Flashback On
"Disini memang tempat yang paling aman untuk lihatin dia, " Ucap Dian yang berdiri di sebelah Lila.
Kedua gadis itu berdiri di belakang pagar pembatas di lantai dua. Tepatnya didepan ruang perpustakaan.
"Aku habis dari perpustakaan, Yan. Terus berdiri disini." Elak Lila.
"Terserah, deh. Yang nggak mau ngaku. " Dian terkekeh. "Kebanyakan cewek di sekolah ini juga naksir sama dia. Itu wajar, kok. Dia emang ganteng, pinter, ramah, anggota tim sepak bola yang paling bening diantara yang kusem-kusem. "
Lila tidak bisa menahan tawanya saat mendengar hal itu. Dian memang agak ceplas-ceplos dan hal itu kadang-kadang membuat orang-orang agak sebal terhadapnya.
Pandangan Lila kemudian beralih ke lapangan bola. Di Sana ada Bara yang sedang mengocek bola. Cowok baik, pintar, ramah, yang menjadi idola cewek-cewek di sekolahnya.
Waktu SMP Lila dan Bara satu sekolah. Dari kelas VII sampai kelas IX mereka selalu sekelas. Dulu mereka saling mengenal karena selalu sering satu kelas. Dan di akhir masa kelas kelas IX, tidak tahu sejak kapan perasaan suka pada Bara itu muncul.
"Tapi kayaknya cewek-cewek yang ngefans sama Bara bakal patah hati, deh. "
Mendengar itu Lila langsung mengalihkan pandangannya dari lapangan kearah sahabatnya.
"Kamu belum tau? " Dian berujar lagi.
Lila menggeleng. Dia memang tidak tahu apa-apa. Kabar bahkan gosip hot yang beredar di sekolah ini dia tidak tahu. Biasanya Dian yang selalu memberitahunya.
"Aku denger kabar kalau Bara udah jadian sama Hera. "
Mendengar hal itu rasanya ada nyeri yang terasa namun Lila berusaha bersikap biasa. Meski ada yang terasa nyeri, dia tidak harus menangis sampai galau berhari-hari. Yang ia tahu, dia hanya menyukai Bara. Meski ada pengharapan Bara melihatnya. Tapi itu tidak mungkin. Memangnya dia siapa yang harus di perhatikan Bara. Lila hanya gadis kuper penghuni perpustakaan. Dia bukan Hera yang cantik, populer, ceria, yang banyak penggemarnya.
"Jangan galau, ya. Apalagi nangis-nangis di rumah nggak jelas. " Canda Dian.
"Ya, nggak, lah. Itu pasti kamu. Aneh-aneh aja. Makan bakso, yuk. " Lila mencoba mengalihkan pembicaraan. Tidak mau membahasnya lagi.
"Yuk."
Kedua gadis itu berjalan beriringan menuju kantin sekolah.
Flashback Off
Lila baru keluar dari lift rumah sakit. Rasanya senang saat bisa pulang. Namun didepan lift ia bertemu wanita cantik yang mengenalinya.
"Lila, kan? " Tanya Hera memastikan. "Lila teman SMA. "
Lila mengangguk pelan seraya tersenyum. "Hera, kan? "
Tentu saja Lila mengingat Hera. Tapi agak kaget juga wanita itu masih mengingatnya. Mereka tidak pernah satu kelas dan tidak pernah bersinggungan. Berbeda dengan Bara yang sudah ia kenal sejak SMP dan mereka juga satu SMA.
"Iya, aku Hera. Aku pikir kamu lupa sama aku. "
Mana mungkin Lila melupakan gadis cantik nan populer di sekolah.
"Aku nggak lupa. " Balasnya. "Siapa yang sakit? "
"Aku kerja disini, " Jawab Lila. Di rumah sakit ini Lila adalah dokter residen.
"Oh, jadi kamu dokter disini?"
Lila mengangguk.
"Maaf, ya, aku nggak tau. Aku pikir kamu di rumah sakit ini karena ada keluarga kamu yang sakit. "
Lila hanya tersenyum. "Ada keluarga kamu yang sakit? " Lila balik bertanya.
"Iya. Mama aku sakit. "
"Sakit apa kalau boleh tau? "
"Paru-paru."
Mereka mengobrol beberapa saat. Sebagai teman lama meski tidak akrab berbasa basi tetap di perlukan.
"Lila." Panggil sebuah suara.
Lila yang tadinya berniat membuka pintu mobilnya langsung menoleh saat mendengar namanya di panggil. Lila tidak menyangka jika yang memanggilnya adalah Bara.
Laki-laki itu kini berjalan kearahnya dengan senyum yang... Mempesona kaum Termasuk Lila. Tapi Lila berusaha bersikap biasa.
Lila tidak tahu apa yang di lakukan teman SMA-nya itu disini. Tidak mungkin juga Bara mencarinya, menghampirinya kesini atau bahkan menjemputnya. Ingin sekali Lila menertawakan pemikirannya sendiri. Dirinya terlalu berharap.
Mereka memang di jodohkan tapi bisa saja Bara menolak. Lila pun masih teringat jika laki-laki itu masih berhubungan dengan Hera. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga, perusak hubungan orang lain.
Sial. Lila lupa. Merasa bodoh juga sampai tidak tahu kenapa laki-laki itu ada di sana. Tentu saja Bara ada di sana karena ibu kekasihnya di rawat di rumah sakit ini.
" Hai. " Sapanya.
"Hai." Balas Lila.
"Mau pulang? "
"Iya."
Seharusnya Lila ikut berbasa basi dengan menanyakan keberadaan Bara disini. Namun pikirannya melarang. Buat apa bertanya. Alasannya sudah jelas.
Ponsel Lila berbunyi. Tampak nama Dian di layar ponselnya. Sejak kemarin sahabatnya itu sudah merecokinya untuk datang ke rumahnya setelah pulang kerja. Dia ingin di temani karena suaminya dinas ke luar kota. Seharusnya mereka juga mengajak Mimi tetapi sahabat mereka yang satu itu sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya.
Setelah bercakap-cakap di telepon, Lila mengakhiri panggilan itu.
"Aku duluan, ya. " Pamit Lila. Sebenarnya dia juga tidak mau bertemu dengan Bara.
"Oh."
Lila kemudian masuk begitu saja kedalam mobil. Bara hanya bisa melihat mobil yang di tumpangi wanita itu mulai menjauh.
***
"Jadi gimana orangnya? Cakep, ganteng, tampan, tinggi, atau B aja." Sebenarnya Dian hanya bercanda dengan sahabatnya tapi Jujur ia juga penasaran bagaimana tampang laki-laki yang di jodohkan dengan Lila.
Lila masih sibuk menyantap soto yang di hidangkan Dian sebagai menu makan malam mereka.
Lila meletakkan sendok dan garpu di mangkuknya yang sudah kosong. Di lanjutkan dengan minum air putih.
"Aku yakin kalau aku bilang ini, kamu nggak akan percaya. "
"Memangnya kenapa? Apa orangnya begitu jelek sampai kamu kamu nggak mau. " Kikik Dian.
"Bukan masalah itu. "
"Lah terusssss... "
"Ini seperti mimpi dan harapan yang menjadi nyata."
" Maksudnya? " Bagi Dian sedari tadi Lila itu hanya berputar-putar yang tidak jelas. Yang mana membuatnya semakin pusing.
"Orang yang dijodohin sama aku itu... Bara. " Jelas Lila
"Oh, namanya Bara. " Namun sesaat kemudian Dian merasa ada yang aneh. "Namanya Bara? " Ulangnya.
Lila mengangguk.
"Kok namanya sama dengan Bara yang kamu taksir. " Canda Dian. "Kayaknya nama Bara cocok banget di sandingin sama nama kamu. Lila and Bara."
"Dan mereka adalah orang yang sama. " Jelas Lila.
"Sama maksudnya?" Dian tidak mengerti.
"Ya, dia itu Bara. Albara Murtopo. Teman SMA kita dan kamu tahu pasti tau dia."
Dian terlihat syok. "OMG... Jadi orangnya itu Bara. Seriusan?"
Lila hanya mengangguk.
"Sumpah, nggak nyangka banget. Tapi bukannya ini bagus? Akhirnya kamu bisa bersama dengan orang kamu suka."
Mungkin, kalau dulu dirinya masih sekolah hal ini sangat membahagiakan bisa di jodohkan dengan laki-laki yang ia suka tapi untuk sekarang?
Jawabannya tentu tidak. Lila tidak ingin menjadi orang ketiga yang menghancurkan hubungan orang lain. Belum tentu juga Bara menyukainya.
"Tapi aku bingung, Yan."
"Kenapa? Seharusnya kamu senang di jodohin sama Bara tanpa harus ngejar-ngejar dia."
Lila memilih diam. Ada rasa enggan untuk jujur pada sahabatnya.