Episode 7 : Ijab Qobul

1636 Words
Keesokan harinya, Tari sengaja berangkat kerja lebih awal. Namun, di luar dugaan, lantaran ternyata, Sam sudah terjaga di sebelah pintu kontrakannya. Sam sampai mengenakan jaket hangat berwarna hitam, terlepas dari kepala pria itu yang tampak setengah basah, sedangkan kedua matanya tampak cukup sipit, yang menandakan pria itu kurang tidur. “Sudah kuduga. Kamu berangkat lebih awal. Kamu sengaja menghindariku?” ujar Sam yang mengakhiri ucapannya sambil mengembuskan napas panjang dari mulut. Tari yang sebenarnya masih bingung karena harus bertemu Sam sepagi ini, bahkan semua pintu kontrakan di sana masih tertutup rapat, berangsur menggeleng sambil tetap menatap Sam. “Hari ini aku memang harus berangkat lebih awal. Hari ini aku akan sangat sibuk.” “Resign saja. Biar aku saja yang kerja,” balas Sam. Tari menggigit bibir bawahnya yang dipoles gincu merah muda, kemudian berlalu sambil mendengkus. Tari bergegas mengunci pintu kontrakannya yang memang tidak begitu luas. Kontrakan yang Tari tempati sendiri merupakan kontrakan kelas menengah. Sam yang masih terjaga, memandangi punggung Tari. “Boleh gandeng tangan?” pintanya yang masih menyimpan kedua tangannya di saku sisi jaket yang dikenakan. Tari yang baru menyimpan kunci kontrakannya ke dalam tas yang menghiasi punggung tangan kanannya, refleks terdiam kemudian mendongak menatap Sam. Namun, bukannya persetujuan yang ia berikan kepada pria itu, Tari justru menggeleng. “Nantilah kalau semuanya sudah jelas.” Tari menghela napas pelan sambil membenarkan posisi kaitan tasnya di pundak kanan. “Mas jangan lupa dengan janji Mas. Enggak boleh nyentuh, sebelum kita nikah sah di depan agama dan hukum!” keluh Tari yang kemudian cemberut dan menunduk. Sam mengangguk-angguk pasrah. “Tapi kalau hari ini kamu sangat sibuk, nanti sore kamu enggak bisa pulang seperti biasa, dong?” Sam masih memandangi wajah Tari yang memang langsung menghanyutkan kehidupannya.  “Enggak sih. Kalau pulang masih biasa. Cuma berangkatnya yang lebih cepat karena memang banyak barang yang harus disusun.” Sore nanti, sesuai rencana, Sam dan Tari memang akan kembali menjalani ijab qobul. Jadi, maksud Sam, jika Tari sampai tidak bisa pulang layaknya biasa, dengan kata lain, Sam juga harus kembali mengatur jadwal ijab qobul mereka. “Ya sudah, kamu jalan dulu,” ucap Sam kemudian. Tari langsung berlalu sembari menyelipkan sebelah anak rambutnya ke belakang telinga. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu melangkah sambil terus menunduk dan sesekali menghela napas pelan, sebab berada di dekat Sam layaknya sekarang, membuatnya merasa sangat tegang. Suasana masih berkabut dengan beberapa embun yang masih menghiasi pepohonan di sekitar, terlepas dari waktu yang menunjukkan tepat pukul enam pagi kurang sepuluh menit ketika Sam memastikannya di arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya. Sam berdeham kemudian merangkul Tari dari belakang. Sebuah kenyataan yang langsung membuat dunia Tari seolah berhenti berputar. “Swetermu terlalu tipis, sedangkan pagi ini sangat dingin. Aku enggak mau kamu kedinginan,” ucap Sam sambil menahan senyumnya. Setelah menghela napas pelan beberapa kali, seiring langkah berikut kehidupannya yang kembali menjadi normal, Tari berusaha menyikapi keadaan dengan setenang mungkin. “Mas sengaja. Mas menang banyak!” cibirnya. Sam hanya mesem tanpa mengubah keadaanya. Ia melangkah sambil terus merangkul kedua bahu Tari dari belakang, seiring ia yang memang menjadi mendekap tubuh Tari sepenuhnya. “Jangan lebih dari ini, lho, Mas! Awas saja kalau Mas berani macam-macam!” lanjut Tari masih mengomel. “Iya. Kamu bisa pegang ucapanku, kok!” balas Sam meyakinkan yang kemudian langsung bergegas membukakan pintu penumpang di sebelah setir, untuk Tari. Untuk saat ini, apa yang Sam lakukan sukses membuat Tari merasa memiliki sosok yang bisa diandalkan. Namun tetap, sebelum ada surat-surat pernikahan yang sah di mata hukum dan agama, Tari belum bisa sepenuhnya tenang. Tari belum bisa sepenuhnya menyerahkan diri kepada Sam. “Tapi Mas harus pegang kata-kata Mas. Karena meski sudah menikah, sebelum ada surat resmi pernikahan, kita enggak bisa tinggal bersama! Dan Mas tetap belum boleh menyentuhku berlebihan!” tegas Tari kemudian sebelum wanita itu masuk dan duduk di kursi sebelah kemudi. Tari menatap Sam dengan sangat memohon. Sam yang masih menahan pintu yang ia buka untuk Tari, langsung mengangguk. “Baiklah ... asal kamu masih menghubungiku, kamu masih ada waktu untukku ... itu sudah lebih dari cukup.” Sam pasrah dan masih menuntun Tari untuk segera masuk ke mobilnya. “Maaf, banget, ya, Mas. Tapi, apa yang kamu lakukan sebelumnya, telanjur bikin aku trauma.” Tari menunduk menyesal tak ubahnya ucapan yang keluar dari mulutnya. Sam mengangguk menerima dan memang masih pasrah. “Iya, enggak apa-apa. Apalagi aku memang salah.” Dan Tari semakin bingung, kenapa Sam mendadak berubah dan sangat perhatian padanya? Pria itu tak hanya memperlakukannya penuh perhatian. Sebab sekadar memasang sabuk pengaman pun, Sam yang melakukan untuknya. Sam melakukannya dengan hati-hati. Membuat Tari semakin tersentuh sekaligus berharap, semuanya akan bertahan selama-lamanya. Sam sungguh mencintainya sampai kapan pun. "Kenapa enggak begini dari dulu, sih?" batin Tari yang diam-diam melepas kepergian Sam. Pria itu memutari mobil bagian depan dan segera masuk ke mobil, sebelum akhirnya duduk di balik kemudi. “Kita sekalian cari sarapan, ya? Kamu belum sarapan, kan?” ujar Sam yang langsung menyalakan mesin mobilnya. “Tapi aku harus masuk cepat, Mas?” ujar Tari sambil menatap Sam yang ia takutkan lupa atau malah tidak percaya dengan pengakuannya yang harus masuk kerja lebih pagi. “Enggak apa-apa. Cuma beli. Makannya nanti kalau kamu sudah sempat. Tapi kamu ya jangan lupa makan. Harusnya tiga hari ke depan, kamu siap-siap resign saja. Tiga hari, surat nikah harusnya sudah jadi,” balas Sam yang sudah mulai mengemudi keluar dari jalanan sekitar yang terbilang masih sangat sepi. Tak ada orang lain yang melintas selain mereka. Menyimak ucapan Sam, Tari hanya diam sambil melangitkan doa terbaiknya. “Semoga, cukup tiga hari, surat pernikahan kita sudah jadi!” batinnya. Memikirkan akan kembali menikah dengan Sam, kembali menjalani ijab qobul dan setelahnya akan menghabiskan waktu bersama pria itu, Tari menjadi merasa sangat tegang. Jantung wanita itu mulai berdetak kencang seiring sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Kenapa aku mendadak setegang ini?” batin Tari yang sampai menggigit bibir bawahnya seiring kedua tangannya yang saling remas di atas pangkuannya. *** Setelah menghabiskan waktunya seharian penuh dengan banyak rasa tegang di tengah kesibukannya yang sibuk bekerja, kedatangan Sam yang datang menjemputnya tepat sekitar pukul setengah lima sore, semakin membuat Tari tidak baik-baik saja. Tari sampai berkeringat sekaligus gemetaran saking gugup sekaligus tegangnya. Tari memperhatikan kedua tangannya yang gemetaran, terlepas dari telapak tangannya yang sudah sampai basah karena keringat. “Kamu kelihatan capek banget?” ujar Sam lantaran selain berkeringat, wajah Tari sampai pucat. Tari tak kuasa menjawab dan justru menggeragap. “Kamu enggak lupa sarapan sama makan siangnya, kan?” lanjut Sam yang kemudian mengambil alih tas Tari yang menghiasi pundak kanan wanita itu. Sam menyimpan tas Tari di bangku penumpang belakang mobilnya, sambil menunggu balasan dari Tari. “Aku gugup. Dan saking gugupnya, aku jadi enggak selera makan, Mas,” ucap Tari akhirnya. Sam mengernyit dan menatap tak habis pikir Tari. “Kok sampai segitunya? Berarti seharian ini, kamu sama sekali enggak makan?”  Tari menunduk dalam sambil menghela napas pelan. “Memangnya gugup kenapa, sih? Gara-gara mau ijab qobul lagi?” lanjut Sam yang kemudian menuntun Tari untuk masuk dan duduk di tempat duduk sebelah kemudi. Tari mengangguk kaku atas rasa gugup yang masih menyelimuti. Ia melakukannya sambil duduk dan membiarkan Sam memasang sabuk pengamannya. “Bisa-bisanya? Yang ngucapin ijab qobul kan aku? Nanti kamu cuma diem kok,” tegur Sam. Tari mendengkus pasrah sambil terus menunduk dalam. “Ya sudah. Tunggu bentar. Aku beli roti sama minum dulu. Seenggaknya kamu harus isi perutmu biar enggak kenapa-kenapa. Kamu ini, ada-ada saja. Bentar, aku beli di swalayan dulu.” Sam berlalu setelah sampai menutup pintu mobil keberadaan Tari. Tari melepas kepergian Sam dengan sedikit kebahagiaan yang membuat rasa tegang dan tengah mengganggunya, menjadi sedikit berkurang. Di depan sana, Sam melangkah dengan tergesa memasuki swalayan. Pria yang dulu selalu bersikap dingin kepada Tari itu langsung menuju area yang memajangkan aneka roti. “Mas Sam kelihatan semakin peduli ke aku. Duh, semoga selamanya selalu begini!” batin Tari seiring senyum tulus yang tiba-tiba saja menghiasi wajah cantiknya. Menggunakan tangan kanannya yang mengambil dua helai tisu dari kotak di sebelahnya, Tari menyeka keringat yang sudah menghiasi wajah berikut lehernya. Ia melakukannya sambil sesekali melirik keberadaan Sam yang kali ini tengah mengantre membayar di salah satu kasir bersama pembeli lain. *** Sam dan Tari melangsungkan ijab qobul di salah satu rumah penghulu pilihan Sam. Lima orang saksi menyertai janji suci Sam dalam mengikat cintanya terhadap Tari. Ada tiga pria paruh baya selain dua wanita yang kiranya masih sebaya. Dan acara ijab qobul yang sukses Sam lafalkan dalam satu tarikan napas itu diakhiri dengan kata "sah" dari kelima saksi. Kemudian, dengan hati yang berbunga-bunga, Sam memberikan tangan kanannya untuk disalami oleh Tari. Tari menyambutnya dengan rasa haru yang membuncah dan memenuhi dadanya. Antara percaya dan tidak percaya, Tari yang memilih bungkam sampai mencium punggung tangan kanan Sam yang ia salami, sangat lama. Di mana, ketika semua itu berlangsung, Sam mengelus kepala Tari penuh cinta, layaknya tatapan Sam yang tak hentinya tertuju pada Tari. Sam ... pria itu memang begitu bahagia atas pencapaian pertama dalam hubungannya dengan Tari. Terlebih, tinggal selangkah lagi seperti janjinya kepada Tari, setelah ia berhasil mendapatkan buku pernikahan resmi mereka di mata hukum, mereka akan tinggal bersama lagi. Bahkan meski hanya baru memikirkan itu saja, Sam seolah semakin dimabuk cinta.  Bahagia dan tidak sabar, itulah gambaran dari perasaan Sam sekarang. Rasanya, ... dunia Sam akan dipenuhi banyak cinta dan kebahagiaan, jika tiba di waktunya nanti, akhirnya ia dan Tari tinggal bersama lagi. Mereka akan hidup dan berbagi cinta tanpa henti. Juga, memiliki pernikahan impian layaknya pasangan pada kebanyakan. Tentunya, Sam tidak akan kembali mengulang kesalahan seperti awal pernikahannya dengan Tari. Sebuah cincin berlian dengan batu permata putih, Sam sematkan di jari manis tangan kanan Tari. Cincin yang menjadi mas kawin sekaligus pengikat hubungan mereka itu tampak sangat pas sekaligus cantik di jari pemiliknya. Dan tak beda dengan Sam, Tari juga merasa sangat bahagia atas status baru mereka, kendati wanita itu belum sepenuhnya baik-baik saja. Tari masih merasa tegang sekaligus takut, di mana wanita ayu itu yakin, semuanya baru akan berlalu setelah surat pernikahan mereka jadi. Setelah Tari melihat dan memegang surat pernikahannya dengan Sam, menggunakan mata sekaligus kedua tangannya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD