“Winter, kau kan vegetarian” ucap Paula dengan sedikit panik. “Ada banyak cake dan makanan manis kesukaannmu di sini, tapi kenapa kau malah memakan daging? Kau lupa jika kau ini vegetarian?.”
“Aku tidak lupa, memangnya kenapa jika ingin makan daging?” Tanya balik Winter yang kini berpura-pura polos. Winter segera mengambil pisau dan garpu, dengan cekatan dia memotong daging. “Aku hanya memakan daging, itu hal biasa Paula, yang luar biasa itu teman makan teman.”
Wajah Paula memucat kaget, ucapan Winter sangat menusuk dan membuat Paula seperti di tampar karena merasa tersindir.
Paula benar-benar tidak mengerti mengapa Winter menjadi sangat berubah dan sangat berbeda dari Winter yang selama ini dia kenal.
Manusia tidak mungkin bisa berubah dengan cepat, apalagi jika menyangkut sebuah sifat dan kebiasaan. Paula percaya itu.
Paula menjadi curiga jika Winter berubah setelah pertengkaran mereka di atap gedung sekolah. Namun, di sisi lain Paula juga tidak mengerti, jika memang Winter berubah karena pertengkaran mereka waktu itu, seharusnya kini Winter membenci dirinya dan tidak memaafkannya.
Paula teringat betapa marah dan bencinya Winter kepadanya saat kejadian waktu di atas atap gedung sekolah itu.
Setelah pertengkaran hebat itu, kini Winter masih memaafkannya seakan pertengkaran waktu itu adalah pertengkaran kecil yang mudah untuk di lupakan, padahal Paula tahu betul betapa hancurnya Winter pada saat itu.
Ada yang salah..
Paula harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Winter.
Paula berdeham tidak nyaman dan segera duduk di hadapan Winter, Paula tersenyum lebar terlihat cantik.
“Winter, aku baru saja menghubungi Hendery, dia setuju ingin bertemu denganmu nanti sore di restaurant biasa kita makan. Kau setuju kan? Kau jangan khawatir, aku akan menemanimu, dia tidak akan berbuat apapun lagi kepadamu, aku berjanji.”
Mata Winter sedikit berkedut merasa jijik, namun Winter berhasil mengubah kekesalan di wajahnya menjadi eskpresi sedih dan takut untuk mengelabui Paula.
Winter tahu jika Paula curiga dengan perubahannya.
Winter sadar bahwa dia belum begitu bisa mengontrol diri atas emosi dan tempramentnya karena terlalu marah dan benci kepada Paula. Kedepannya, Winter akan berusaha menahan diri lebih baik untuk meyakinkan Paula bahwa dia tidak berubah sama sekali.
“Winter.” Paula tersenyum lembut seraya meraih tangan Winter dan menggenggamnya, kesedihan dan takut di wajah Winter membuat Paula diam-diam tersenyum.
Kekhawatiran Paula rupanya tidak nyata. Winter tetaplah Winter, gadis buruk rupa yang bodoh dan hanya beruntung karena terlahir kaya raya.
Namun semua keberuntungan Winter akan lenyap sebentar lagi karena ibu Paula akan segera mendapatkan hati Benjamin dan mereka menikah. Setelah mereka menikah, Paula akan benar-benar menyingkirkan Winter.
“Winter, aku akan menemanimu, jadi jangan takut. Tidak akan terjadi apapun, kau masih percaya kan padaku?.” Tanya Paula yang berusaha meyakinkan.
“Terima kasih Paula, aku sangat percaya padamu.” Senyum Winter selebar mungkin meski di dalam hatinya dia sangat jijik tidak tahan.
***
Beberapa orang berdiri berjajar dan mendengarkan penjelasan banyak hal ilmiah mengenai pelajaran, sesekali mereka berhenti dan melihat ke dalam tabung sambil mendengarkan penjelasan seorang guru.
Winter berjalan paling belakang karena tidak memiliki teman berbicara, beberapa kali dia harus menguap menahan kantuk karena tidak ada satu orangpun yang mau berinteraksi dengannya meski kini mereka masih berada di dalam jam pelajaran.
Winter berhenti di depan sebuah tabung kaca dan memperhatikan sebuah pohon yang di dalamnya. Gadis itu segera mencatat sesuatu di bukunya.
Lengan Winter sedikit bergerak karena bersentuhan dengan lengan seseorang yang berdiri di dekatnya.
Winter melihat ke sisi dan melihat Marvelo yang sama-sama berdiri di sampingnya tengah memperhatikan pohon itu sambil mencatat. Winter hanya diam dan memperhatikan pria tampan berekspresi dingin itu.
Winter baru mengetahui nama pria itu beberapa menit yang lalu, tepatnya ketika tidak sengaja mendengar guru memanggil namanya.
“Jangan menatapku seperti itu!” Ucap Marvelo terdengar dingin dan terkesan ketus.
Winter langsung berdecih kesal, beruntung Marvelo tampan, jadi Winter akan memaafkan sikapnya yang dingin dan ketus.
“Kenapa? Kau juga tidak suka padaku?.”
Marvelo menengok dan menatap dalam-dalam mata Winter. Pria itu terlihat heran karena tidak seperti biasanya Winter berani membuka suara apalagi menatap mata lawan bicaranya.
Biasanya Winter akan meminta maaf dan berlari pergi tanpa berbicara apapun lagi karena tidak percaya diri dengan apapun yang ada di sekitarnya.
“Kau menjadi semakin naif setelah kejadian itu.” Ucap Marvelo terdengar menggantung.
Winter ikut di buat sedikit terdiam dan menelaah apa yang sudah Marvelo katakan. “Memangnya kejadian mana yang sudah membuatku jadi naif?.” Tanya Winter dengan senyuman jahatnya memancing Marvelo bicara.
Winter sendiri mengakui betapa naifnya kehidupan Winter yang sebelumnya, Winter yang dulu adalah gadis selalu mengalah demi orang lain, tidak pernah marah, dan menuruti apapun yang orang lain katakan kepadanya.
Jiwa Kimberly yang kini ada di dalam diri Winter menjadi sangat marah.
Winter yang dulu tidak ada bedanya dengan sampah yang bernilai, tidak berguna namun memiliki nilai mahal.
Kening Marvelo sedikit mengerut, pria itu menghadap Winter dan menatap tajam gadis itu.
“Saat kau bertengkar dengan Paula, kau sangat marah begitu besar meluapakan emosimu, kau bersikap seperti seseorang yang ingin mati dan tidak memiliki harapan apapun lagi setiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Paula. Setelah kejadian itu, seharusnya kau sudah sadar dan tahu jika Paula adalah orang yang jelas jahat, namun ternyata kau masih memaafkan dia dan membiarkan wanita berduri itu merusakmu lagi. Kau sangat bodoh dan naif.”
Winter di buat terpaku kaget dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut Marvelo.
Winter menelan salivanya dengan kesulitan, wajahnya tampak sedikit pucat, gadis itu kesulitan untuk berbicara dalam beberapa saat. “Kau, kau melihat pertengkaran kami?.” Tanya Winter dengan serius.
“Apapun pertengkran kalian, aku tidak peuduli.
“Kau bisa menceritakannya padaku?.”
Tanpa jawaban, Marvelo langsung berbalik dan pergi meninggalkan Winter terlihat tidak begitu peduli dan tidak juga berniat untuk menjawab.
Winter berdiri di tempatnya melihat kepergian Marvelo dengan serius. Saat ini Winter tidak boleh bertanya sekarang karena ada banyak orang, nanti Winter akan menanyakannya lagi hingga Marvelo buka suara.
***
“Winter, kemarilah.” Paula memeluk tangan Winter dan menariknya untuk masuk ke dalam sebuah tempat perbelajaan pakaian.
Sepulang sekolah Winter dan Paula bertemu, Paula mengatakan bahwa dia akan menemani Winter untuk bertemu dengan Hendery di sebuah restaurant. Namun yang terjadi sekarang adalah Paula membawa Winter pergi ke sebuah toko pakaian mewah.
Entah apa yang di rencakana Paula, yang jelas Winter ingin berpura-pura seperti Winter yang dulu untuk melihat seberapa buruknya Paula yang sebenarnya.
Sifat buruk Paula akan menjadi tolak ukur seberapa besar Winter akan membalas wanita itu.
“Kenapa kita ke sini?.” Tanya Winter berpura-pura bingung.
Winter bisa melihat jiwa susah Paula yang sangat ingin terlihat luar biasa di depan orang lain.
Paula percaya diri dengan kecantikan fisiknya, namun dia tidak bisa percaya diri dengan apa yang dia pakai untuk bisa bergabung dengan orang-orang kalangan atas.
“Hendery bilang dia akan telambat satu jam karena kegiatan pribadinya. Jadi selama menunggu, kita di sini saja dulu.” Jawab Paula dengan senyuman lebarnya.
Mereka memasuki toko besar dengan bangunan kuno, seorang wanita berpakain rapi berseragam warna merah muda tersenyum lebar ke arah Winter dan sedikit membungkuk.
Wanita itu terlihat sedikit kaget dengan penampilan Winter yang berbeda dari biasanya, namun dengan cepat dia menyembunyikan ekspresi kagetnya.
“Nona Winter, selamat datang. Lama tidak berjumpa.” Wanita itu menyapa dan terlihat sudah akrab dengan Winter.
Sekilas Winter melihat papan nama yang tersemat di pakaian wanita itu. Wanita itu bernama Loona.
Winter langsung tersenyum dan mengangguk berpura-pura mengenal.
“Apakah ada pakaian keluaran terbaru untuk bulan ini?.” Tanya Paula dengan sedikit mendiktenya.
Loona tersenyum kaku terkesan memaksakan, wanita itu mengangguk dan langsung mempersilahkan Paula dengan Winter untuk mengikutinya ke sebuah ruangan khusus pakaian yang baru datang.
Beberapa gaun dan pakaian lainnya berjajar tergantung dan sebagian di pakaikan di sebuah mannequin, tidak banyak pakaian yang tersedia di sana, namun semua pakaian yang terpajang adalah pakaian yang luar biasa cantik dan berkualitas.
Winter sedikit gatal sangat merindukan pakaian-pakaian cantik yang biasa dia kenakan kini sudah tidak bisa dia kenakan. Winter benar-benar tidak sabar ingin segera menurunkan berat badannya.
“Silahkan Anda pilih, untuk ukurannya, Anda bisa menukarnya di kasir” kata Loona dengan kaku. Namun begitu dia melihat Winter, Loona tersenyum dengan tulus menatap penuh dengan kasihan. “Nona Winter, Anda ingin makan atau meminum sesuatu? Saya akan menyiapkannya.” Tawar Loona.
Winter tersenyum dan menggeleng, “Terima kasih, hari ini aku tidak makan atau minum.”
“Baiklah. Panggil saya jika Anda butuh bantuan.” Loona membungkuk sedikit dan segera undur diri pergi keluar.
Mata Paula berbinar melihat semua pakaian cantik di depannya, “Ya Tuhan, Winter lihatlah! Itu cantik sekali.” Paula melepaskan rangkulannya dan pergi ke jajaran pakaian yang tersedia, gadis itu memilih pakaian-pakaian yang menarik perhatiannya, lalu pergi ke ruang ganti untuk mencoba dengan sesuka hati.
Winter berdiri di depan sebuah mannequin yang mengenakan dress selutut berwarna hijau. Gadis itu mendengus sedih teringat kehidupan dia sebelumnya sebagai Kimberly.
Dulu, tubuhnya lebih indah dari sebuah mannequin karena Kimberly tidak hanya cantik secara fisik saja, Kimberly juga memiliki aura yang kuat di setiap pakaian yang dia kenakan.
Setiap kali akan fashion show dia akan melakukan diet karena desainer selalu mempercayakan Kimberly untuk memakai pakaian terbaik dari semua rancangan pakaian yang akan di pamerkan.
Kimberly selalu menjadi bintangnya.
Dia bersinar.
Kimberly selalu merasa bangga karena dia bisa menjadi bintang yang indah.
Namun, Kimberly tidak sadar, bahwa bintang tidak akan selalu ada di setiap saat dan bintang tidak selalu bersinar di setiap malam, ada waktunya dia redup.
Dengan cepat jiwa Kimberly mengenyahkan semua lamunan kecilnya akan kenangan di masa lalu.
Winter berbalik dan menatap cermin besar yang berada di depan dinding.
Gadis itu diam terpaku, berdiri depan sebuah cermin sambil memperhatikan penampilannya sendiri yang besar dan menyulitkan.
Tiba-tiba Winter mendengus kesal karena melihat fisiknya yang tidak hanya tidak begitu enak untuk di pandang, namun juga sangat lemah mudah merasakan lelah.
“Winter, lihatlah! Apakah ini cocok untukku?.” Paula keluar dari ruangan ganti dan memperlihatkan dress cantik yang kini dia coba.
Alis Winter sedikit berkedut melihat Paula yang berputar-putar senang seperti gadis kaya raya yang tengah mengisi waktunya dengan berbelanja.
“Ya, sangat bagus” jawab Winter.
“Aku sangat suka sekali.” Pekik Paula merasa takjub dengan dirinya sendiri yang kini memakai dress cantik dan mahal.
Paula tersenyum lebar dan berlari masuk ke dalam ruangan ganti untuk mencoba pakaian yang lain beberapa kali. Paula memilih pakaian manapun yang dia suka, dia tidak peduli dengan harga pakaian yang di cobanya.
Dengan percaya diri Paula membawa semua pakaian yang dia coba itu ke kasir.
Seseorang pegawai yang bekerja pergi ke belakang membungkus satu persatu pakaian dan menyesuaikan ukuran yang Paula inginkan. Sementara kasir yang menghitung dan menampilkan layar computer untuk memperlihatkan jumlah p********n.
“Enam ribu dua ratus empat puluh satu dollar.” Kata kasir menyebutkan setelah menghitung pakaian yang Paula ambil.
Paula tersenyum samar mengambil dompetnya di dalam tas dan hendak mengambil kartunya. Senyuman Paula memudar ketika melihat dompet yang dia buka hanya berisi uang beberapa lembar tanpa ada apapun lagi.
“Ya Tuhan, kartuku ketinggalan di bawah meja kelas” bisik Paula terlihat sedikit panik. “Winter bagaimana ini?.”
Winter yang sejak tadi hanya diam tidak begitu tertarik terlihat sedikit bingung, apalagi semua orang menatap dirinya dengan penuh harap seakan memang Winterlah yang selalu membayar semua belanjaan Paula.
“Winter, apa boleh kamu membayarnya? Nanti aku akan menggantinya.” Bisik Paula terlihat sedih dan malu. Gadis itu menatap Winter penuh harap dan berkaca-kaca.
Winter melongo, bibirnya menekan menahan makian karena jumlah bayaran yang harus dia bayar sangat besar. Dari mana Winter memiliki uang sebesar itu?.
Bahkan jika Winter memiliki uang sebesar itu, dia akan lebih memilih pergi ke klinik kecantikan untuk luluran dan spa selama beberapa bulan.
“Aku tidak memiliki uang sebesar itu.” Jawab Winter.
“Winter, Kau lupa? Kartumu tanpa batasan.” Bisik Paula mengingatkan.
Seketika Winter berekspresi dingin, dia sudah menebak jika Paula ingin di belikan, namun Winter tidak menyangka jika Paula benar-benar setidak tahu malu itu.
Dengan ragu Winter mengambil dompetnya dari dalam tas dan membukanya, ada banyak kartu yang tersedia di sana.
Benjamin benar-benar memanjakan Winter dengan uangnya.
Winter memberikannya kartunya kepada kasir dan Winter hanya perlu memasukan beberapa pin dan p********n itu langsung selesai.
Paula tersenyum puas karena Winter masih belum berubah. Kini mesin uang berjalannya sudah kembali lagi ke dalam genggaman tangannya.
Seseorang datang membawakan beberapa tas berisi pakaian yang Paula beli, dengan penuh kesenangan Paula mengambilnya tanpa mempedulikan tatapan jijik beberapa orang atas tindakannya yang selalu seperti itu secara berulang.
Dengan tenang Winter pergi bersama Paula, Winter tidak akan banyak bicara mengenai apa yang sudah di lakukan Paula dalam cara dia menguras uang Winter, namun dia juga tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.
“Winter, terima kasih. Berkatmu aku bisa belanja, nanti aku akan menggantinya, aku akan mencarikan pakaian cantik untukmu juga.” Kata Paula yang tersenyum lebar.
Winter tersenyum miring teringat pakaian jadul murahan yang ada di dalam lemari kamar Winter, kini semua pakaian itu sudah dia buang karena sangat buruk dan kuno.
“Tidak apa-apa, kita kan teman.” Jawab Winter dengan senyuman jahatnya.
Winter akan membalas perbuatan Paula sekarang juga.
Mereka pergi keluar dari bangunan toko, Winter melihat keramaian orang-orang di sekitar yang berjalan kaki, diam-diam tangannya bergerak ke dalam tas mengambil dompetnya sendiri.
Sambil berjalan dan berbicara dengan Paula, dengan tenangnya Winter membuang dompetnya ke sebuah mesin sampah yang berada di pingigiran jalan.
To Be Continue...