15. I'm Willing to be a Coward to Protect You.

1854 Words
“HELP … PLEASE ….” Selena hanya bisa berteriak dan menangis. “Aku makin suka saat kau berteriak,” bisik Darren. Pria itu bergegas melucuti celananya dengan satu tangannya. Darren benar-benar begitu antusias. Dia bahkan tertawa berat sekarang. “Now, you’re mine,” gumam pria itu. Dia bersiap melecehkan Selena lebih jauh, akan tetapi sebelum semuanya terjadi terdengar seseorang berusaha mendobrak pintu dari luar. BRAK Bunyi tersebut menyertai daun pintu yang terlempar hampir ke arah Darren membuat pria bermata biru itu tersentak. Ditatapnya si pria berbalut jaket kulit berwarna hitam. Tatapan Darren makin naik. Kini mematri wajah tegas si pria yang baru saja mengacaukan momennya. Kening Darren mengerut. “Jo?” gumam pria itu. Embusan napas panjang dari Jonathan menggema dan terdengar hingga ke rungu Darren. Terlihat rahang pria itu mengencang sekencang tangannya yang telah mengepal pada kedua sisi tubuhnya. Pria Indonesia itu masih mematung di tempatnya. Hingga bola matanya bergerak ke arah si gadis yang masih dalam kungkungan Darren. Tampak Jonathan menghela napasnya dalam-dalam lalu dia berjalan menghampiri Darren. “Apa yang kau lakukan di sini, Jo?” Pertanyaan itu masih terucap tepat saat Jonathan tiba di samping Darren. Wajah Jonathan tampak merah padam menahan buncahan emosi yang kini menggedor-gedor alam bawah sadar hingga ke otaknya. Serasa Jonathan ingin menghajar Darren dengan kepalan tangannya yang telah terbentuk sejak ia mengambil langkah dan begitu gamang mencari keberadaan Selena. Sekarang, di depan mata Jonathan, ia kembali mendapati sahabatnya itu melecehkan seorang wanita. Ingin sekali dia mencabik daging pria itu sekarang juga. Jika saja dia bisa. “Hahhh ….” Namun, Jonathan hanya bisa mendesah dan menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan kepalan tangannya mulai melonggar. Tangisan Selena masih menggema di rungunya sampai saat ini dan semua itu makin membuat darah Jonathan mendidih, akan tetapi ia hanya seorang pengecut yang sialan terlalu tak bisa mengayunkan tangannya untuk menghajar Darren. Jonathan kembali mengangkat wajahnya. Terdengar kertakan gigi dari pria itu sebelum akhirnya satu tangannya mulai terangkat lalu mendarat tepat di atas pundak Darren. “Lepaskan dia, Dar,” kata Jonathan. Nada bicaranya terdengar datar. Dingin dan sinis. “No!” Darren menggelengkan kepalanya. Jonathan mendesah. Ketika mulutnya kembali terkatup, rahang pria itu lagi-lagi mengencang. “Please,” desis Jonathan. “Jo-“ “DARREN, PLEASE!” hardik Jonathan dengan suara lantang membuat Darren terdiam. “Untuk kali ini saja, dengarkan aku. Kau sudah sangat keterlaluan, Darren. Aku hampir ….” Jo tak bisa melanjutkan kalimatnya. Tampak bibir pria itu bergetar. Ia merasa sangat sialan pengecut. Lagi-lagi ia tak bisa menunjukan taringnya di depan seseorang yang memegang kendali penuh hidup keluarganya. Dan betapa sialan juga mengapa harus Selena yang dilecehkan dan sekarang gadis itu sedang menangis mengiba-iba sementara Jonathan tak bisa melakukan apa pun. Bahkan dengan sangat sialan dia tak bisa menahan air matanya. “Please.” Dan suara Jonathan terdengar begitu lirih. “Jangan lakukan itu, Darren. Kau sahabatku dan Selena temanku.” “What?” Darren berucap dengan nada pelan. Dia kembali menatap si gadis yang masih dalam kendalinya. Darren mengerutkan dahinya. Dengan cepat dia kembali memutar pandangannya pada Jonathan. “Kau bilang apa?” Pria Indonesia itu mengangkat pandangannya. Ia membawa satu tangannya menyeka air mata. Jonathan kembali mendesah. Dia menganggukkan kepalanya lambat-lambat. “Ya, Darren. Selena temanku dan dia berasal dari Indonesia. Haruskah kau melakukan ini padaku?” “BULLSHIT” pekik Darren. Dengan mata berkaca-kaca, Jonathan pun menatap Darren. “Darren, aku bersumpah, andai saja kau Aaron atau Seo Joon, aku tak akan pernah ragu untuk melayangkan pukulan. Hanya saja kau seorang Darren dan kau sahabatku. Maka yang bisa kulakukan hanyalah ….” Ada jeda pada ucapan Jonathan saat pria itu memilih untuk menjatuhkan tubuhnya. Kedua lutut menabrak lantai dengan kasar. Sebulir air bening kembali jatuh di antara pelupuk matanya. Pria itu masih mematri tatapannya pada Darren. “Jo, apa yang ….” “Kumohon, jangan lakukan itu pada gadis ini, Darren,” lirih Jonathan. Pria itu menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Membiarkan air mata terus mendesak keluar membasahi wajahnya. Satu sisi dalam diri Jonathan berteriak. Bagaimana dia bisa begitu gampangnya memperlihatkan ketidakberdayaannya, memperlihatkan betapa dia begitu pengecut dan betapa dia benar-benar tak punya keberanian. Dan sangat sialnya dia melakukan semua itu di depan seorang gadis yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. Apa hanya karena dia seorang gadis yang punya darah Indonesia? Harusnya Jonathan memperlihatkan kekuatannya, akan tetapi ia terjebak. Ya. Pria itu tak bisa berbuat apa-apa selain berlutut dan memohon belas kasih dari seseorang yang seratus kali lebih kuat darinya. “Kumohon Darren, kasihanilah aku.” Dan dia mulai tak peduli dengan semua harga diri. Lelaki itu membuang harga dirinya untuk menyelamatkan si gadis Indonesia. Oh demi Tuhan, rasanya menyesakan. Selena yang melihat apa yang tengah dilakukan Jonathan malah semakin kuat menangis. Betapa sakitnya melihat pemandangan ini. Seorang pria tengah memohon agar dirinya diselamatkan. Mengapa? Haruskah Selena selemah ini? Gadis Indonesia itu hanya bisa menangisi situasi dan juga apa yang telah ia alami barusan. Sementara itu, Darren berdecak kesal. Jika saja yang sedang berlutut itu adalah Aaron atau Seo Joon, demi Tuhan, Darren akan langsung menendang mereka. Hanya saja, dia adalah Jonathan. Darren ingat betul jika dirinya berhutang nyawa pada pria itu. Maka yang bisa dilakukan Darren hanyalah menggeram. “ARRRGGGHHH!” Darren menarik dirinya dari dengan kasar lalu mendorong tubuh Selena. Gadis itu kembali menangis. Hampir saja Selena terjatuh, tapi dia bersyukur tangannya bergerak dengan cepat meraih kursi di dekat loker. “FU’CK!” teriak Darren. Melihat dirinya telah terlepas dari cengkraman Darren, membuat Selena berniat untuk membalas perbuatan Darren. Selena menghela napas. Wanita muda itu menyeka air matanya dengan kasar lalu kembali membawa kedua tangan pada sandaran kursi yang tadi menjadi tempat berpegangnya. Dengan cepat Selena berbalik dan melayangkan kursi tersebut ke arah Darren. BRAK Kursi itu mendarat tepat pada seseorang. Namun, Selena malah membulatkan matanya. Bukan hanya gadis itu, Darren juga ikut membulatkan mata. “J- Jo?” Darren menggagap. Sementara si gadis yang barusan melayangkan kursi besi itu, kini sedang membungkam mulutnya dengan tangan yang bergetar. Jonathan mengembuskan napas panjangnya. Tatapannya tertuju pada sepasang manik biru yang berdiri tepat di depannya. Sementara rahang pria itu juga mengencang menahan rasa sakit yang luar biasa di punggungnya. Perlahan, Jonathan mulai menggerakan wajahnya. Ekor matanya memantau si gadis yang tampak tercengang dan sekarang menyandarkan tubuhnya di loker. Jonathan kembali memutar pandangannya kepada Darren. “Jo, kenapa-“ Jonathan tak menjawab dan tak mau menggubrish ucapan Darren. Dia lebih memilih untuk memutar tubuhnya. “Pukul aku, kalau perlu bunuh aku. Maafkan aku, tapi aku tak bisa membiarkan kau melukai Darren,” ucap Jonathan. Selena menggelengkan kepalanya. Matanya membulat dengan pandangan nanar. Gadis itu menatap si pria bodoh yang dengan relanya menahan serangan yang diarahkan Selena. Membiarkan kursi tersebut mendarat dipunggungnya hanya untuk melindungi seorang b******n dalam balutan pakaian mewah. Jonathan menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Jika kau ingin melukai Darren, maka kau harus membunuhku lebih dulu agar aku tak bisa melindunginya.” Selena menjerit. Air mata dengan derasnya membasahi wajah cantik itu. Selena membiarkan tubuhnya beringsut hingga ke lantai. Ia memeluk kedua lutut. Betapa ironinya kejadian yang menimpanya. Bagaimana ia sangat sialan tidak berdaya dan sejak tadi hanya bisa menangis. Dan bagaimana dia tidak bisa membalas perbuatan Darren hanya karena seorang pria memposisikan dirinya sebagai tameng dari b******n bernama Darren itu. Sama halnya dengan Selena, Jonathan juga merasakan tekanan yang teramat menyakitkan. Ia hanya bisa menggigit bibir dalamnya. Mendongakan wajah agar supaya Selena tak melihat buliran air mata yang kembali jatuh. Jonathan kembali mengepalkan kedua tangannya. “Sialan, Jo. Aku benar-benar tidak mengerti denganmu!” ucap Darren. Jonathan memutar tubuhnya. Kali ini dia memberikan tatapan dingin kepada Darren. “Kau tidak perlu mengerti aku, Dar. Sekarang ayo kita pergi,” ucap Jonathan. Pria Indonesia itu kembali melonggarkan kepalan tangannya kemudian meraih tangan Darren. Jonathan menyeret Darren. Namun, sebelum dia keluar, Jonathan menghentikan langkahnya tepat di samping Selena. Pria itu menundukan kepalanya. “Maafkan aku Selena,” ucap Jonathan. Dengan begitu dia meneruskan langkahnya membawa pergi Darren dari tempat tersebut. “AARRRRRRGHHHHH!” Jonathan menutup matanya saat mendengar teriakan Selena. Sekali lagi dia melepaskan desahan kekecewaannya dari mulut. Batin Jonathan tiada henti merutuki pria itu. Namun, sebagian dirinya juga memberikan pengertian, jika hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan Selena. Dan ia juga tak memungkiri jika mungkin setelah ini dia tak akan bisa melihat Selena lagi. “Jo!” bentak Darren. “Diamlah,” desis Jonathan. Darren berdecak kesal. “Kau harus jelaskan perbuatanmu, Jonathan.” Jonathan menghentikan langkahnya. Pria itu menatap Darren lewat sudut matanya. “Ini yang terakhir kalinya, Darren,” ucap Jonathan. Darren bisa merasakan aura Jonathan yang berubah. Seperti seekor singa yang tengah menahan diri untuk tidak menerkam mangsanya. “Aku tidak bisa mentolerir apabila ini terjadi lagi.” Lanjut Jo. Darren terdiam. Keberaniannya selalu bisa terkalahkan oleh perkataan Jonathan. Sekali lagi Jonathan menghadang bahaya yang datang ke arahnya. Dan sekali lagi Jonathan membuat Darren berhutang nyawa padanya. “Demi Tuhan, Jo, mengapa kau selalu seperti ini, hah?!” Jonathan melepaskan tangan Darren lalu mendengkus. Ia mengusap wajanya dengan kasar. Sementara Darren mengambil langkah. Dia berdiri di depan Jonathan dengan wajah gusar. “Mengapa kau selalu bertindak sebagai malaikat, hah? Hei, Jo! Dia hanya seorang gadis,” kata Darren sambil mengangkat tangan. Mengacungkan telunjuknya menunjuk ke belakang punggung Jonathan. “Persetan jika dia orang Indonesia, tapi kau tak seharusnya melakukan semua itu, Jo. Sialan! Kau berlutut padaku hanya untuk seorang gadis?!” tanya Darren dengan nada tinggi. “Apa dia pacarmu?” Sambil mendesis, Jonathan kembali mengepalkan tangannya. Pria itu mengangkat wajahnya lambat-lambat. Terlihat kelopak matanya mengecil dengan tatapan tajam yang ia arahkan pada Darren. “Darren, kau tidak tahu betapa senangnya aku bertemu dengan seseorang yang berasal dari negaraku dan aku sangat terkejut saat mendengar jika kalian merencakan sesuatu untuknya. Kau pikir aku akan tenang?” Jonathan menggelengkan kepalanya. “Seandainya bisa, aku ingin menghentikan kalian, tapi apa aku punya kekuatan untuk melakukan semua itu?” Pria itu kembali menggeleng. Darren mendesah kasar. Dia membawa tangan kanan meremas dahinya. Darren menggeram. Sedetik kemudian ia memutar tubuh. Lelaki McKenzie itu berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat tersebut. Sementara Jonathan hanya bisa mendesah. Lelaki itu menoleh ke belakang. Ingin sekali dia melangkah menghampiri tempat di mana ada Selena di sana, akan tetapi apa yang telah ia lakukan membuatnya tak punya nyali untuk menatap wajah Selana. “Arrrggggghhh!” Jonathan menggaruk kepalanya dengan kasar untuk melampiaskan rasa frustasinya.”FU’CK!” Dan sekarang diam memaki. Jonathan mengentakkan napasnya dengan kasar. Sambil mengepalkan kedua tangan, ia pun melangkah meninggalkan tempat tersebut. Tanpa mereka sadari, ada dua orang yang sejak tadi mengawasi mereka di salah satu ruangan yang tak jauh dari pantry. “Apa kubilang, aku sudah sangat yakin kalau Darren akan gagal malam ini.” “Baguslah. Kalau begitu selanjutnya giliranku, ‘kan?” Salah satu dari mereka menyeringai. “Aku tahu kau yang paling licik di sini.” “Terserah. Yang jelas aku tak sebejat Darren.” “Kalau begitu buktikan padaku.” “Aku tak perlu pembuktian. Dia pasti akan luluh padaku.” “Well … i can’t wait to see your enthusiasm. Don’t disappoint me, Asian!” “I’ll do my best.” Pria Asia itu menutup kalimatnya dengan seringaian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD