18. One of The Devil Man

1719 Words
“Lo yakin gak mau istirahat dulu?” tanya Kirana. Sambil memegang cangkir porselan dengan tangan kirinya, gadis itu membawa tangan kanannya mengelus rambut Selena. Dia bahkan dengan begitu baik hati membuatkan sarapan untuk sahabatnya itu. Selena mengulum bibir membentuk senyum simpul. “Aku gak apa-apa kok,” kata gadis itu. Kirana mendesah lalu duduk di samping Selena. “Ah, sialan! Kenapa juga kelas gue harus siang sih hari ini!” gerutu gadis itu. Kirana kembali berdecak kesal. Selena memutar tubuhnya menghadap Kirana. “Udahlah … aku gak apa-apa, beneran deh. Lagian mau sampai kapan menangis? Bersedih terus menerus gak akan merubah apa pun,” ucap Selena. Dia menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Aku juga sudah mencoba untuk menerima semuanya dengan iklhas.” Lanjut gadis itu. Ucapan Selena kembali membuat emosi Kirana mencuat. Embusan napas kasar beserta mimik wajah yang berubah kesal, sanggup menggambarkan seberapa geramnya gadis itu saat ini. “Len-“ “Ra!” sergah Selena dengan cepat. Dia berdecak bibir. Namun, dengan cepat gadis itu mengubah ekspresi wajahnya dengan memasang wajah memelas. “Please, I begging you.” Kirana mendelikkan matanya ke atas kemudian memutar tubuhnya. Menggenggam gelas porselan dengan kedua tangan dan gadis itu kembali mendengkus. “I will be okay. I promise to you,” ucap Selena. Dia menghabiskan sandwich yang dibuat oleh sahabatnya. Selena berdiri. Mengambil ransel lalu menghampiri Kirana. Gadis itu memeluk tubuh sahabatnya dari samping. “Udah. Gak usah khawatir. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bukan Selena yang berumur tiga belas tahun dan gak bisa apa-apa. Ayolah. Umurku sembilan belas tahun dan aku bisa menjaga diriku. Lagian hari ini jadwal kamu beberes, ‘kan?” Kirana kembali mendengkus. “Iya. Gue tau!” sahut gadis itu sambil memberikan tatapan sinis pada Selena. “Oh ya, yang punya handuk itu beneran orang Indo?” tanya Kirana penasaran. Selena mendesah. “Iya. Kan gue udah cerita semalem.” Bibir Kirana mengerucut tampak menilai. “Hemm … terus dia di mana?” tanya Kirana. “Aku gak tahu, Ra. Aku pergi dulu ya, takut terlambat. Sampai ketemu di kampus,” ucap Selena. Kirana akhirnya membuka satu tangannya memeluk Selena. “Hati-hati di jalan ya, Len. Gue beneran gak tenang nih.” “Iya, iya. Kalo udah sampe kampus aku kirim SMS, ya,” ucap Selena. Kirana mengangguk menyetujui. “Aku pergi dulu. Beberes yang bener.” “Iya … bawel!” Selena tersenyum. Dia memberikan kecupan di puncak kepala Kirana kemudian memutar lutut bersiap meninggalkan apartemen mereka. “Fyuhhh ….” Selena mengembuskan napas panjang ketika tangannya menarik gagang untuk menutup pintu apartemen. Jika boleh jujur, sebenarnya Selena masih sangat lemah. Bahkan pagi ini, ketika dia bangun dan mandi, Selena sempat menangis. Bayangan tentang seorang pria yang melecehkannya menghantui pikiran gadis itu. Sesungguhnya dia sangat tidak sanggup menjalani semua ini. Namun, kembali lagi. Ada beban besar yang dipikul Selena dan itu memaksanya untuk bisa mengesampingkan rasa sakit yang dia alami. ‘Demi ayah dan demi bunda. Aku gak boleh egois,’ gumam Selena dalam hati. Dia membawa punggung tangannya mengusap air mata yang hampir jatuh ke pipinya. Selena menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya. ‘Aku pasti bisa. Ini hanya ujian kecil. Selena kuat. Selena sanggup melewati semua ini. Selena harus kuat,’ batinnya lagi. “Ya. I must be strong,” gumam Selena. Dia kembali membuka matanya. Embusan napas panjang menggiring gadis itu untuk mulai mengambil langkah. Berjalan sambil mensugesti dirinya sendiri bahwa dia akan baik-baik saja. Selena selalu yakin pada pepatah yang ia pegang sejak kecil. ‘Hati yang gembira adalah obat.’ Seberapa pun sakitnya dia, asalkan Selena bisa tersenyum, pasti sakitnya akan hilang dengan sendirinya. Untuk itulah Selena memaksa untuk menarik sudut bibirnya membentuk senyum dan membujuk hatinya untuk bisa menerima semua yang telah terjadi. Sambil terus memasang senyum untuk menjaga suasana hati, Selena pun melangkah menuju bus yang barusan berhenti di depannya. Hanya tiga puluh menit perjalanan, dan bus berhenti di depan sebuah gedung universitas. Setelah membayar ongkos, Selena pun berjalan menuju kampusnya. Langkah kakinya terus membawa gadis itu hingga ke sebuah aula di mana di sanalah ruang belajarnya. “Hai, Selena.” Seorang gadis Afro-Amerika menyapa Selena. Senyum di wajah gadis Indonesia itu makin melebar. “Hai, Patricia.” Selena mengambil tempat duduk di samping gadis bernama Patricia tersebut. “Selena, kau terlihat pucat. Apa kau sakit?” tanya Patricia. Selena memberengut. Dia langsung membawa kedua tangan memegang pipinya. “Oh ya?” tanya Selena. “Hem,” sahut Patricia. Wanita itu menoleh ke samping untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Lihat ini,” kata Patricia lagi sambil mengarahkan cermin kecil ke wajah Selena. Sambil memegang pipinya dengan kedua tangan, Selena mengarahkan pandangan pada cermin di depannya. Gadis itu menggerakan wajahnya. “Oh iya. Kau benar, Patricia.” “Apa tidak sebaiknya kau ke klinik?” tanya Patricia. Selena menurunkan kedua tangan lalu kembali memberikan senyum ramah. “Tidak apa-apa. Aku sangat sehat. Itu karena aku lupa touch up.” Patricia membulatkan mulutnya. Wanita itu kembali merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Ini,” kata gadis itu lagi. Dia memberikan sebuah pouch berisi peralatan make up. “Oh … terima kasih, Patricia. Apa aku benar-benar boleh memakainya?” Patricia tersenyum. “Tentu,” ucap Patricia sembari menganggukan kepalanya. “Pakai sesuka hatimu.” Lanjut gadis itu. “Thank’s a lot, Patricia.” “No worries,” balas Patricia. Selena hanya membutuhkan lima menit untuk memoles wajahnya dengan make up. Dia kembali menyerahkan peralatan make up milik Patricia kemudian berucap terima kasih. Tak berselang lama, seorang pria pertengahan empat puluh, muncul dari pintu depan dan langsung menuju ke panggung. Selena beserta seluruh mahasiswa yang berada di aula langsung memperbaiki duduk mereka. “Okay, let we start. Hari ini kita akan membahas tentang Hubungan Ekonomi Internasional. Oke, sebelumnya aku ingin bertanya.” Tampak seluruh mahasiswa menghela napas. Inilah bagian paling menegangkan saat kelas dimulai, di mana para dosen akan bertanya sebelum memaparkan materi. *** Di saat seluruh mahasiswa begitu tegang di dalam ruang belajar masing-masing dan sebagian lagi tampak sibuk dengan aktivitas mereka sebagai mahasiswa New York Univeristy, kehebohan lain justru terjadi di beranda kampus. Tepat setelah sebuah mobil Sonderklasse pabrikan Jerman berhenti di area parkir kampus. Tak kalah megah dengan mobil ‘bling-bling’ yang baru saja terparkir itu, turun dari sana, seorang pria muda dalam balutan jas mewah biru metalik. Kaca mata hitam yang bertengger di wajahnya, menambah tampilannya makin terlihat begitu keren. “Hey, look at there.” “Where?” “Over there!” Seluruh pasang mata tampak melebar dengan mulut yang kini menganga. Para kaum Hawa seakan-akan tak rela mengedipkan mata barang satu detik. Mereka melongo. Menatap si pria dalam balutan jas mewah yang baru saja turun dari mobil mahal tersebut. Semilir angin yang lewat ditubuhnya memancarkan wangi black musk dan ocean yang seketika merusuh penciuman orang-orang di sekelilingnya. “Oh … my … God!” Gumaman itu berubah bak paduan suara yang menggema bersamaan. Baik para lelaki maupun wanita, semuanya seperti tersihir. Secara naluriah menghentikan aktivitas mereka hanya untuk melihat pria dalam balutan jas mewah tersebut. “He’s very gorgeous.” “Not yet anymore. But he so damn charming.” “And hot!” “Yeah ….” Pesonanya sanggup membuat siapa saja menelan ludah. Dia digilai tak hanya oleh kaum Hawa, tetapi juga mereka yang … ah! Kau tahu lah, beberapa pria di Amerika bahkan di dunia menyukai sesama jenis. “Enyahlah!” gumam pria itu ketika melewati beberapa pria yang dari tampilan dan cara mereka memandang saja sudah sangat menjelaskan orientasi seksual mereka. Ya. Seakan-akan ada tulisan ‘Aku sangat menyukaimu’ di dahi mereka dan semua itu membuat si pria dengan julukan Crazy Rich itu terus berdecak kesal. Inilah mengapa untuk beberapa alasan, dia sangat membenci pria Amerika. Dia terus melangkah menyusuri lorong hingga berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan Real Estate & Urban Land Economies. Tampak sudut bibir pria itu terangkat. Tangannya mulai bergerak meraih gagang pintu. “Jadi, ekonomi internasional-“ “Ehem!” Suara deheman itu, menghentikan ucapan si dosen yang tengah memaparkan materi. Tampak kerutan di dahi pria itu. Dia memutar pandangan ke sumber suara. Seketika pria itu menurunkan kacamata yang bertengger di wajahnya. Dia menatap pria di depannya dengan kening melengkung ke tengah. “Selamat pagi, Mr. Parker, maaf mengganggu kelasmu. Apa kau masih mengenalku?” Mulut Mr. Parker terbuka. “Oh astaga,” kata pria itu. Ekspresinya berubah. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sumringah. Pria itu berjalan menghampiri si pria muda yang barusan mengganggu kelasnya. “Bagaimana aku bisa lupa denganmu, hah?” ucap Mr. Parker. Dia menyambut tangan si pria muda yang terangkat meminta untuk berjabat tangan. Sementara di bagian lain ruangan ini, tampak seorang gadis mengerutkan keningnya. Tunggu dulu. Seketika memori menerbangkannya pada sebuah kejadian di mana, gadis itu ingat betul jika dia pernah melihat si pria bermata sipit yang tengah berdiri di depan Mr. Parker. ‘Jangan buang tenagamu untuk sesuatu yang tidak penting.’ Seketika suara itu seperti menggema di dalam kepala Selena dan membuatnya membulatkan mata. Tanpa sadar, gadis itu menarik punggungnya dari sandaran. Dia memutar pandangan memberikan tatapan horor pada si pria bermata cokelat yang kini sedang memandangnya. “Ah, sebenarnya tujuanku kemari hanya untuk meminta izinmu,” kata pria itu. “Untuk apa?” tanya Mr. Parker dengan santai. “Itu,” kata si pria lagi. Tangannya terangkat dan telunjuknya kini sedang tertuju pada seseorang. Mr. Parker memutar pandangan mengikuti arah telunjuk pria muda tersebut. “Aku ingin meminjam salah seorang mahasiswamu.” Lanjut pria itu. Dalam satu detik, seluruh tatapan mata langsung tertuju pada seorang gadis yang sejak tadi sudah terlihat terkejut dan sekarang dia makin terkejut. “What?” gumam gadis itu. “Selena Mahendra?” tanya Mr. Parker. “Hem,” jawab si pria bermata cokelat dengan anggukan kepala. “May I?” Dia bertanya sekali lagi. Untuk beberapa saat Mr. Parker terdiam. Keningnya mengerucut dengan pandangan menilai. Sementara itu di tempat duduknya, Selena sedang bermohon dalam hati agar Mr. Parker tak mengabulkan permintaan pria tersebut. Namun, semuanya seperti tampak sia-sia saja ketika Mr. Parker memutar pandangannya kembali kepada Selena. “Of course,” kata Mr. Parker. Selena mendesah kecewa. Sambil menggigit bibir dalamnya kuat-kuat, wanita itu memalingkan wajahnya lalu membanting punggungnya pada sandaran. “Terima kasih, Mr. Parker,” ucap si pria bermata sipit. Dia menutup kalimatnya dengan seringaian. ‘Now, you are mine.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD