dia. Belum nikah aja dia udah kayak gitu. Gimana lagi Kalau udah nikah. "
Lila tahu maksud Dian.
"Kalau hubungan kalian tetap di teruskan nanti ujung-ujungnya kalian akan pisah dan hanya akan menyakiti satu sama lain. " Lanjut Dian.
"Aku akan bicara sama dia. "
"Secepatnya! "
"Iya."
"Diluar sana masih banyak laki-laki baik. Nggak b******k kayak dia. "
"Aku turun dulu. Kamu hati - hati nyetirnya. Jangan emosi. Ingat bayi kamu. "
"Tenang. Aku masih bisa kontrol emosi. "
***
Lila sudah mengirim pesan pada Bara dimana mereka akan bertemu. Dan tidak sampai lima menit pesan Lila sudah di balas.
Sepanjang perjalanan ke cafe tempatnya bertemu dengan Bara. Lila sudah menyusun semua kalimat yang akan ia sampaikan pada lelaki itu. Dia juga harus menyiapkan diri jika kenyataan pahit harus ia Terima. Bahwa Bara memang masih kekasih Hera dan dia menerima perjodohan ini karena permintaan keluarganya.
Lila berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia pasti bisa dan akan baik-baik saja bila memang dirinya tidak berjodoh dengan Bara. Mungkin rasanya akan lebih sakit dari patah hatinya yang terdahulu saat tahu Bara bersama Hera tapi ia pasti bisa melewati semuanya. Pasti bisa.
Sesampainya di cafe. Lila mendapat pesan dari Bara jika lelaki itu akan terlambat datang. Lila membalas akan menunggu sampai Bara datang. Detik, menit, sampai jam berlalu tetapi Bara tidak kunjung datang. Lila memberanikan untuk menelepon. Sayangnya nomer Bara tidak aktif.
Lila pun sudah berpikir yang macam-macam. Dari Bara yang mengalami kendala di jalan, sampai lelaki itu yang sedang bersama kekasihnya. Dan yang menyebalkan pemikiran yang kedua lebih mendominasi pikiran Lila.
Lila memutuskan untuk menunggu Bara setengah jam lagi. Jika laki-laki itu belum menampakkan batang hidungnya, Lila akan pergi. Untuk apa menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lebih baik Lila beristirahat di apartemennya. Mungkin lain kali dia bisa berbicara dengan Bara tentang masalah mereka.
Tiga puluh menit sudah terlewat dan Bara belum juga menampakkan diri. Jika ditanya apakah Lila marah? Tentu saja dia marah. Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Seharusnya Bara menghubunginya atau mengiriminya pesan. Mengatakan tidak bisa datang. Bukan malah membuatnya menunggu seperti orang bodoh.
Lila marah bercampur kesal. Mau bagaimana lagi? Bara memang tidak bisa di percaya ucapannya.
Setelah menandaskan dua gelas minumannya, Lila langsung pulang. Tidak ada gunanya menunggu. Ia pun tidak mengubungi Bara jika ia pulang. Kenapa juga harus bilang? Untuk apa? Sudah cukup dua jam setengah ia menunggu.
Seperti biasa setelah pulang ke apartemen Lila berganti baju, mandi lalu memanaskan makanan yang sudah disiapkan ibunya di kulkas.
Tadinya, ia berpikir bisa sekalian makan malam di cafe tapi nyatanya tidak sesuai dengan rencananya. Sekarang ia benar-benar kelaparan.
Selesai makan Lila membuka ponselnya berharap Bara menghubunginya atau setidaknya mengiriminya pesan singkat. Nyatanya ia terlalu berharap. Tidak ada notifikasi pesan dari siapapun, apalagi Bara.
Lila merutuki pikirannya yang selalu mengarah ke Bara. Seharusnya sekarang ia tenang agar bisa beristirahat. Tetapi dalam hati ia mengkhawatirkan Bara. Takut laki-laki itu kenapa-kenapa. Apalagi ponselnya juga tidak aktif.
Lila mencoba memejamkan mata tapi sayangnya sulit. Meski begitu ia terus berusaha agar tetap bisa tertidur. Sampai akhirnya ia bisa tertidur hingga suara ponsel yang ia taruh diatas nakas berulang-ulang berbunyi. Mengusik ketenangan Lila yang sedang tidur. Dengan mata yang setengah terpejam, Lila meraih ponselnya. Lila tidak tahu siapa yang meneleponnya sebab ia langsung menslide tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Hallo, Lila. " Suara dari seberang telepon seperti suara mamanya. Tapi tumben sekali mamanya menelepon malam hari seperti ini. Ia lalu mengerahkan ponselnya ke depan wajah untuk melihat jam berapa sekarang. Ternyata sekarang sudah jam setengah dua pagi.
"Iya, ma. " Lila sudah memindahkan ponselnya ke telinga. "Ada apa telepon Lila malam-malam? "
"Maaf sayang. Bukannya mama ingin menganggu istirahat kamu. Tapi mama harus sampaikan kabar buat kamu."
"Kabar apa, ma? Papa sama kakek baik-baik aja, kan? "
"Kami semua baik, sayang... Tapi yang nggak baik itu... Kakeknya Bara. "
Mendengar 'kakek Bara' di sebut, mata Lila langsung terbuka sepenuhnya.
"Kakeknya bara kenapa, ma? " Ada rasa khawatir dalam perkataan Lila.
"Kakeknya Bara jatuh dari kamar mandi. "
"Terus keadaannya gimana? "
"Mama nggak tau. Yang jelas sekarang ada di rumah sakit. "
Astaga... Jadi kakek Bara masuk rumah sakit. Pastinya Bara ada di sana. Sesaat rasa penyesalan merambati Lila. Dia merasa tidak enak sudah menuduh lelaki itu yang bukan-bukan. Pantas saja Bara tidak menepati janjinya.