Waktu bergilir begitu cepat, tak terasa dua tahun telah berlalu. Raina beserta Ardi menjalani kehidupan rumah tangga jarak jauh. Dulu, saat awal mereka terpisah, keadaan masih sangat kondusif. Ardi masih sering datang mengunjungi anak dan istri nya meskipun hanya sebulan sekali. Raina juga tidak ambil pusing mengenai hal itu. Berusaha mengerti dengan kesibukan dan pekerjaan sang suami. Terlebih saat Ardi mulai bisa memberikan nafkah materi secara penuh di awal - awal Raina dan anak-anaknya tinggal di desa. Hal itu sudah cukup membuat Raina senang. Setidaknya Ardi bisa memahami kondisi Raina yang sudah tak lagi mendapatkan penghasilan.
Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama. Dan satu tahun terakhir ini Ardi mulai berubah. Kembali seperti Ardi yang dulu. Perhatian kepada keluarga semakin berkurang. Belum lagi nafkah yang Ardi berikan juga semakin berkurang setiap bulan nya.
"Mas, kenapa hanya satu juta?" protes Raina di suatu ketika, tepatnya kala Ardi memberikan ia uang bulanan. Bahkan ini sudah tanggal lima, dimana sudah lewat dari masa gajian Ardi. Sebagai seorang pegawai negeri, Ardi selalu menerima gaji setiap tanggal satu. Dan apabila tangga satu tersebut jatuh pada hari libur, maka akan mundur barang satu atau dua hari.
Tapi kini, selagi Raina tak meminta, maka Ardi seolah enggan melakukan kewajibannya menafkahi keluarga.
"Sudah, itu pegang saja dulu. Nanti kalau aku pulang, kutambah lagi," jawab Ardi sekenanya.
"Tapi kan, Mas, biasanya kamu pulang satu bulan sekali. Masak iya aku harus menunggunya sebulan lagi," protes Raina masih mencoba memperjuangkan hak nya.
"Nanti aku transfer." Ada saja alasan yang mampu Ardi lontarkan.
Setelah mengatakan itu, bergegas Ardi meninggalkan Raina, keluar dari dalam kamar mereka yang berada di rumah kedua orang tua Raina.
Raina hanya bisa menghela nafas. Ia tak ingin berdebat dengan Ardi yang ujung - ujungnya akan menimbulkan keributan. Sudah cukup malu Raina pada kedua orang tuanya karena hampir tak pernah akur dengan suaminya. Memilih mengalah dan menatap uang di dalam genggaman tangan nya.
Satu juta rupiah, meski Raina tinggal di desa, uang senilai itu tetap saja tidak akan cukup untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya. Bukannya Raina tidak bisa bersyukur dengan nafkah yang diberikan oleh sang suami. Tapi lagi-lagi jika dihitung kembali, semua pengeluaran selama satu bulan tak akan bisa dipenuhi hanya dengan uang satu juta rupiah. Untuk biaya makan dan juga jajan anak. Keperluan s**u dan juga diapers. Serta kebutuhan mendadak lainnya yang terkadang tak terprediksi sebelumnya.
Dan jika sudah seperti itu, maka dengan terpaksa Raina harus mengambil uang simpanannya. Hanya untuk menutupi semua kekurangan biaya hidup sehari - hari.
Uang tabungan Raina dari hasil bekerja dan juga pesangon yang ia dapatkan saat di PHK dulu, juga lumayan jumlahnya. Akan tetapi jika diambil sedikit demi sedikit, maka bisa saja uang itu akan habis tak tersisa. Belum lagi saat waktu itu Ardi meminta bantuan kepada Raina. Ya, suaminya itu meminta pada Raina untuk menukar mobil lama mereka dengan yang baru.
Tujuh puluh lima juta rupiah, yang harus Raina keluarkan demi menuruti keinginan sang suami. Menjual mobil lama dan membeli mobil baru dimana uang hasil penjualan mobil lama mereka, masih harus menambah sejumlah itu untuk mendapatkan mobil yang baru. Dalam benak Raina kala itu, mobil baru yang mereka beli itu berukuran lebih besar sehingga mampu menampung anggota keluarga nya yang bisa dibilang keluarga besar.
Meski konsekuensinya adalah, uang tabungan Raina harus berkurang banyak. Padahal uang itu Raina simpan guna kebutuhan ketiga anak-anaknya kelak. Raina menyadari bahwa ia tak lagi bekerja dan otomatis setiap bulan tak akan menadapatkan tambahan uang guna menutupi kebutuhan rumah tangga.
Ah, rasanya memang berat jika dirasakan. Menyimpan uang pemberian Ardi ke dalam dompet nya. Meski dalam hati terus berteriak bagaimana caranya mengatur keuangan jika Ardi saja semakin hari semakin pelit kepadanya.
Apa tadi katanya, akan ditransfer. Raina tersenyum miris. Itu tidak akan mungkin terjadi. Karena apa? Itu bukan satu kali ini Ardi ucapkan. Hampir beberapa kali Ardi pernah mengatakan hal yang sama. Nanti akan kutransfer. Dan nyatanya, kala Raina menelpon suaminya dan meminta agar mentransfer sejumlah uang yang Raina minta, maka Ardi akan menjawab, " Pakai saja uang simpananmu dulu. Nanti aku pulang akan kuganti."
Menarik nafas dalam, lalu ia memutuskan keluar kamar. Raina tak mendapati Ardi lagi. Di ruang televisi hanya ada ketiga anaknya bersama ibunya.
"Bu, Mas Ardi mana?" tanya Raina dengan mata menelisik seluruh penjuru ruangan. Berharap menemukan keberadaan Ardi disana. Tapi ternyata hasilnya nihil.
"Ardi tadi keluar." jawab ibunya.
"Keluar?" Raina mengernyit, menatap ibunya yang justru sedang menatapnya juga.
"Memang Ardi tidak pamit padamu tadi mau pergi kemana?" justru Ibunya kembali bertanya.
Raina menggeleng. Memang Ardi tidak mengatakan apapun tadi. Lelaki itu keluar begitu saja. Hal lumrah bagi Raina, tapi menjadi tanda tanya bagi ibunya.
Tanpa mau lagi berpikir tentang Ardi, Raina berjalan keluar rumah. Membuka pintu dan menatap halaman rumah kedua orangtuanya yang kosong. Tak ada mobil Ardi terparkir di depan sana.
Raina bisa menebak jika Ardi pasti pergi menemui teman - teman nya. Lalu mereka akan bersenang-senang di Cafe dan berakhir pulang dalam kondisi mabuk akibat mengkonsumsi minuman beralkohol.
Dada Raina terasa sesak. Memikirkan kelakuan suaminya yang tak juga berubah tapi semakin menjadi saja. Padahal anak mereka sudah ada tiga. Raina kira, dengan semakin bertambahnya anggota keluarga dan juga bertambahnya tanggungan dalam rumah tangga, maka Ardi akan berubah dan tidak lagi suka menghambur-hamburkan uangnya. Nyatanya, tidak sama sekali. Ardi tetaplah Ardi yang mementingkan dirinya sendiri diatas kepentingan keluarga.
Ardi rela memberikan uang satu juta kepada Raina, padahal Raina sangat tahu jika gaji Ardi sebulan bisa enam kali lipat dari yang diberikan kepadanya.
Jika Raina menegur suaminya, maka lelaki itu dengan gampangnya hanya menjawab, "Aku jenuh bekerja. Dan sekarang, selagi aku libur, aku ingin mencari kesenangan untuk diriku sendiri."
Ya Tuhan, kenapa masih ada lelaki seperti itu di dunia? Dan kenapa juga harus Raina dan anak-anaknya yang menjadi korbannya.
Sentuhan lembut di pundaknya, membuat Raina terjengit kaget. Menoleh ke belakang dan ibunya yang kini sedang berdiri di belakang tubuhnya.
"Sebenarnya Ardi itu pergi kemana, Na? Kenapa tiap kali pulang selalu menjelang subuh?"
Lagi-lagi Raina hanya menggeleng lemah. Memang ia tak tahu kemana perginya Ardi.
"Aku tidak tahu, Bu, "jawab Raina dengan menghela nafasnya.
" Apa kau tak pernah bertanya ia pergi kemana setiap malam? "
Dan Raina memilih menggeleng. Meski sebenarnya ia menebak jika suaminya pasti pergi ke sebuah tempat hiburan malam. Akan tetapi ia tak mungkin mengatakan hal itu pada sang ibu.