“Aku mencintai Tari! Dan jika sekali saja Mas terbukti menyakiti Tari, aku enggak segan buat mengambil Tari dari Mas!”
Episode 8 : Titan Mencintai Tari?
***
“Tidakkah ada yang ingin kamu katakan, sebelum kita sampai di kontrakan?” ujar Sam yang meski berusaha fokus mengemudi, tetapi fokus terlebih tatapannya, terus saja tertuju pada Tari.
Seperti apa yang mereka sepakati, mereka akan tetap hidup terpisah sebelum surat pernikahan mereka yang sah secara hukum, jadi dan Tari terima. Namun, yang membuat Sam bingung, kenapa wanita yang telah kembali resmi menjadi istrinya itu masih saja terlihat tegang, padahal acara ijab qobul sudah mereka lalui? Atau mungkin, Tari masih takut kecewa karenanya? Terlebih sebelumnya, Tari sempat berujar, wanita itu trauma atas apa yang Sam lakukan sebelumnya, sebelum akhirnya mereka kembali resmi menjadi suami istri?
“Ri, ngobrol, dong?” pinta Sam kemudian lantaran Tari tak kunjung membalasnya. Sam mulai takut, wanita di sebelahnya ragu dan sampai berubah pikiran kemudian justru memilih untuk kembali meninggalkannya.
Tari yang sedari awal hanya diam, lebih tepatnya, semenjak Sam benar-benar mengikat Tari dengan ijab qobul berikut cincin berlian sebagai mas kawinnya, menjadi terkesiap lantaran Sam sampai mengelus kepala Tari. Sam tetap melakukannya kendati Tari sudah menoleh dan menatapnya.
Sam menatap Tari sambil mengulas senyum. Ada kebahagiaan tersendiri ketika Sam kembali mendapatkan tatapan penuh keteduhan dari Tari layaknya kini. Dan sepertinya, wanita itu sudah mulai kembali membuka hati untuknya.
“Mas, Mas yakin dengan keputusan kita?” ujar Tari yang justru menjadi ragu dengan apa yang telah mereka lalui.
“Sudah dijalani, kenapa harus bertanya seperti itu?” balas Sam yang menatap heran Tari. “Sepertinya, hari ini kamu terlalu lelah. Nanti langsung istirahat, ya?” lanjutnya.
“Iya. Mungkin karena hari ini, aku terlalu lelah. Jadinya aku jadi begini.” Tari menghela napas lirih.
“Jangan lupa makan malam juga,” lanjut Sam. Karena sebelum kembali, tadi mereka sempat membeli makan malam. Satu untuk Sam, satu lagi untuk Tari.
“Iya, Mas.” Tari menjawab kilat tanpa sedikit pun menatap Sam. Tatapannya kosong menatap suasana luar melalui kaca jendela pintu di sebelahnya.
"Semenjak kamu pergi, semenjak itu juga hatiku menjadi sangat sepi," ucap Sam. Meski pada kenyataannya, rasa sepi itu baru Sam rasakan semenjak pria itu mengetahui, jika wanita yang ia cintai semenjak ia menceraikan Tari, justru masih wanita yang sama. Sam sengaja kembali membuka obrolan setelah suasana menjadi hening lantaran baik dirinya maupun Tari tak ada lagi yang melanjutkan obrolan dalam kebersamaan mereka.
“Aku benar-benar minta maaf untuk semua kesalahanku, Ri ....” Dan untuk kali ini, Sam kembali tulus.
Beberapa kali, sambil terus fokus mengemudi, Sam juga menciumi punggung tangan Tari yang terus saja ia genggam erat. Sam melalukannya agar Tari tidak pernah meninggalkannya lagi bahkan meski baru berpikir untuk melakukannya.
“Andai, dari awal Mas juga begini, pasti aku enggak ragu apalagi takut ditinggal lagi!” batin Tari yang membiarkan tangannya digenggam sekaligus diciumi Sam. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, Tari memang takut kembali dicampakkan oleh Sam. Tari takut, Sam mendadak kembali berubah dan tak lagi menginginkannya, layaknya sebelumnya. Tari takut, Sam kembali menjadi pribadi dingin sekaligus bengis dan tak sehangat sekarang lagi!
“Tapi enggak apa-apa, sih. Aku sama Mas Sam kan baru akan tinggal bersama setelah surat-surat pernikahan kami jadi!” batin Tari lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Sebatas digenggam dan diciumi tangannya, Tari bisa memakluminya lantaran biar bagaimanapun, Sam suaminya. Sam berhak melakukan sekaligus mendapatkannya, bahkan seharusnya lebih. Namun demi membuktikan keseriusan pria itu, Tari akan menunggu hingga Sam benar-benar menuntaskan persyaratan yang ia berikan.
Tari sungguh tidak bermaksud egois perihal keputusannya. Ia hanya berusaha menjaga diri berikut masa depannya. Terlebih, baik buruknya yang akan terjadi nanti, juga akan kembali pada Tari yang menjalani.
Tak lama kemudian, mobil Sam menepi di depan gang menuju kontrakan selaku tempat tinggal Tari. Di tengah suasana luar yang sudah dikuasai kegelapan malam, hati Tari justru menjadi gamang. Entahlah ... Tari sendiri merasa bingung dengan apa yang sebenarnya sedang dirinya rasakan? Dan sepertinya, satu-satunya hal yang bisa meredamnya jika Sam sudah memberinya buku pernikahan. Ya, jika ia sudah mengantongi buku pernikahan mereka, semua rasa aneh yang hanya membuat Tari bingung tersebut pasti akan usai.
"Maaf, ya, Mas ... aku enggak bermaksud membatasi hak Mas sebagai suamiku. Aku melakukan semua ini demi kebaikan bersama.” Tari tertunduk menyesal tanpa menatap Sam yang baru saja mematikan mesin mobilnya.
“Aku menghargai keputusanmu, Ri ... enggak apa-apa. Terlebih biar bagaimanapun, semua ini terjadi karena kesalahanku,” balas Sam berusaha berlapang d**a. “Sudah, kita jangan sedih-sedih apalagi saling menyalahkan terus. Enggak baik buat emosional kita!” Kali ini Sam mengelus-elus sebelah bahu istrinya yang telah sampai ia rangkul.
Tari mengangguk lemah sebanyak dua kali, tanpa melakukan perubahan berarti. Dan mendapati itu, tangan kiri Sam yang sempat menggenggam tangan Tari, berangsur mengelus punggung kepala wanita itu.
"Ya sudah aku masuk dulu. Mas pulang dan istirahatlah,” sergah Tari akhirnya.
“Memangnya, kamu enggak mau mengajakku mampir?" balas Sam yang menjadi bersedih lantaran dirinya masih ingin lebih lama bersama Tari.
Sambil menatap Sam berikut melepas sabuk pengaman dari tubuhnya, Tari segera menggeleng. “Aku mau tidur lebih awal, Mas. Lagian aku takut terjadi apa-apa dengan kita, kalau kita terus bersama. Sabar, ya?”
Sam mengangguk-angguk mengerti, pasrah menerima penjelasan Tari. “Ya sudah, aku antar kamu sampai depan.”
Sam mengantar Tari hingga depan pintu kontrakan wanita itu tinggal. Sam terjaga, melepas Tari dengan tatapan penuh cinta, di tengah kedua tangannya yang tersimpan di sisi saku celana kerja yang dikenakan. “Selamat istirahat. Jangan lupa makan malammu.”
“Iya. Mas juga, ya?” balas Tari yang kemudian mengulas senyum sambil menatap Sam.
“Ya sudah. Sana masuk.” Sam mengangguk ikhlas melepas Tari yang masih mengulas senyum kepadanya.
“Maaf, Mas. Selamat malam. Selamat istirahat juga,” ucap Tari mengakhiri kebersamaan mereka karena setelah itu, ia masuk dan meninggalkan Sam.
Apa yang terjadi pada mereka memang terkesan aneh. Mereka telah menikah dan sepantasnya mereka tinggal bersama. Namun sekali lagi, Tari melakukannya demi kebaikan bersama. Demi kebaikannya dan Sam bahkan anak mereka. Karena Tari tidak mau, anaknya ikut menjadi korban apalagi jika statusnya sebatas anak siri yang sampai kapan pun tidak akan memiliki hak seorang ayah, di depan hukum.
Setelah merasa jauh lebih tenang bersama helaan napas dalam yang dilakukan, Sam memutuskan untuk kembali ke mobil yang terparkir sekitar lima belas meter dari depan pintu tempatnya terjaga. “Sabarlah. Tiga hari lagi, pasti sudah bisa bareng-bareng!” pikir Sam mencoba menenangkan sekaligus meyakinkan dirinya sendiri.
****
Yang membuat Sam bingung, kenapa Titan sudah ada di sebelah pintu bekas Tari duduk? Sejak kapan adiknya itu di sana? Dan kenapa juga, adik semata wayangnya itu menatapnya dengan tatapan penuh kebencian? Kenapa Titan terlihat sangat marah dan itu kepadanya?
Sam sengaja mempercepat langkahnya demi segera sampai di hadapan Titan. Ia ingin memastikan apa yang sebenarnya menimpa adiknya itu? Yang membuat Sam semakin bingung, Titan sampai terlihat berkaca-kaca. Kenapa Titan marah bahkan nyaris menangis dalam waktu yang bersamaan? Sam mulai kacau dan tidak bisa hanya diam.
“Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Sam dengan nada cemas meski terdengar dingin, dan memang sudah menjadi ciri khasnya.
Titan menghela napas dalam demi meredam kekesalan yang sudah nyaris membuatnya meledak. “Kalau Mas memang enggak bisa menerima Tari dengan tulus, lepaskan Tari sekarang juga, Mas! Aku enggak akan rela, jika wanita setulus Tari, hanya Mas permainkan!” tegasnya meledak-ledak kendati ia masih berbicara dengan nada lirih.
Apa yang Titan tegaskan langsung membuat Sam merinding. Pria itu mengernyit, menatap sang adik dengan tatapan tidak mengerti. “Apa maksudmu berkata seperti itu kepadaku?”
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu ke Mas! Apa maksud Mas melakukan ijab qabul lagi dengan Tari, bahkan kalian sampai tinggal terpisah?! Ternyata dugaanku benar, kan, kalau selama ini, kalian memang tinggal berpisah? Dan aku yakin, pasti Mas yang salah!” balas Titan tanpa bisa mengontrol emosinya. Nada suaranya sampai naik drastis.
Kedua tangan Titan yang berada di sisi tubuh mengepal dengan sangat kencang. Tak kalah kencang dari rahangnya yang menegang, akibat kekesalannya yang begitu besar terhadap Sam, hingga gigi-giginya saling bertautan.
Sam menghela napas cepat. "Titan, jaga ucapanmu. Meski kamu adikku, enggak sepantasnya kamu berbicara seperti itu! Dan kamu juga enggak sepantasnya mencampuri urusanku terlalu jauh." Meski berbicara lirih, tapi nada suara Sam terdengar tegas. Tentunya, Sam masih bisa mengontrol emosinya kendati apa yang Titan lakukan, sangat membuatnya terkejut. Tak pernah Sam bayangkan sebelumnya, Titan akan nekat marah-marah kepadanya dan itu karena hubungan Sam dengan Tari.
Sam yang masih menyikapi keadaan dengan tenang, berusaha memberi Titan pengertian.
“Aku melakukan ini, bukan karena Mas. Aku melakukan ini, karena aku peduli sama Tari!” tegas Titan lagi masih belum bisa mengakhiri emosinya.
Titan yang memiliki perawakan lebih kurus dari Sam, masih meledak-ledak. Berbeda dengan Sam yang masih menyikapi keadaan dengan kepala dingin bahkan cenderung tenang.
Namun kali ini Sam bersedekap sambil menghela napas jauh lebih dalam. Ia menatap saksama wajah khususnya kedua mata sang adik. Ia melakukannya demi mengetahui apa yang membuat Titan menjadi begitu seemosional sekarang.
“Aku mencintai Tari! Dan jika sekali saja Mas terbukti menyakiti Tari, aku enggak segan buat mengambil Tari dari Mas!” tegas Titan kemudian dengan emosi yang masih meledak-ledak.
Apa yang baru saja Titan tegaskan membuat sebagian nyawa Sam seolah dicabut paksa. Titan adiknya mencintai Tari? Atas dasar apa? Dan sejak kapan semua itu terjadi? Kenapa Titan baru mengatakannya setelah Tari menjadi istri Sam, bahkan Sam sampai tidak bisa hidup tanpa Tari? Sungguh, Sam sampai syok gara-gara pengakuan tersebut!
Sam ingin mencari tahu lebih jauh mengenai maksud Titan, tapi Titan berlalu begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut. Punggung adiknya itu semakin jauh bahkan menghilang dari pandangannya, di antara kegelapan malam yang memang sudah menguasai suasana. Akan tetapi, Sam sangat mengharapkan penjelasan dari Titan perihal ucapan pemuda itu. Tentunya, Sam tidak rela jika Titan sampai merebut Tari, bahkan sekalipun pria itu merupakan adik kandungnya! Sam benar-benar tidak rela!
“Titan sadar berbicara seperti itu? Tapi aku rasa, dia sadar dan memang enggak mabuk?” gumam Sam yang menjadi dilanda banyak kerisauan.
“Titan, mencintai Tari?” Sam resah seresah-resahnya, apalagi yang mengancam akan merebut Tari justru adiknya sendiri.
Bersambung ....