Part 03. SYAFARA The Queen Of Mr.CEO

2051 Words
Malam ini di kediaman Syafara, terdengar suara orang melafazkan kalimat tahlil yang di khususkan untuk Almarhum Pak Ahmad. Banyak tetangga dan sahabat Pak Ahmad yang hadir di acara ini. Syafara duduk di antara tetangga dan kerabat yang hadir di rumahnya. Suasana duka masih menyelimuti gadis cantik itu. Syafara terus saja menundukkan wajahnya. Mengingat kepergian sang ayah yang tak disangka akan secepat itu. Akhirnya acara pengajian pun selesai. Semua orang yang hadir pamit pulang pada Syafara. "Nak, Fara. Bibi pulang dulu, ya. Kalau kamu butuh apa-apa, kabari Bibi dan Pamanmu, Insyaallah kami akan bantu." Wanita paruh baya itu pamit. Setelah semua orang pergi, kini tinggal Syafara sendirian di rumah itu. Syafara melepaskan cadarnya, kemudian berbaring di atas tempat tidur. Tiba-tiba ia ingat dengan ucapan laki-laki muda yang tadi siang menemuinya dan tiba-tiba mengajaknya menikah. Apa kamu mau menikah denganku? Suara itu terngiang di telinga Syafara. Perlahan gadis itu memejamkan matanya. Mengingat ucapan ayahnya yang ingin Syafara segera menikah. Tapi segampang itukah menikah dengan orang yang baru kita kenal? Bertemu juga baru sekali. Syafara mengembuskan napas dalam- dalam, mencoba menenangkan hati dan perasaannya. "Maafin Fara, Abah. Fara belum bisa menikah secepatnya, Fara masih ingin kuliah," ucapnya lirih. Beberapa menit kemudian, perlahan mata gadis itu terpejam. Terlelap di atas tempat tidurnya. ***** Di tempat lain. Althaf sedang duduk di ruang kerjanya yang ada di kantor. Pekerjaan hari ini sempat tertunda karena tadi siang Althaf pergi ke acara pemakaman Pak Ahmad, ayah Syafara. Althaf menyilangkan kedua tangannya di depan da-da. Mengingat kejadian yang menimpanya hari ini. Sungguh semuanya seperti mimpi buruk bagi Althaf. Tok Tok Tok. Suara seseorang mengetuk pintu. Althaf tak mengindahkannya. Laki-laki muda itu masih diam dalam lamunannya. Ceklek. Rico membuka pintu. Melangkah masuk ke ruangan kerja Althaf. "Ini sudah malam, Bos tidak pulang?" Pertanyaan Rico menyadarkan Althaf dari lamunannya. Menatap asisten sekaligus sahabatnya yang kini sudah duduk di kursi yang ada di depannya. "Cari tahu semua informasi tentang gadis itu." ucap Althaf tiba-tiba. Rico menyipitkan matanya. Menatap aneh ke arah Althaf. "Maksudnya anak Pak Ahmad?" Althaf mengangguk pelan tanpa senyum ataupun ekspresi lainnya. Wajah laki-laki itu terlihat dingin dan datar. "Setahu aku sih, namanya Syafara, dia anak gadis satu - satunya pak Ahmad. Emangnya kenapa, Bos?" Rico balik tanya. "Kamu cari tahu siapa gadis itu. Apa hobinya, kesukaannya, pekerjaannya, pokoknya kamu cari tahu semuanya tentang dia." perintah Althaf. "Apa, Bos jatuh cinta dengan gadis itu?" Mendengar pertanyaan itu. Althaf menatap tajam ke arah Rico. "Jaga ucapanmu itu. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan gadis yang berpakaian aneh seperti itu? Dia bukan seleraku." Althaf menepis pertanyaan Rico. "Oh, maaf." Rico menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa semuanya sudah kamu bereskan?" "Sudah, Bos. Semua buktinya sudah aku bereskan, Bos tenang saja. Althaf mengangguk pelan. Laki-laki muda itu menyuruh Rico membersihkan namanya dari kecelakaan malam itu. Althaf tidak mau semuanya semakin rumit. Apalagi Tuan Hanry paman Althaf tahu masalah ini. Bisa-bisa semua aset peninggalan Ayahnya Althaf bisa jatuh ke tangan Pria itu. Althaf tidak mau itu terjadi. Laki-laki muda itu akan mempertahankan milik keluarganya. Walaupun nyawa Althaf sebagai taruhannya. "Oke. Aku percaya denganmu. Jangan lupa besok kamu cari tahu semuanya tentang gadis itu. Aku ingin tahu secepatnya." "Siap, Bos." Setelah mengatakan itu. Althaf berjalan keluar dari ruangan itu dan diikuti Rico. Althaf melangkah keluar dari lift. Rico masih setia mengikutinya di belakang seraya membawakan tas kerja milik Bosnya itu. Mereka berjalan menuju halaman di mana mobil Althaf terparkir. "Hati-hati Bos." ucap Rico saat membukakan pintu mobil untuk Althaf. Setelah Althaf masuk. Rico menutup kembali pintu mobil itu. Mobil milik Althaf kini berjalan dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil, tiba-tiba Althaf kembali teringat dengan Pak Ahmad. Kamu harus menikahi putriku... Ciit...! Althaf menghentikan mobilnya secara mendadak. Napasnya memburu terdengar seperti orang yang baru saja melihat hantu. "Astaga." gumam Althaf seraya mengusap da-danya saat melihat kucing berwarna putih yang tiba-tiba lewat di depan mobilnya. Untung tidak tertabrak. Beberapa detik kemudian, Althaf kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mengingat kejadian yang baru saja di alaminya juga kejadian kemarin malam, membuat Althaf harus berhati-hati mulai sekarang. Tak lama mobil milik Althaf kini berjalan memasuki halaman rumahnya. Dua orang Satpam membukakan pintu gerbang itu untuk Althaf. Rumah mewah besar dengan tiga lantai yang kini di tempati Althaf juga Ibu dan adiknya. Perlahan Althaf turun dari mobil. Berjalan pelan masuk ke dalam rumahnya. Kebetulan Althaf membawa kunci rumah itu, hingga ia gampang masuk ke dalam rumah kapan saja. Saat hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba mata Althaf di kejutan oleh pemandangan yang tak biasa. Seorang wanita dewasa nampak tertidur pulas di atas sofa ruang tamu dengan posisi duduk. Laki-laki muda itu mengembuskan napas dalam- dalam. Laki-laki itu yakin, Ibunya sengaja menunggunya pulang. Perlahan Althaf mendekat. Menatap lekat wajah yang terlihat lelah. Lalu tangannya mengusap anak rambut yang ada di kening Ibunya. Saat Althaf hendak menggendong Ibunya. Tiba - tiba saja mata wanita dewasa itu terbuka. Menatap Althaf. "Kamu sudah pulang, nak?" tanya wanita dewasa itu seraya mengusap wajah Althaf yang ada di depannya dengan lembut. "Ibu pasti lelah menungguku?" Althaf kini duduk di samping Ibunya. "Apa setiap hari kau pulang malam seperti ini, Althaf?" Mendengar pertanyaan dari Ibunya, membuat Althaf merasa bersalah karena sudah membuat Ibunya menunggu. Laki-laki muda itu mencoba tersenyum di depan Ibunya. Walau sedikit ia paksakan. "Tadi banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, Bu. Mau tidak mau harus pulang malam. Ibu tidurlah. Aku juga mau istirahat." Ibu Althaf mengangguk. Setelah itu Althaf melangkah pergi meninggalkan Ibunya. Setelah sampai di dalam kamar. Althaf melepas dasi dan jas yang melekat di tubuhnya dan menaruhnya di atas ranjang, kemudian ia juga ikut menjatuhkan tubuhnya di atas sana. Perlahan mata lelah itupun terpejam. °°°°° "Kau yakin gadis itu masih kuliah?" tanya Althaf saat melihat data diri Syafara di selembar kertas putih yang ada di depannya. Rico mengangguk. Karena memang informasi itu yang ia dapatkan mengenai Syafara. "Terima kasih, oh iya. Nanti siang antar aku ke rumah Almarhum Pak Ahmad. Aku ada urusan di sana." "Baik, Bos." Setelah memberikan informasi tentang Syafara, Rico pamit pergi meninggalkan ruangan itu. "Syafara Carabella Mecca, namanya cantik. Tapi sayang, selera berpakaiannya sangat aneh. Mungkin Monica benar, aku harus menikahinya untuk mendapatkan perusahaan ini dan semua harta warisan dari Papa." Althaf tersenyum ketika impiannya untuk mendapatkan semua aset milik Ayahnya akan segera terwujud setelah nanti ia berhasil menikah dengan Syafara. Karena Monica kekasihnya menolak lamarannya. Kini Althaf harus mencari gadis lain yang mau menikah dengannya agar ia bisa mendapatkan semua itu. Dengan menikahi Syafara, mungkin ia bisa menembus kesalahannya karena sudah membuat Pak Ahmad meninggal, juga amanat pria dewasa itu sebelum menutup mata, agar Althaf menikah dengan putrinya yaitu Syafara. °°°°° Mentari pagi sudah menyapa. Syafara bersiap untuk berangkat kuliah pagi hari ini. Gamis berwarna biru muda dengan hijab berwarna senada membuat Syafara terlihat cantik dan terlihat segar pagi hari ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Berangkat." ucap Syafara saat gadis itu melangkah keluar dari kamarnya. Langkah kaki itu menuntun Syafara menuju ke makam ayahnya. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, gadis itu selalu datang ke tempat ini, untuk sekedar mengirimkan doa. Sebelumnya Syafara sudah izin pada dosennya selama tujuh hari, namun di hari kelima Syafara harus berangkat ku kuliah. "Syafara..." panggil seseorang saat melihat Syafara berjalan masuk melewati gerbang. Gadis itu menoleh. Kemudian tersenyum. "Assalamualaikum, Zahra." sapa Syafara saat melihat sahabatnya berlari kecil menghampirinya. "Waalaikumussalam ... Syafara. Kamu apa kabarnya sekarang?" Zahra kini memeluk sahabatnya. "Alhamdulillah, kabar baik," jawab Syafara. Kemudian melepaskan pelukannya. "Kok tidak menunggu tujuh hari, bukan-nya kamu izinnya tujuh hari kan ya?" Syafara mengangguk. "Aku takut sedih kalau di rumah sendiri. Biasanya Abah selalu menemaniku, tapi sekarang Abah sudah bahagia di sana bersama dengan Ummi," Zahra memegang pundak sahabatnya yang masih dalam keadaan berduka. "Kamu jangan sedih lagi. Ada aku, Fara. Kamu bisa minta tolong sama aku, apapun itu." "Terima kasih, Zahra," "Ke kelas yuk." ajak Zahra. Syafara mengangguk. Kedua gadis berhijab itu berjalan menuju ruang kelasnya. °°°°° Jam istirahat siang sudah tiba. "Fara, ke kantin yuk." ajak Zahra. Namun di tolak oleh sahabatnya itu. "InsyaAllah, aku hari ini puasa, Zahra." Zahra tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi entah kenapa hari ini gadis itu lupa. "Ya udah deh. Aku beli minum aja deh." pamit Zahra. "Aku tunggu di taman ya." "Oke." Setelah kepergian Zahra, Syafara berjalan menuju taman yang ada tak jauh dari gedung kelasnya. Syafara duduk di bangku panjang. Membaca buku kesukaannya agar tidak jenuh menunggu Zahra. Dari kejauhan seorang pemuda memperhatikan gadis itu sejak beberapa menit lalu. Tak lama Zahra datang. Kemudian duduk di samping Syafara. "Katanya tadi beli, minuman?" tanya Syafara saat melihat sahabatnya datang. "Enggak jadi beli. He he." jawab Zahra dengan santai. "Kenapa?" tanya Syafara penasaran. "Kamu kan puasa, jadi aku tidak tega kalau minum sedangkan kamu puasa. He he..." Syafara menggelengkan kepalanya pelan. Ia sangat tahu kalau Zahra sahabat terbaiknya. "Fara," ucap Zahra sedikit berbisik. "Kenapa?" jawab Syafara tanpa menoleh. Mata gadis itu masih fokus pada buku yang ia baca. "Sepertinya ada yang kangen deh." "Siapa?" "Tuh. Laki-laki paling tampan idola para gadis di kampus ini. Termasuk aku ... Duh mas Arif, kamu ganteng banget sih..." Mendengar ucapan Zahra, seketika Syafara menoleh ke arah sahabatnya kemudian melihat ke arah seseorang yang berjalan menuju ke arah mereka. "Astagfirullah." Syafara menundukkan wajahnya. Sedangkan tangannya menutup mata Zahra agar tak melihat Arif seperti itu. "Ih, Fara. Nutupin aja deh." protes Zahra seraya berusaha menyingkirkan tangan sahabatnya. Arif, pemuda tampan dan alim yang menjadi idola gadis di Universitas ini. Sosok Arif yang baik dan selalu membantu teman lainnya membuatnya selalu disukai semua orang. Namun laki-laki itu menaruh hati pada Syafara sejak pertama kali masuk kuliah hingga sekarang. Gadis bercadar yang selalu membuatnya tenang. "Assalamualaikum." ucap Arif yang baru saja datang. Laki-laki itu berdiri tepat di depan Syafara. "Waalaikumussalam." jawab Syafara dan Zahra secara bersamaan. Setelah menjawab salam dari Arif sejenak Syafara menatap wajah laki-laki itu di lihatnya sebuah senyum yang meneduhkan. Kemudian Syafara menundukkan wajahnya. Sedangkan Zahra masih saja setia menatap pesona tampan makhluk ciptaan Tuhan yang sangat sempurna itu. "Apa kabar, Syafara? Aku turut berduka cita atas meninggalkannya Abah kamu, ya. Maaf kalau telat, soalnya saya baru tahu hari ini dari teman sekelas tadi pagi." ucap Arif yang masih berdiri di depan Syafara. Menatap gadis itu tanpa bosan. Perlahan Syafara bangkit dari tempat duduknya. Dan diikuti Zahra. "Terima kasih, mas Arif." jawab Syafara lirih. Namun terdengar oleh laki-laki yang ada di depannya itu. Arif senang setelah melihat Syafara baik-baik saja. Hampir saja laki-laki itu khawatir saat mendengar kabar kematian ayah Syafara. "Sama-sama, Syafara. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa hubungi saya, Insya Allah saya akan bantu kamu." ujar Arif. Laki-laki muda itu ingin bisa mengenal lebih dekat dengan Syafara, gadis berhijab dan bercadar yang selalu menganggu hati dan pikirannya sejak empat tahun terakhir ini. Arif selalu mengawasi Syafara dari kejauhan, tapi Syafara tidak tahu akan hal itu. "Iya, Mas. Insya Allah, Fara baik-baik saja kok." jawab Syafara seraya tersenyum. Itu dapat Arif lihat dari lipatan kantung mata Syafara. "Ekhem!" Zahra tiba-tiba berdeham dengan keras. Membuat Syafara dan Arif seketika menoleh ke arah sumber suara itu. "Kok aku tiba-tiba merasa jadi obat nyamuk, ya?" sindir Zahra. Mendengar ucapan Zahra, seketika Arif menoleh ke samping seraya menggaruk kepalanya yang seketika menjadi gatal karena mendengar ucapan Zahra. Sedangkan Syafara kini menatap Zahra seraya mencubit tangan sahabatnya itu. "Auw! Sakit Fara ih..." protes Zahra pada Syafara yang baru saja mencubit tangan kanannya. "Salah siapa tadi bicara sembarang." ujar Syafara seraya tersenyum menatap sahabatnya yang pura-pura kesakitan. Padahal Syafara hanya mencubitnya dengan pelan. "Maaf, bercanda." ucap Zahra dengan cepat. Ingin sekali Zahra tertawa melihat ekspresi wajah Arif yang kini sedikit malu. Laki-laki tampan yang menjadi idaman banyak gadis di kampus ini ternyata bisa malu seperti itu juga. "Ekhem. Saya permisi dulu, Assalamualaikum..." ujar Arif. Tanpa menunggu jawaban salam dari Syafara dan Zahra, laki-laki muda itu langsung bergegas pergi meninggalkan tempat itu. "Waalaikumussalam warohmatullahi wa barokatuh." Jawab Zahra dan Syafara bersamaan. Mereka berdua kini menatap Arif yang berjalan semakin menjauh. "Yah ... Kok mas Arif pergi sih? Apa karena ucapan aku tadi ya Fara?" Zahra kini merasa sangat bersalah saat melihat Arif pergi karena ucapannya tadi. Padahal Zahra tidak ada niatan untuk menyindir atau menggoda Syafara dan Arif. Tapi gadis itu niatnya hanya bercanda. Dan sekarang Arif malah pergi. Zahra takut kalau Arif tersinggung karena ucapannya. °°°°°°°°°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD