BAB 7: Malaikat Bersayap Hitam

2853 Words
Perlu tiga menit bagi Paula dan Winter berjalan dari toko pakaian menuju restorant. Kali ini Paula juga memilih restaurant yang mahal  juga, tidak hanya itu, pegawai yang bekerja dan manajer restorant  juga mengenal Winter dengan baik dan menyabutnya. Winter langsung menyadari jika tempat yang Paula pilih rupanya menjadi tempat yang sering mereka kunjungi. Entah apa lagi yang kali ini akan Paula lakukan. Winter hanya diam dan mengikuti alur permainan Paula. Paula langsung mengatur tempat duduk untuk mereka, dia bersikap seperti sahabat yang sangat baik penuh pengertian. Paula juga memesankan semua makanan yang Winter suka hingga meja mereka di penuhi dessert, kue dan makanan juga minuman manis yang lainnya. Paula sangat tahu apa yang Winter suka dan apa yang tidak Winter suka mengenai makanan. “Winter makanlah. Kau pasti lapar, aku minta maaf karena membuatmu lelah.” Kata Paula dengan senyuman tulusnya. Paula bersikap seperti sahabat yang sangat pengertian dengan memesankan semua makanan kesukaan Winter meski dia sendiri tahu betapa tidak sehatnya makanan itu, Paula tetap memesannya karena dia ingin Winter menjadi sakit dan semakin buruk rupa. Sangat menjengkelkan untuk Winter. Paula memesakan semua makanan manis dan tidak sehat untuknya, sementara Paula sendiri hanya memesan sepiring steak dan minuman biasa. “Terima kasih Paula.” Jawab Winter terlihat senang. Pauala semakin tersenyum lebar. “Makanlah.” Winter segera mengambil sendok dan mulai memakan makanan yang di pesan Paula. Winter mengambil satu sendok makanan di setiap piring yang ada agar semuanya berbekas. Dengan sangat handal Winter masih menunjukan minatnya pada makanan dengan porsi yang besar. Paula langsung di buat tersenyum puas karena Winter kembali seperti dulu. Bibir Winter sedikit menekan menahan sakit sambil mengusap perunya, “Aku harus ke toilet dulu.” Ringis Winter berpura-pura sakit perut. “Baik, pergilah. Jangan lupa berdandan, Hendery pasti segera sampai.” Winter hanya tersenyum manis dan segera beranjak, gadis itu melangkah pergi meninggalkan Paula menuju toilet. Begitu sudah sampai di toilet, Winter langsung pergi ke toilet memuntahkan semua makanan yang baru sampai ke tenggorokannya. Winter harus olaharaga beberapa jam untuk membuang kalori dari makanan yang sudah dia makan jika di biarkan begitu saja di perutnya. Akan lebih baik Winter membuangnya secepatnya selagi masih bisa di keluarkan. Winter keluar dari kamar mandi dan berkumur. Winter menyempatkan diri untuk menghubungi salah satu bodyguardnya agar mengambilkan dompet miliknya yang dia buang ke tempat samp*h sebelum hancur. Winter kembali keluar dari dari toilet kembali dan menemui Paula yang kini duduk sendirian. Tidak berapa lama seorang pria berpakain hitam dan terlihat muda, juga menarik datang menghampiri mereka. Paula tersenyum lebar segera berdiri menyambut kedatangan Hendery yang datang sendirian. Pria itu tidak memakai seragam sekolahnya karena masih di skors atas tindakannya kepada Winter yang menyebar luas di forum sekolah. Winter yang duduk dan bersedekap sedikit mengangkat pandangannya dan membalas tatapan Hendery yang meliriknya saat berbicara dengan Paula. Kening Winter sedikit mengerut dan sedikit berdecih. Rupa fisik Hendery  benar-benar tidak masuk ke dalam kualifikasi sempurna pria idaman seorang Kimberly. Jiwa Kimberly sedikit tertawa, menertawakan selera Winter yang sangat benar-benar tidak ada levelnya bagi seorang Kimberly. “Hendery, akhirnya kau datang.” Sambut Paula yang langsung memeluk Hendery dengan akrab. Hendery sedikit tersenyum tipis terlihat ramah. “Apa aku terlambat?.” “Tentu saja tidak. Duduklah, Winter sudah menunggumu.” Hendery dan melirik Winter yang tetap duduk di tempatnya terlihat tidak begitu peduli dengan kedatangannya. Perhatian Hendery tertuju pada meja, Hendery menahan cemoohannya melihat meja yang di penuhi makanan. Andaikan saja dia tidak memiliki kesepakatan dengan Paula, dia sama sekali tidak ingin datang dan melihat wajah Winter yang buruk rupa itu untuk yang ke dua kalinya. Sudah cukup Hendery mendapatkan hukuman dari sekolah, sangat menjij*kan untuknya menemui gadis yang sudah membuat hidupnya menjadi susah. “Winter, hay.” Sapa Hendery dengan ramah. Perlahan Paula mundur, tangannya sedikit meremas lengan Hendery memberikan kode kepada pria itu untuk bersikap manis kepada Winter seperti apa yang sudah mereka sepakati. Hendery langsung tersenyum kepada Winter, tatapannya menjadi teduh menciptakan kesan perasaan bersalah. Jari Winter bergerak lembut di bawah meja, jika Hendery dan Paula bisa berpura-pura di depan Winter, maka Winter akan meladeninya dengan berpura-pura juga. “Winter” Hendery melewati Paula dan segera duduk di kursi yang paling dekat dengan Winter. Pria itu duduk menghadap Winter dan menatap mata Winter dalam-dalam, “Aku minta maaf.” Bola Mata Winter terbelalak membulat sempurna berakting pura-pura kagat dan tidak percaya. “Aku meminta maaf atas kejadian waktu itu. Tidak seharusnya aku berkata kasar kepadamu dan mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya aku ucapkan. Aku sedang memiliki masalah sendiri dan tidak dapat mengontrol emosiku sendiri, aku menyalurkan kemarahanku kepadamu yang tidak tahu apa-apa. Aku sangat menyesal, aku merasa malu untuk menemuimu seperti ini, namun aku harus tetap meminta maaf agar hatiku bisa tenang.” Ucap Hendery panjang lebar. Winter menutup mulutnya dan melihat Paula meminta bantuan bantuan Paula untuk menjawab. Melihat keterkejutan Winter dan kegugupannya yang tidak berani dan malu berinteraksi dengan pria membuat Paula sedikit tertawa puas. Paula Sangat puas melihat Winter terlihat menyedihkan dan tidak bisa melakukan apapun. “Winter, apakah kau mau memaafkan Harry?.” Tanya Paula hati-hati. Winter terdiam. “Winter, Hendery sangat merasa bersalah. Percayalah padaku, dia tidak pernah bermaksud menyakitimu.” Nasihat Paula. “Aku siap melakukan percobaan kencan denganmu. Ini bukan bagian dari menebus permintaan maaf, namun ini murni dari keinginanku sendiri.” Tawar Handery meyakinkan. Winter tertunduk malu mendengarnya, “Maaf, aku tidak bisa.” Tolak Winter dengan suara begetar. “Winter!. Mengapa?. Ini impianmu, sudah aku katakan kepadamu sejak awal, perasaanmu tidak bertepuk sebelah tangan. Hendery juga tertarik padamu. Lihatlah ketulusan Hendery.” Nasihat Paula meyakinkan Winter. Perlahan Winter mengangkat kepalanya lagi dan menatap Haendery dengan lekat. “Aku tidak bisa.” Tangan Hendery mengepal, rahangnya mengeras merasa terhina di tolak gadis buruk rupa dan bod*h seperti Winter. Dia sudah berusaha dan berpura-pura tidak jijik kepadanya, namun sikap Winter yang tidak tahu malu itu, bagi Hendery sudah sangat keterlaluan. “Kenapa?.” Tanya Hendery masih berusaha bersikap lembut. “Aku minta maaf. Sepertinya kalian di buat salah paham. Aku tidak menyukai Hendery sama sekali, saat itu aku memberikan kertas titipan dari Stefani, namun karena kau kau langsung menolak dan menghinaku, aku tidak memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan. Aku sama sekali tidak tertarik padamu.” Wajah Hendery pucat pasi semakin merasa terhina dan malu. Pria itu membungkam seribu bahasa mehanan amarah yang membeludak di hatinya. “Kau bohong Winter. Winter jangan berbohong.” Desak Paula sedikit panik. “Kau sendiri yang mengatakan jika kau tertarik kepada Hendery.” Tangan Hendery terkepal kuat, “Aku permisi pulang.” Pamit Hendery langsung beranjak dan pergi dengan langkah lebar juga tergesa meninggalkan restorant. “Winter apa yang kau lakukan?” tanya Paula yang pada akhirnya menaikan nada suaranya. “Kenapa kau menjadi pandai berbohong?.” Mata Winter berkaca-kaca, “Maafkan aku Paula. Aku terlalu gugup dan malu, aku tidak memiliki keberanian untuk dekat dengan dia, jadi aku mengusirnya. Lebih baik aku tidak sama sekali dekat dan mengenalnya lagi.” Jawab Winter dengan sedih. “Tapi apa yang kau lakukan membuat usahaku menjadi sia-sia Winter.” Winter tertunduk sedih melihat kemarahan Paula, “Aku mau pulang.” Paula memijat batang hidungnya menahan teriakan keras, dia harus tetap bersikap manis agar Winter terus menerus bergantung kepadanya. “Baiklah, kamu bayarlah dulu makanannya.” Winter mengangguk patuh, dia merongoh isi tasnya hendak mengambil dompet. “Paula.” Panggil Winter dengan ekspresi kaget. “Dompetku tidak ada.” Bisik Winter panik. “Yang benar saja Winter!.” Paula hampir berteriak memaki, gadis itu langsung mendekat dan duduk di kursi yang sudah di duduki Harry. “Coba aku lihat.” Ucap Paula seraya merenggut tas Winter dan mencari-cari dompetnya. Sikap semena-mena Paula yang membuka semua isi tas Winter dan mengeluarkannya begitu saja membuat beberapa orang di sekitarnya menjadi melihatnya. Namun Paula tidak peduli sama sekali. Paula tidak menemukan apapun. “Ke mana dompetmu?. Kenapa bisa hilang?.” Tanya Paula bingung. Winter kembali mengambil tasnya dan memasukan semua barang-barangnya, Winter segera berdiri. “Aku harus pergi ke kantor polisi, tolong bayarkanan makanannya karena aku sudah membayar bajumu.” “Sejak kapan kau menjadi perhitungan kepadaku Winter?.” Tanya Paula panik, dia tidak memiliki uang sebanyak itu, karena itulah dia selalu memanfaatkan Winter untuk tujuannya. “Paula, aku sedang kehilangan dompetku. Tolong mengertilah. Aku akan pulang bersama sopirku untuk melapor polisi. Kau naik taxi saja.” Ucap Winter seraya berlari pergi meninggalkan Paula dengan cepat. Winter harus segera pergi sebelum Paula berteriak dan menahannya lagi. “Winter! Tunggu!” teriak Paula dengan keras, Paula terduduk dengan wajah pias tidak bisa bergerak ke manapun karena manajer restorant berada di kasir memperhatikan teriakan Paula. Paula hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah, wajahnya berubah pias karena panik harus membayar semua makanan yang ada di meja. Bibir Paula menekan menahan teriakan kerasnya merasa terjebak dengan permainan kecilnya sendiri. *** “Nona.” Nai memberikan dompet yang sudah dia temukan di mesin penghancur samp*h kepada Winter. Pria itu memasang ekspresi dingin di balik kacamata hitam yang dia kenakan. Wajahnya yang sudah menua terlihat masih tampan dan gagah, namun belakang kepalanya terlihat berkilau karena rambutnya yang rontok. “Terima kasih.” Winter tersenyum puas melihat dompetnya masih mulus. Nai mengangguk singkat dan segera menutup pintu mobil, pria itu segera pergi mengitari mobil dan menyusul masuk. Nai duduk di kursi depan dan meminta sopir melajukan mobilnya. Winter menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi merasa sangat lelah, fisiknya yang besar membuat dia menjadi cepat merasa lelah dan kesulitan bernapas. Beruntung sekarang musim salju, Winter akan lebih banyak kedinginan di bandingkan dengan kepanasan. Winter tidak bisa membayangkan betapa menyebalkannya jika tubuhnya banyak berkeringat. Mobil melaju perlahan meninggalkan tempat itu, Winter bergeser ke sisi melihat bangunan kuno yang di lewatinya,  para pelancong terlihat berdiri di bangunan bersejarah, beberapa di antara mereka duduk di bus dan melihat pemandangan indah kota. Para pemakai sepedah berjajar rapi menunggu kereta yang lewat. Cuaca dingin hari itu masih terasa meski langit biru cerah. Winter menarik napasnya dalam-dalam melihat danau Aldes yang terlihat berkilauan melukiskan bayangan bangunan-bangunan yang berdiri di sekirarnya. “Berhenti di sini.” Pinta Winter dengan mata yang sedikit bergetar. Nai melihat ke belakang. “Anda perlu sesuatu?.” “Aku ingin berjalan-jalan sebentar dan melihat sekitar.” Nai segera turun begitu mobil menepi, dia membukakan pintu untuk Winter dan mengingatkan gadis itu untuk memakai jaket. Winter keluar dari mobilnya dan berjalan di ikuti Nai di belakang.  Bibir mungil Winter sedikit terbuka, gadis itu bernapas dengan sedikit cepat melewati beberapa bangunan gedung berasitektur indah yang menjadi ikonic kota Loor. Langkah Winter terhenti di pertengahan bangunan pusat kota, gadis itu terdiam di persimpangan jalan yang di kelilingi gedung-gedung utama. Winter kembali melangkah dengan sedikit gemetar kedinginan dan merasa cukup kesakitan karena heels yang di kenakannya. Winter berhenti di depan sebuah hotel, gadis itu terdiam terpaku melihat bangunan indah yang berdiri kokoh itu di cat serba hitam. Kepala Winter menengadah melihat patung  Kimberly yang kembali di bangun lebih indah setelah di hancurkan begitu saja karena scandal yang membuat Kimberly bunuh diri. Mata Winter sedikit berkaca-kaca, tangannya mengepal kuat melihat patung indah indah itu. Di sinilah.. Di tempat inilah.. Terlahirnya Kimberly yang di juluki si malaikat bersayap hitam. *** Flashback Para tamu undangan dari berbagai kalangan berdatangan di malam itu, mereka terlihat elegan indah untuk di pandang karena pakaian yang mereka kenakan di buat oleh para desainer hebat dan beberapa di antaranya adalah di buat khusus untuk mewakilkan brand. Sementara itu, di dalam gedung hotel, desainer, penyelenggara fashion show hingga pemilik gedung hotel berdiskusi dengan serius. Dua puluh menit sebelum fashion show itu akan di buka, tiba-tiba gerimis turun membuat panggung untuk berjalan para model menjadi basah dan harus beberapa kali di lap. Mereka berdiskusi dan berdebat karena perkiraan cuaca kali ini sangat meleset dari perkiraan. Padahal malam ini adalah puncak dari akhir musim gugur. Sebuah jalan untuk model membentang  jauh dari pintu hotel hingga keluar dan berhenti tepat di depan persimpangan jalan yang akan langsung menjadi pusat perhatian semua pengendara dan pejalan kaki. Beberapa televisi besar yang terpasang di jalan pusat kota langsung menayangkan acara. Gedung-gedung berubah berwarna di hiasai lampu LED membuat malam yang gelap menjadi penuh cahaya. Acara ini sangat besar, mereka tidak memiliki waktu untuk membuat tenda yang meneduhi jalanan untuk para model. Akan sangat rugi juga jika acara di batalkan karena semua persiapan di lakukan selama satu tahun lamanya. Para model yang tengah merias diri dan memakai busana, mereka terlihat khawatir mereka akan jatuh. Namun mereka tidak bisa menghentikan itu karena para petinggi tidak mungkin mau rugi dan di cap tidak professional. Seorang wanita cantik bermata biru, berwajah tirus berdiri di sisi jendela melihat keluar, dia terdiam seperti mannequin. Rambutnya yang pirang di buat bergelombang dan terlihat berkilauan saat bergerak. Wajahnya yang berkulit seperti porselen itu di polesi makeup yang sedikit gelap di bagian mata untuk mempertajam tatapannya, rahangnya menjadi tegas, bibir yang merah. Wanita itu tetap diam membiarkan beberapa desainer membantu mengenakan gaun berwarna hitam indah pada tubuhnya. Seorang perancang gaun datang dan berbicara dengan model membicarakan hasil diskusi mereka dengan para petinggi. Setelah mendengarkan cerita perancang busana itu, para model merasa percaya diri untuk tetap melanjutkan acara. Namun berbeda dengan gadis bergaun hitam itu, dia menengok perlahan dan mengangkat dagunya. “Anda tidak melihat?. Lihatlah, gerimis tidak berhenti dan membuat lantai tetap basah.” Pria yang di ajaknya berbicara itu langsung menatap tajam Kimberly. “Tidak bisa Kimberly. Para petinggi menolak membatalkan acara. Mereka hanya memberi waktu pengunduran waktu selama sepuluh menit.” Jawab Pria itu dengan tegas. Pandangan Pria itu mengedar melihat para model yang sudah terlihat sangat luar biasa. “Kalian adalah model professional, kalian harus bisa tetap menunjukan kemampuan kalian di manapun dan dalam keadaan apapun.” “Pers*tan dengan kata professional.” Sela Kimberly dengan tajam. “Jika kalian menuntut model professional, kalian juga harus menyiapkan panggung yang lebih professional agar keselamatan para model terjamin. Panggung itu setinggi dua meter, tulang model akan patah jika terjatuh dan terpeleset.” “Diamlah Kimberly. Kami tidak keberatan dengan panggung yang basah.” Kata Lexy, wanita yang bergaun putih seperti salju. “Bilang saja kau takut karena ini untuk pertama kalinya kau memakai gaun, kau kan hanya terbiasa memakai pakaian dalam saja. Kau khawatirkan kan? Kau tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhmu karena gaun terbaik malam ini di pakai olehmu.” Kimberly tersenyum smirk. “Tutup mulut sial*nmu itu. Aku bicara karena aku kasihan kepada kalian.” “Diamlah!. Berhenti bertengkar. Bersiaplah, dan lakukan yang terbaik malam ini!.” relai pria itu dengan sedikit bentakan. Pria itu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan. Semua model menatap tajam Kimberly penuh permusuhan, mereka tidak suka dengan ucapan sombong dan kasar Kimberly. “Ucapanmu akan di buktikan saat runaway.” Tantang Lexy. Semua model bubar dan kembali bersiap karena waktu mereka sebentar lagi. Kimberly menyeringai jahat merasa tertantang dengan ucapan sesama modelnya. Dengan tenang Kimberly  menarik napasnya dan menarik ke atas gaunnya yang berat dan sangat lembut, Kimberly mengenakan heels setinggi lima belas centi meter dan membuat dia tampil benar-benar seperti dewi dalam mitologi Yunani. Gaun hitam yang di kenakan Kimberly terlihat sangat elok karena di buat oleh lebih dari lima penjahit, selain di buat dengan sangat teliti, namun gaun itu juga di buat penuh makna. Kebetulan Kimberly adalah model yang memenangkannya karena karakternya yang kuat. Banyak model yang iri dan merasa Kimberly tidak pantas mengenakan gaun itu. Semua model perlahan berkumpul dan berdoa, suara pemberitahuan acara akan segera di buka membuat semua orang perlahan keluar dari ruangan dan menunggu pemanggilan. Seorang pria berwajah tampan datang ke panggung dan duduk di depan piano, lampu-lampu menyoroti sepanjang jalan untuk model dan membuat para tamu dapat melihatnya dengan leluasa meski gerimis tidak dapat berhenti. Suara musik perlahan mengalun membuat pria itu perlahan bernyanyi. “Lexy, bersiaplah.” Suara pemanggilan di balik panggung terdengar di monitor. Wanita yang beragaun putih itu segera pergi menuju pintu keluar, lampu menyoroti bayangannya. Dengan cantik Lexy mengibaskan ujung gaunnya dan berjalan dengan senyuman. Para pengguna jalan perlahan memilih berhenti dan melihat pertunjukan terbesar di setiap tahun itu. Kipas yang berada di pertengahan dan ujung jalan menciptakan angin yang kuat dan membuat gaun Lexy berkibar sempurna. Beberapa model ikut keluar setelah Lexy sudah sampai ujung jalan, wanita itu berbalik dengan heelsnya dan terpeleset membuat beberapa orang tersenyum kaku melihat Lexy berusaha berdiri dengan gaun cantiknya. Beberapa model yang keluar menyusul keluar. Beberapa kali mereka melihat lantai karena licin, pada akhirnya beberapa di antara mereka terjatuh bahkan ada yang terjungkal dari panggung. Gerimis turun di malam itu menjadi semakin kuat menjadi terlihat berkilauan, namun sangat membasahi lantai. Para desainer berdiri dengan khawatir dan terus memberikan saran kepada model yang akan segera keluar, namun mereka tetap terjatuh. Pada akhirnya para model memutuskan melepaskan heels mereka saat keluar dan menjinjing heels mereka agar aman, mesk beberapa kali terpleset. “Kimberly lepaslah heelsmu. Semua model melepaskan heels mereka.” Nasihat seorang desainer karena  kini giliran saatnya Kimberly yang keluar. Alih-alih melepaskan heelnya, Kimberly hanya menengok dan mengacungkan jari tengahnya kepada desainer itu. Dengan angkuh dan percaya diri Kimberly keluar seakan menantang gerimis untuk beradu siapa yang lebih mempesona. To Be Continue.. Jika cerita ini tidak update lebih dari 2 minggu, itu artinya cerita ini akan ikut kontes girl power. Mohon dukungannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD