6. Ajakan Makan Siang

1204 Words
Setelah melakukan visit pasien Lila merogoh ponsel yang ada di saku jasnya. Agak terkejut saat melihat pesan dari Bara. Setelah lewat beberapa hari laki-laki itu menghubunginya lagi. "Hai, Lila. Apa kabar?" Lila ingin membalas pesan itu namun pikirannya melarang. Kemungkinan jika ia membalas pesan itu, ceritanya akan sama seperti yang kemarin. Biar saja centang pesannya sudah berganti warna biru yang artinya sudah di baca. Belum juga lima detik terlewat ponsel Lila berdering dan yang tak disangka Bara meneleponnya. Sekarang Lila bingung harus mengangkat telepon itu atau tidak? Merasa tidak enak, Lila pun mengangkat panggilan itu. "Hallo, " Kata Lila. "Hai, apa aku ganggu? " Tanyanya dari seberang telepon. "Enggak, kok. Ada apa? " "Jam makan siang nanti kamu ada acara nggak?" Tentu saja Lila ada acara pada jam makan siang. Dan acaranya adalah makan siang itu sendiri. "Enggak ada. " Lila jujur saja. "Bisa kita makan siang bareng? " Ajakan makan siang dari Bara adalah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan untuk Lila. Dulu ketika masih sekolah Lila pernah berharap Bara akan duduk satu meja kantin dengannya. Saat semua meja kantin sudah penuh. Sekarang seharusnya Lila senang, hatinya berdebar, jingkrak-jingkrak bahkan berteriak saking senangnya karena ajakan Bara. Namun mengingat kemungkinan laki-laki itu mengajaknya makan siang atas suruhan kakek atau ibunya, Lila jadinya biasa saja. Kalau bisa juga ingin menolak tapi tidak enak. "Bisa." Jawab Lila akhirnya. "Nanti aku ke tempat kamu. Kita bisa makan siang di kantin rumah sakit. " "Jangan." Cegah Lila. Makan siang di kantin rumah sakit sama saja dengan membuat gosip baru di tempat kerjanya. Lila tidak ingin menjadi bahan gosip para pegawai rumah sakit. "Kita bisa makan siang di luar. " Tawar Lila. "Kamu saja yang tentukan tempatnya. " "Oh, oke. Nanti aku jemput. " "Nggak usah." Tolak Lila lagi. "Kenapa?" "Nanti kita langsung ketemuan di sana saja." "Padahal aku nggak keberatan kalau jemput kamu. " Canda Bara. Tapi Lila tidak mau merepotkan. "Nanti kamu kabari tempatnya dimana. " "Oke." Jam makan siang Lila pergi ke salah satu hotel yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Di coffee shop hotel itu Bara sudah menunggunya di salah satu meja. Laki-laki itu mengangkat sebelah tangannya saat melihat Lila masuk. Memberi tanda pada teman SMA-nya itu atas keberadaannya. "Maaf aku terlambat, " Ucap Lila setelah duduk didepan Bara. "Nggak apa-apa, " Jawab Bara. Melihat Bara dengan jarak sedekat ini membuat Lila tidak bisa menampik jika laki-laki itu sangat tampan. Ingin sekali Lila memukul kepalanya yang berpikir seperti itu. "Kamu sudah lama? " Lila berusaha terlihat normal. "Enggak. Aku juga baru datang." Seorang waiters menghampiri meja mereka dan memberikan buku menu. "Mau pesan apa? " Tanya Bara sambil melihat buku menu. Lila juga lebih fokus dengan buku menu. "Aku pesan nasi goreng seafood sama lemon tea. Kalau kamu pesan apa? " "Steak, mineral water, and coffee. " Pelayan laki-laki itu mengerti lalu beranjak pergi setelah mencatat pesanan mereka. Hening menyergap keduanya setelah pelayan itu pergi. Lila dan Bara sendiri bingung harus bicara apa? "Kamu apa kabar? " Bara yang memecah kebekuan. "Baik. Kamu sendiri? " "Aku baik. Udah lama, ya, kita nggak ketemu. Dan sekalinya ketemu ternyata kita di jodohin. " Mendengar itu Lila tersenyum kemudian berkata, " Kadang dunia suka bercanda. " Seperti mempertemukan kita dalam perjodohan tapi kamu masih bersama orang yang sama. Lanjut Lila dalam hati. Bara tertawa. Menimbulkan cekungan di pipi yang membuatnya terlihat lebih manis. "Iya, kamu bener. Dunia memang kadang suka bercanda. "Kamu pasti sibuk banget jadi dokter? " "Ya, begitulah. Jam kerjanya juga bikin bercanda. " Lelaki itu tertawa lagi. Padahal Lila merasa tidak ada yang lucu. Atau jangan-jangan tawa lelaki itu juga palsu? Astaga... Kenapa pikirannya selalu buruk pada Bara. "Aku pikir kamu nggak bisa bercanda. Padahal dulu kamu pendiam banget. Kita dulu sering sekelas tapi sekalipun nggak pernah tegur sapa. " Lila tersenyum kecil. Salah. Lebih tepatnya tersenyum miris. Siapa juga yang mau mengobrol dengannya apalagi berteman? Gadis kuper, pendiam, penghuni pojokan kelas, serta Perpustakaan. Bara pastinya tidak berniat menyapa apalagi mengobrol dengan gadis seperti itu. "Dulu pas SMA kamu selalu sama teman kamu. Siapa, ya, namanya? Aku lupa." Ada sedikit rasa lega saat tahu Bara masih mengingatnya, bahkan sahabatnya. Namun Lila tidak mau berbesar kepala apalagi baper gara-gara lelaki itu mengingatnya. Tentu saja Bara mengingat Dian sebab saat kelas X-XI mereka satu kelas. "Dian, " Jawab Lila. "Ya, namanya Dian. Dulu kalian dekat dan sama-sama terus." "Iya." Lila dan Dian sudah berteman sejak SD. Hanya saja waktu SMP mereka beda sekolah. "Sampai sekarang kalian masih temenan? " "Masih." "Dia masih tinggal di jakarta? Maksud aku mungkin sekarang dia tinggal di luar kota. " "Dia tinggal di jakarta. Sudah menikah dan sekarang sedang hamil. " Bara tersenyum lalu menelengkan kepalanya. "Kamu tau, La, tadi itu kalimat terpanjang yang kamu ucapin setelah pertemuan kita yang pertama." Sekarang jantung Lila berdegup tidak normal dan dia benci akan hal itu. Dia tidak boleh baper pada laki-laki yang ada di hadapannya. Dia harus ingat jika lelaki itu masih bersama wanita lain. Mencintai laki-laki yang masih bersama wanita lain hanya akan menyakiti diri sendiri. Lila bersyukur pelayan datang membawa pesanan mereka. Setidaknya sekarang ia mempunyai kegiatan mengisi perut tanpa harus terus mengobrol dengan lelaki itu. Sepanjang makan siang Bara yang lebih dominan mengajak Lila mengobrol. Sedangkan Lila hanya menjawab seadanya. "Hai, bro. " Sapa seorang laki-laki pada Bara. "Eh, disini juga? " Tanya Bara pada laki-laki berkulit coklat itu. "Iya. Habis meeting diatas. Siapa, nih? " Pandangan laki-laki itu tertuju pada Lila. "Boleh duduk nggak, nih? " "Silakan." Lila yang mempersilahkan. Tidak enak rasanya menolak orang yang ingin duduk satu meja dengan kita. "Terima kasih. " Setelah di persilahkan laki-laki itu duduk di salah satu kursi kosong yang ada di meja mereka. "Siapa, nih, Bara? Kenalin, dong. " Pinta Gama. "Ah, kelamaan, mending kenalan sendiri. Hai, kenalin aku Gama. Temannya Bara. " Gama tak lupa menyodorkan tangannya. "Lila, " Jawab Lila sambil membalas uluran tangan laki-laki bernama Gama itu. "Aku baru tau kalau Bara punya temen cewek secantik kamu. Sudah punya pacar? Kalau belum aku masih single. " "Hah? " Seumur hidup baru pertama kali ini Lila bertemu laki-laki seperti Gama. "Jangan godain dia, Gam. " Tegur Bara. "Wow... Kamu tau Lila. Ini pertama kalinya Bara ngelarang aku godain teman ceweknya. Biasanya dia nggak masalah. Iya, kan, Bar? " "Lebih baik kamu kamu ambil meja lain atau pergi saja. " Usir Bara. Gama hanya tertawa. Senang menganggu sahabatnya. Dia juga penasaran dengan wanita yang bersama Bara. Ini pertama kalinya Gama melihatnya. Ponsel Lila berdering. Dengan cepat ia mengangkatnya sebab telepon itu dari rumah sakit yang mengharuskannya segera kembali ke tempat kerjanya meski jam makan siang belum usai. "Maaf sebelumnya tapi aku harus pergi duluan. " Pamit Lila. "Kenapa buru-buru? " Tanya Gama. "Iya, nggak apa-apa. Terima kasih udah dateng kesini. Mungkin lain kali kita bisa makan siang lagi. " Mendengar itu Lila hanya tersenyum. Padahal dalam hati ia berharap tidak akan ada lagi pertemuan atau ajakan makan selanjutnya. "Aku duluan. Terima kasih atas makan siangnya. " "Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan." Lila mengangguk kemudian pergi meninggalkan kedua laki-laki itu. "Dia, kan, orangnya?" Pertanyaan Gama membuat Bara menoleh pada sahabatnya. "Apa? " "Wanita yang di jodohin sama kamu. Dia, kan, orangnya?" "Iya." "Dia cantik. Kalau kamu nggak mau dia bisa buat aku. "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD