Part 02. SYAFARA The Queen Of Mr.CEO

2284 Words
Part 02. Syafara The Queen Of Mr.CEO Suasana di dalam rumah duka kediaman pak Ahmad kini sudah ramai didatangi banyak orang. Bendera kuning sudah tersemat di depan pagar rumah itu. Orang-orang yang datang mengucapkan belasungkawa pada Syafara anak perempuan satu-satunya yang pak Ahmad miliki. Syafara duduk di depan ayahnya yang kini terbaring tak berdaya. Mata gadis itu terlihat sembab setelah melihat ayahnya pulang dalam keadaan tak bernyawa. Gadis bercadar itu kini mengusap-usap kepala ayahnya dengan berurai airmata. Ingatannya kembali ke kejadian kemarin sore saat ayahnya hendak pergi menghadiri acara pengajian akbar yang digelar sahabatnya. Kebetulan pak Ahmad ayah Syafara juga ikut mengisi acara pengajian tersebut. "Abah, mau ke mana?" tanya Syafara ketika melihat pak Ahmad sudah rapi dengan peci di kepalanya. "Abah sudah bilang kemarin kalau abah akan mengisi acara pengajian akbar yang di adakan sahabat abah." jawab pak Ahmad kemudian tangannya meraih jaket hitam yang ada di atas meja ruang tamu. Syafara duduk di kursi dan diikuti pak Ahmad yang sambil membenarkan resleting jaketnya. "Fara. Abah ingin sekali kamu menikah. Agar ada seseorang yang bersama kamu nanti kalau abah sudah tidak bisa menjagamu lagi." pak Ahmad terlihat serius saat mengatakan itu. Matanya menatap manik hitam anaknya yang kini duduk di sampingnya. "Fara kan masih kuliah, abah. Menikah nanti kalau sudah lulus. Eh, kerja." ucap Fara seraya tersenyum. Namun senyumnya tertutup oleh cadar berwarna merah muda yang menghiasi wajahnya. Walau hanya terlihat matanya saja, namun abah tahu kalau putrinya itu sedang tersenyum. "Kuliah kamu kan tinggal satu semester lagi. Setelah itu kamu lulus, Fara. Abah hanya ingin kamu ada yang menemani." "Fara sudah senang ditemani abah. Fara belum mau menikah. Fara ingin menjaga abah sampai kapanpun." Syafara memeluk ayahnya sambil tersenyum. Tangan pak Ahmad mengusap-usap lengan anak perempuannya itu. "Abah hanya takut kalau tidak bisa menjaga kamu, Fara." "Jangan berkata seperti itu, abah. Fara ingin selalu bersama dengan, abah." Pak Ahmad melepaskan pelukannya. Menatap manik hitam yang ada di depannya. Kemudahan menangkup wajah anaknya. "Abah ingin melihatmu selalu tersenyum, Syafara." kemudian gadis itu melepaskan cadar yang sedari tadi menutupi wajahnya. Masih dengan senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. "Kenapa kamu membuka cadar itu, Syafara?" "Katanya tadi abah mau melihat Fara tersenyum?" "Maksud abah, Fara harus selalu tersenyum kalau abah tidak ada bersamamu Syafara." Syafara tersenyum. Kemudian memakai cadarnya kembali. "Kamu sangat cantik, mirip sekali seperti ibumu." pak Ahmad menatap pintu. Kemudian tersenyum. "Abah sangat merindukan ibumu, Syafara." lanjutnya. Ibu Syafara meninggal empat tahun lalu, sejak saat itu abah dan Syafara hanya hidup berdua. "Pesan abah. Tetap pakailah cadar itu, kecuali suamimu yang meminta melepasnya." Syafara mengangguk. Menatap ayahnya yang kini bangun dari duduknya mengambil tas yang ada di atas meja. "Abah berangkat dulu. Jaga diri kamu baik-baik, Syafara. Ingat pesan abah." kemudian mengulurkan tangannya dan di sambut oleh Syafara dan gadis itu mencium punggung tangan pak Ahmad. "Hati-hati, abah." ucap Syafara ketika melihat ayahnya berangkat. Syafara tidak tahu kalau ternyata malam itu adalah malam terakhir ia melihat ayahnya. "Abah kenapa ninggalin Syafara sendirian, kalau Syafara kangen abah gimana?" ucap Syafara lirih. Tangannya mengusap-usap pipi ayahnya yang ada di depannya. "Yang sabar ya, Fara." ucap tetangga Syafara. "Ikhlaskan saja abahmu, Fara. Agar beliau tenang di sana." Wanita dewasa itu menenangkan keponakannya yang kini sedang bersedih kehilangan ayahnya. Di luar rumah Rico terus saja menatap Syafara dengan tatapan tak tega. ***** Di ruang makan. Meriska menatap Althaf yang tak mau memakan makanan yang sudah ia ambilkan. Althaf hanya diam menatapnya saja. "Althaf. Kenapa tidak sarapan, nak?" tanya Meriska ibu Althaf. "Tidak lapar, bu. Aku berangkat dulu." kemudian bangkit dari duduknya. "Althaf." panggil Meriska saat melihat Althaf hendak melangkah pergi. "Setidaknya, minumlah dulu." Meriska memberikan segelas s**u untuk Althaf. Pria muda itu pun mengangguk pelan. Kemudian meminum s**u itu sampai habis agar ibunya tidak khawatir lagi dengannya. Althaf pamit seraya mencium punggung tangan ibunya. Kemudian melangkah pergi keluar. "Hati-hati di jalan, nak." Pria muda itu melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya. Di dalam mobil Althaf melihat jam yang ada di layar ponselnya. Kemudian mengembuskan napas kasar. Mobil Althaf kini berjalan membelah jalan raya menuju ke kantornya. Ponsel miliknya kini berdering, suaranya memenuhi mobilnya. Althaf hanya meliriknya, entah kenapa ia malas menerima panggilan telepon dari Monica kekasihnya setelah penolakan lamarannya tadi malam. Berkali-kali Monica menghubungi nomor ponsel Althaf. Setelah empat kali panggilan. Akhirnya Althaf menekan tombol hijau untuk menerima panggilan telepon dari kekasihnya itu. "Halo," ucap Althaf memulai percakapan dengan Monica yang ada di seberang sana. [Halo, sayang. Aku mau kita ketemu sekarang. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.] Pria muda itu nampak berpikir sejenak. [Sayang?] 'Mungkinkah, Monica akan berubah pikiran dan mau menerima lamaranku?' gumam Althaf dalam hati. [Halo, sayang?] "Ehem. Iya?" jawab Althaf ketika tersadar dari lamunan. [Apa kita bisa bertemu?] "Ah, iya. Temui aku di kantor sekarang. Aku sebentar lagi sampai." [Baiklah, sayang. Aku segera ke sana. Tunggu aku, sayang. I love you.] kemudian Monica mematikan sambungan teleponnya. Tiba-tiba saja Althaf tersenyum senang. Pria muda itu berpikir kalau Monica akan mau menerima lamarannya dan mereka akan segera menikah. "Aku sangat mencintaimu, Monica." ucap Althaf seraya tersenyum. Mobil milik Althaf kini memasuki halaman perusahaannya milik keluarganya. Dengan cepat pria muda itu turun dari mobilnya dan bergegas menuju ke dalam kantor, menuju ke ruangan kerjanya. Pria muda itu sudah tak sabar lagi bertemu dengan Monica kekasih yang sangat di cintainya. Tangan Althaf meraih gagang pintu kemudian masuk ke dalam ruang kerjanya. Althaf duduk di kursi kebesarannya. "Aku sudah tidak sabar lagi untuk menikah denganmu, Monica." ucap Althaf seraya mengusap-usap foto dirinya bersama dengan Monica yang ada di layar ponsel miliknya. Tok Tok Tok. Tak lama kini terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruang kerja Althaf. Setelah mengetuk pintu itu tiga kali. Monica membuka pintu itu dan berjalan masuk menemui Althaf. Pria muda itu berdiri dari duduknya lalu tersenyum melihat Monica datang. "Selamat pagi, sayang." sapa Monica seraya tersenyum manis. Gadis berambut panjang sepunggung memakai dres pendek warna merah itu berjalan mendekat. Kemudian mencium pipi kanan dan kiri Althaf secara bergantian. "Pagi juga, sayang." jawab Althaf kemudian duduk dan diikuti oleh Monica. "Apa ini?" tanya Althaf penasaran dengan apa yang diberikan Monica padanya. "Sarapan untukmu, sayang. Makanlah." Monica membuka kotak berwarna putih yang berisi dua sandwich telur kesukaan Althaf. Gadis itu tahu semua apa yang disukai Althaf kekasihnya. Pria muda itu tersenyum kemudian mengambil sandwich itu dan memakannya. "Gimana rasanya? Enakkan, sayang?" tanya Monica. Althaf mengangguk pelan sambil mengunyah makanannya. "Sayang. Bagaimana dengan lamaranku semalam? Aku ingin menikah denganmu, Monica. Please menikahlah denganku?" pinta Althaf lagi pada Monica kekasih yang sangat di cintainya itu dengan sedikit memohon. Monica bangkit dari duduknya kemudian berjalan mendekati Althaf. Lalu melingkarkan kedua tangannya di leher kekasihnya itu. "Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu, sayang." Mendengar itu, dengan cepat Althaf melepaskan tangan Monica yang melingkar di lehernya. Kemudian memutar tubuhnya ke belakang agar bisa menatap kekasihnya itu. "Why?" "Semalam kan sudah aku bilang, kalau aku tidak bisa menikah setahun atau dua tahun ini, sayang. Karena aku sudah menandatangani kontrak sebagai model. Dan itu impian aku sejak dulu. Kamu tahu itu kan, sayang?" Kini Althaf bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Monica. "Kita bisa menikah secara diam-diam, sayang. Aku janji tidak akan memberi tahu orang lain. Hanya keluarga kita saja yang tahu dan beberapa kolega papa yang ada di perusahaan saja." Althaf menatap Monica dengan tatapan memohon. Berharap kalau kekasihnya itu mau menikah dengannya. "Oh, ayok lah sayang. Kita masih muda, banyak hal yang harus kita nikmati sebelum menuju ikatan pernikahan." ucap Monica dengan tersenyum. Sedangkan Althaf mengembuskan napas kasar. Ia pikir Monica datang karena merasa menyesal telah menolak lamarannya semalam. Tapi ternyata pikiran Althaf salah. "Sayang. Please menikahlah denganku, aku berjanji akan selalu membahagiakanmu dan menurutimu. Apapun itu." ucap Althaf seraya meraih kedua tangan Monica. "Maaf sayang. Aku tidak bisa." tolak Monica. Pria muda itu melepaskan tangannya dan menjatuhkan kembali tubuhnya di atas kursi. Masalahnya semakin rumit sekarang. Althaf tak tahu harus bagaimana lagi karena kekasih yang sangat di cintainya pun kini tak mau menolongnya. Monica menatap Althaf yang sedang memegang keningnya. "Sayang, kamu bisa cari gadis lain yang mau pura-pura menikah denganmu. Kamu bayar saja berapa yang gadis itu minta asalkan dia mau pura-pura menikah denganmu dalam waktu setahun atau dua tahun. Setelah itu kamu ceraikan dia, baru kita menikah." "Itu ide yang sangat konyol, Monica. Aku tidak bisa." tolak Althaf. "Kalau begitu, tunggu aku setahun atau dua tahun lagi, sayang."Monica mencium pipi kiri dan pipi kanan Althaf secara bergantian. "Aku pamit dulu, bye." Setelah mengucapkan itu Monica pergi meninggalkan Althaf sendirian di dalam ruang kerjanya. Mata Althaf terus saja memandangi Monica yang kini berjalan keluar meninggalkan dirinya. "Gila. Itu ide yang sangat gila, Monica." gumam Althaf bicara sendiri. Ponsel milik Althaf yang berada di atas meja kini berdering. Tangan Althaf meraih ponsel itu dan melihat ada nama Rico di sana. "Halo?" sapa Althaf yang baru saja menerima panggilan telepon dari Rico asisten pribadinya. [Halo, bos. Acara pemakaman baru di mulai. Kapan bos datang ke sini?] terdengar suara Rico dari seberang sana. Althaf hampir saja lupa kalau hari ini dia akan menghadiri acara pemakaman pak Ahmad pria dewasa yang meninggal karena kesalahannya. Dengan cepat Althaf menyambar kunci mobil yang ada di atas meja. Pria muda itu bergegas keluar dari ruang kerjanya. Saat perjalanan keluar Althaf melewati pintu ruangan tuan Hanry pamannya. Sekilas Althaf mendengarkan suara Monica di dalam sana karena memang pintu itu sedikit terbuka. Sejenak Althaf menoleh. Namun karena terburu- buru Althaf mengurungkan niatnya untuk melihat ke dalam ruangan itu. Dengan langkah cepat Althaf berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Tangan Althaf mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Ia mencari nomor ponsel Rico asisten pribadinya. [Halo, bos.] terdengar suara Rico dari seberang sana. "Halo. Aku akan ke sana sekarang. Cepat kirim alamatnya. Aku tunggu." tanpa menunggu jawaban dari seberang sana. Althaf langsung saja mematikan sambungan teleponnya. Kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman perusahaan. ***** Syafara berjongkok di samping makam ayahnya. Gadis itu menangis seraya mengusap-usap nisan yang bertuliskan nama Ahmad bin Rahman itu. Pak haji masih memimpin doa dan di aminkan seluruh orang yang hadir di acara pemakaman. Selesai berdoa pak haji dan orang-orang kini pergi meninggalkan Syafara yang masih sedih kehilangan ayahnya. "Abah. InsyaAllah Fara ikhlas melepas kepergian, abah. Semoga abah bahagia dan bertemu dengan ummi di sana. Titip salam buat ummi ya bah." Syafara masih setia mengusap nisan ayahnya sambil sesekali menghapus airmata yang membasahi wajahnya. Dari kejauhan Rico masih berdiri mengawasi Syafara. Tak lama mobil Althaf tiba di tempat pemakaman umum. Dengan cepat Althaf turun dari mobilnya. Matanya kini menatap orang-orang yang berjalan keluar. 'Apa pemakamannya sudah selesai?' pikir Althaf dalam hati. Mata Althaf menatap sekeliling. Kemudian melangkah masuk saat melihat sosok Roy berdiri di ujung sana. "Apa semuanya sudah beres?" tanya Althaf saat tiba di samping Rico. "Eh. Iya bos. Semuanya sudah beres." jawab Rico. Althaf mengangguk pelan kemudian melepaskan kacamata hitamnya. "Di mana anak pak Ahmad?" "Itu, bos." Rico menunjuk ke arah Syafara. Althaf mengerutkan dahinya saat melihat sosok gadis bercadar memakai gamis dan hijab berwarna hitam sedang berjongkok di depan makam sambil mengusap-usap batu nisan. "Kamu yakin dia anaknya?" tanya Althaf ingin memastikan sekali lagi. "Yakin, bos. Dia anak gadis satu satunya yang pak Ahmad miliki. Tidak ada saudara lain lagi." jawab Rico menjelaskan pada bosnya itu. 'Gadis itu aneh sekali selera pakaiannya?' batin Althaf dalam hati ketika melihat Syafara. "Kasihan gadis itu, bos. Tidak punya saudara lagi di sini." "Dari mana kamu tahu itu?" tanya Althaf penasaran dengan ucapan Rico. "Dari para tetangga, bos. Mereka bilang begitu. Gadis itu sekarang sendirian bos. Ibunya sudah meninggal dan sekarang ayahnya juga meninggal, bos. Gadis itu sekarang yatim piatu, bos." Mendengar ucapan Rico tiba-tiba saja Althaf teringat dengan permintaan terakhir pak Ahmad sebelum meninggal yang ingin Althaf menikahi putrinya. Althaf juga ingat ucapan Monica tadi pagi kalau Althaf harus mencari istri yang mau pura-pura menikah dengannya agar Althaf bisa mendapatkan perusahaan peninggalan ayahnya. "Bos. Kenapa melamun?" tangan Rico melambai di depan wajah bosnya itu. "Tidak." jawabnya kemudian melangkah pergi mendekat ke arah Syafara. "Aku turut berduka cita." ucap Althaf yang baru saja berdiri di samping Syafara. Syafara yang semula berjongkok kini berdiri. Sejenak menatap Althaf dan kemudian menundukkan wajahnya. "Terima kasih." jawab Syafara dengan suara lirih namun Althaf masih bisa mendengarnya. "Apa kamu anak pak Ahmad?" tanya Althaf penasaran. Ia ingin membuktikan ucapan Rico. "Iya." Syafara mengangguk pelan. "Aku mengenal pak Ahmad. Beliau orang baik. Aku menyukainya." Mendengar ucapan Althaf kini Syafara menatap pria muda yang ada di depannya itu. "Anda kenal dengan abah?" "Iya. Pak Ahmad temanku." jawab Althaf berbohong. Pria muda itu tak mungkin mengatakan kalau dia yang menyebabkan pak Ahmad meninggal. Itu tidak mungkin. Karena Althaf sudah menyuruh Rico yang mengaku sebagai orang yang menabrak pak Ahmad. Gadis itu kembali menundukkan wajahnya. Ia tidak pernah melihat pria muda itu bersama dengan ayahnya. Syafara tahu beberapa sahabat ayahnya yang sering mengunjungi rumah ayahnya saja. "Oh ... Terima kasih sudah berkenan hadir di acara pemakamannya abah." ucap Syafara. Althaf mengangguk. Ia ingat dengan pesan pak Ahmad agar dirinya menikah dengan Syafara. "Oh iya. Kenalkan, namaku Althaf. Siapa namamu?" Althaf mengulurkan tangannya di depan Syafara. Namun Syafara mengabaikannya gadis itu menangkup kedua tangannya di depan da-da. "Syafara." ucapnya lirih. Tetap saja Althaf masih bisa mendengarnya. 'Syafara, nama yang cantik. Tapi sayang selera berpakaiannya aneh.' batin Althaf. "Apa aku boleh mengatakan sesuatu?" tanya Althaf. Syafara mengangguk pelan. Masih dengan menundukkan wajahnya. "Apa kamu mau menikah denganku?" Entah kenapa tiba-tiba saja Althaf mengatakan itu. Syafara yang sedari tadi menunduk kini mendongakkan wajahnya. Menatap Althaf dengan tatapan aneh. Bagaimana mungkin pria muda itu melamarnya di depan makam ayahnya, bertemu juga baru sekarang ini. Kenapa bisa langsung mengatakan itu? Gadis itu masih diam tak menjawab. Althaf kini masih berdiri di depannya menunggu jawaban yang keluar dari mulut Syafara. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD