Seminggu berlalu, tak terasa Raina tinggal di sebuah yayasan panti jompo dimana Budhe Sri bekerja. Selama satu minggu ini juga Raina banyak membantu pekerjaan disana. Raina akui memang pekerjaan mengurus orang tua lebih berat daripada mengurus anak balita. Apalagi Raina yang memang paling tidak bisa melihat hal-hal berbau jorok yang langsung membuat perutnya mual dan pusing kepala. Raina dilema, haruskah ia tetap memutuskan bekerja di tempat ini.
Budhe Sri yang mengetahui semua kegundahan hati Raina mengerti dan sangat memahami. Oleh sebab itulah Budhe Sri tidak pernah memaksa Raina untuk mau bekerja di tempat ini. Bahkan satu minggu ini Budhe Sri lebih banyak membawa Raina keluar rumah seperti mengajak berbelanja atau sekedar membawa Raina melihat - lihat daerah di sekitarnya. Hanya saja Budhe Sri memang belum bisa membawa Raina berlibur dikarenakan kondisi yang belum memungkinkan mereka untuk keluar rumah dalam waktu yang lama. Kekurangan tenaga pekerja , salah satu alasannya. Setelah salah seorang pegawai di panti jompo itu tak lagi memperpanjang masa kontrak kerjanya, alhasil mereka sedikit kewalahan.
Minggu pagi, banyak sekali keluarga yang datang menjenguk orang tua mereka ke panti. Suasana tak lagi sesepi biasanya. Raina tampak kagum pada mereka yang meski orang tuanya berada di panti jompo tapi masih rajin mengunjungi.
Raina sedang membersihkan taman depan sembari menyiram bunga - bunga yang mulai bermekaran. Bahkan ini masih jam sembilan pagi. Hanya ini yang dapat Raina lakukan untuk membantu Budhe Sri. Karena Raina sendiri juga tidak berani membantu mengurus dan merawat para orang tua yang berada di tempat ini. Raina belum memiliki keahlian khusus dan ia takut jika berbuat suatu kesalahan misalnya.
"Raina...." suara serak yang berasal dari seorang perempuan tua yang sedang duduk di teras, membuat Raina mendongak. Tergesa Raina menghampiri nenek tersebut.
"Iya, Nek. Ada yang bisa Raina bantu?" tanya Raina dengan ramah kepada salah seorang nenek bernama Zuriya.
"Kemarilah. Nenek kesepian. Biasanya cucu nenek akan datang. Tapi kenapa sudah jam segini tak nampak pula kehadiran nya."
Raina tersenyum lalu duduk di samping nenek Zu, begitu beliau biasa disapa. "Mungkin memang belum datang, Nek. Lagipula ini masih jam sembilan pagi. Pasti sebentar lagi cucu nenek akan datang." hibur Raina.
Raina tidak tahu seperti apa rupa cucu nenek Zu. Seminggu berada di tempat ini, Budhe Sri sudah memperkenalkan Raina kepada semua penghuni panti. Dan diantara mereka hanya kepada Nenek Zu lah Raina dekat. Karena biasa nya Raina akan menemani nenek Zu duduk di teras sembari merajut. Ya, nenek Zu memang gemar merajut. Bahkan satu buah syal sudah Raina dapat dari beliau.
"Apa benar seperti itu? Ya sudah aku akan tunggu kalau begitu. Tapi... Jika nanti cucu nenek tidak datang juga, kau mau kan membantuku untuk meneleponnya," pinta nenek Zu dengan wajah memelas sarat akan permohonan. Mana mungkin Raina bisa menolaknya. Meski Raina sendiri tak tahu berapa nomor telpon cucu nenek Zu. Toh nantinya Raina bisa meminta tolong pada Budhe Sri.
" Baiklah, Nek. Nanti Raina bantu. Sekarang, Raina bereskan dulu pekerjaan Raina. Nanti jika sudah selesai, Raina akan temani nenek disini."
Nenek Zu mengangguk. Menatap Raina yang sudah kembali menekuri pekerjaan menyiram bunga. Bibir nenek Zu menyunggingkan senyum. Sejak pertama kali berkenalan dengan perempuan itu, nenek Zu langsung cocok. Selain cantik, Raina juga baik. Kerap menemaninya dan mengajaknya mengobrol. Dengan begitu nenek Zu merasa memiliki teman dan tak lagi sendirian.
Dari mulut Raina juga pada akhirnya nenek Zu mengetahui semua kisah kelam Raina. Sungguh miris dan nenek Zu sangat menyayangkan wanita sebaik Raina harus disiasiakan. Andai nenek Zu bisa menjadikan Raina keluarganya, maka sungguh bahagia hidupnya. Raina yang baik dan pengertian serta memiliki rasa kasih sayang yang tinggi pada sesama.
Raina yang masih menunduk mencabuti rumput, dikejutkan dengan suara deru mobil yang memasuki halaman panti. Tidak tertarik sebenarnya dengan tamu yang datang karena sudah bisa Raina pastikan jika itu adalah anggota keluarga yaang datang berkunjung. Raina menoleh ke belakang melewati bahunya. Matanya memicing dengan kedua alis bertaut.
Seorang lelaki berperawakan tinggi dengan tubuh padat berisi, berjalan dengan gagahnya sambil melepas kaca mata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung nya yang mancung.
Demi apapun juga Raina terpesona. Ia terpana menatap lelaki tampan yang sedang berjalan menghampiri nenek Zu. Pandangan Raina beralih menatap nenek Zu. Dimana wanita yang sudah lanjut usia itu tampak tersenyum lebar. Masih dengan memperhatikan interaksi keduanya, lelaki itu memeluk erat tubuh ringkih nenek Zu lalu mencium kedua pipi wanita itu dengan sayang.
Raina masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Tak berniat mengalihkan tatapan nya. Karena posisi Raina masih berjongkok hingga yang ditatap oleh Raina sama sekali tak menyadarinya.
Lukman Haikal. Raina tak mungkin salah. Lelaki bertubuh sado itu adalah aktor idolanya. Aktor yang sering ia tonton dalam semua drama dan film melayu favoritnya.
Raina menepuk pelan kedua pipinya. Lalu mengerjabkan matanya. Akan tetapi sosok Lukman masih saja terlihat oleh matanya. Bahkan lelaki itu tampak tertawa bahagia bersama nenek Zu.
Dalam hati Raina bertanya-tanya, apakah cucu yang telah dinantikan kehadirannya oleh nenek Zu adalah Lukman Haikal. Ah, Raina sungguh tak menduga jika cucu nenek Zu adalah seorang artis. Andai saja Raina sedang tak dalam aktifitas nya, mungkin saja ia kan berlari dan meminta tanda tangan lelaki itu. Tapi ia tak boleh melakukan hal bodoh semacam itu. Terkesan tidak elegan sama sekali.
Panas matahari yang mulai menyengat kulit tubuh Raina, menyadarkan perempuan itu akan dunia nyata. Terburu-buru mengalihkan perhatian pada Lukman Haikal dan segera menyelesaikan aktifitasnya jika ia tak ingin kulitnya menghitam karena kepanasan.
Begitu pekerjaan nya selesai, dengan menenteng timba kosong, Raina beranjak berdiri. Meninggalkan taman dan saat ia lewat tak jauh dari tempat dimana keberadaan nenek Zu dah juga Lukman Haikal, jantung Raina bertalu - talu.
"Raina....!"
Seruan dari nenek Zu membuat Raina menghentikan langkah. Menoleh ke samping tepat di saat Lukman dan Nenek Zu sedang menatap kepadanya.
"Y-ya, Nek." dengan gugup Raina menjawab. Aneh memang. Kenapa juga Raina bisa segugup ini hanya karena Lukman Haikal menatap ke arah nya. Bahkan itu hanya tatapan biasa. Apa mungkin karena Raina merasa senang bertemu dengan artis idolanya.
"Sudah selesai kau membersihkan taman?" tanya nenek Zu selanjutnya.
Raina mengangguk. "Sudah, Nek. Eum.. Saya masuk dulu ya Nek."
Dengan melempar sebuah senyuman untuk nenek Zu, bergegas Raina melanjutkan langkah masuk melalui pintu samping menuju dapur. Dengan jantung yang masih berdegup kencang Raina berusaha mengambil nafas sebanyak banyaknya. Agar deguban jantungnya mereda.