5. Berkunjung

1082 Words
Ian tengah menunggu pemeriksaan medis yang perusahaan adakan. Merasa dirinya baik-baik saja, ia membiarkan kolega lain mengambil pemeriksaan lebih dulu. Pada saat itu, Bryan juga ada di sana, mengawasi jalannya pemeriksaan. Pria itu bertanggung jawab atas semua karyawan dan memastikan agar semua baik-baik saja. Ian diam-diam masuk dan melakukan pemeriksaan. Terlalu repot jika harus memberi salam terus pada CEO. “Bagaimana dokter?” “Kau mengalami kelelahan. Harus banyak beristirahat. Kaukah orang menolong dua karyawan itu?” tanya sang dokter. “Iya. Itu aku. Aku tidak sengaja menemukan mereka. Dokter apakah mereka memiliki sindrom atau mungkin karena makhluk gaib?” Dokter mendaratkan tatapan pada Ian. Belum menjawab pertanyaan ragu-ragu pria itu. “Kau masih yakin di zaman modern ini ada makhluk gaib? Kau terlalu banyak menonton film rupanya. Aku akan memberikan resep padamu.” Ya. Siapa pun tidak akan ada yang mempercayai Ian. “Lalu kenapa mereka berperilaku aneh?” Ian masih ingin berdebat dengan dokter. “Mereka terlalu stres. Tidak ada yang namanya makhluk gaib memengaruhi mereka. Kau tidak boleh terlalu banyak berpikir atau kau juga akan stres dan seperti mereka.” “Tapi dokter. Bukankah ini sangat aneh? Tidak mungkin hanya karena stres dan mereka bisa segila itu.” Sang dokter tak menerima debat Ian. Berdiri dari duduknya lalu menyerahkan resep pada Ian. Dokter sangat yakin dengan asumsinya dan tidak mau mendengarkan Ian. “Stres sehingga mereka depresi. Kau tahu apa yang bisa mereka lakukan saat depresi? Mereka bunuh diri. Kebanyakan dari mereka bunuh diri. Apa kau tidak pernah melihat berita?” Ia tertegun mendengar penjelasan dokter. Ada benarnya juga karena banyaknya orang bunuh diri lantaran merasa depresi. Ian pun merasa kalau dirinya sudah terlalu banyak berpikir. Bunuh diri pun mereka bisa apa lagi menyakiti diri sendiri. *** Sepulang kerja, Ian tidak langsung pulang ke Apartemennya. Ian menuju ke rumah sakit. Menjenguk Edwin dan perempuan kemarin bernama Ruri. Ian menghentikan taksi yang membawanya ke rumah sakit. Kemudian menuju ke bangsal Edwin lebih dulu. Dengan sopan Ian mengetuk pintu bangsal. “Ed, bolehkah aku masuk?” Seseorang membuka pintu bangsal. Memperlihatkan seorang gadis menyambut mata Ian. Gadis tersebut memindai Ian sebelum ia bertanya. “Kau siapa?” “Aku rekan Edwin. Ke sini untuk menjenguknya.” “Oh, kau teman Kakakku. Masuklah. Aku akan keluar sebentar.” “Baik, terima kasih.” Gadis itu meninggalkan Ian. Dengan leluasa Ian masuk ke bangsal. Edwin melihatnya dengan ekspresi datar yang membuat Ian menjadi sedikit canggung. Kemarin pria itu biasa saja. Malah meminta bantuan pada Ian, kini auranya kembali tidak baik. “Kau sudah baikkan, Ed?” “Seperti yang bisa kau lihat. Sekarang wajahku hancur. Dan aku perlu melakukan operasi plastik untuk mengembalikan wajahku seperti semula. Ian, aku dengar kau melihatku ketika menyakiti diri?” Merasa aneh dengan pertanyaan Edwin, Ian tak menjawab selama beberapa detik. “Kenapa kau tak menjawab Ian? Bukankah kita rekan kerja?” nada Edwin semakin keras dan seperti ada kemarahan di dalamnya. Ian akhirnya menjawab, “Iya. Aku melihatmu.” “Lalu mengapa kau tidak mencegahku? Kau membiarkanku sampai seperti ini padahal kau sudah melihatku seperti orang gila. Mengapa kau tidak menghentikanku, Ian?!” Mata yang marah terlihat jelas. Ian bangkit karena merasa kemarahan Edwin membahayakan bagi dirinya. Tak tahu mengapa Edwin bisa sampai semarah itu. Ian ketakutan dan panik pada waktu itu. Tidak semua pria memiliki ketenangan ketika menghadapi hal tak terduga. “Kau ... waktu itu ... aku tak bisa menghentikanmu, Ed. Kau seperti dikuasai oleh sesuatu.” “Kau bohong Ian! Kau sengaja!” Ian tertegun ketika Edwin menudingnya. Apa salah Ian sampai-sampai Edwin marah? Ian juga ingin menyadarkan Edwin, dan melawan ketakutannya pada saat itu. Akan tetapi, semua tak berjalan seperti yang diharapkan. Edwin sudah marah dan mencengkeram kerah kemeja Ian. Melihat kondisi Edwin yang memprihatinkan, Ian membiarkan dirinya dalam keadaan dibully. Pada saat adik Edwin tiba, gadis itu langsung mengamankan kakaknya. “Ed apa yang kau lakukan?! Hentikan. Bukan salahnya kau menjadi seperti ini. Jangan gila, Ed, lepaskan dia.” “Mia, dialah orang yang membiarkan aku menjadi seperti ini.” *** “Aku minta maaf atas tindakan Kakakku barusan. Dokter mengatakan dia menjadi semakin depresi,” ujar Mia tak berdaya. “Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti perasaannya. Kalau begitu, aku akan berkunjung ke bangsal karyawan lain.” “Ah, iya. Aku mendengarnya juga. Kau melihat perempuan itu melakukan hal yang sama seperti Edwin, kan? Kau pasti sangat terkejut. Boleh aku tahu bagaimana perilaku mereka ketika menyakiti diri sendiri?” Lagi-lagi Ian mendapatkan pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Menjadi sedikit canggung, Ian tak mau menjawab pertanyaan Mia. Sungguh setelah dibentak oleh dokter tadi pagi, Ian akan menyimpan apa yang ia ketahui; sendirian. “Aku hanya tidak sengaja menemukan mereka bertingkah aneh. Aku juga bingung dengan perilaku mereka.” Mia hanya mengangguk. Dari ucapan Ian, sepertinya ia percaya kalau pria itu tidak sengaja menemukan hal abnormal itu. “Baiklah aku mengerti. Kau boleh pergi sekarang. Dan ... sebaiknya jangan kunjungi Ed untuk sementara waktu. Kau tahu kondisi kejiwaannya ....” “Ya. Aku mengerti, Mia. Terima kasih.” “Aku yang seharusnya berterima kasih, Ian. Terima kasih telah menyelamatkan Ed.” Setelah berpamitan pada Mia, Ian berjalan menuju bangsal Ruri yang tidak jauh dari bangsal Edwin. Meskipun Ian tak begitu akrab dengan Ruri, tetapi ingin mengetahui keadaan Ruri saat ini. Pada saat itu pintu bangsal Ruri telah terbuka seperti menunggu dirinya untuk masuk ke dalam sana. “Hai, Ruri. Aku di sini untuk menjengukmu.” Perempuan itu mendengar suara Ian. Matanya berubah cerah setelah mendapati Ian berdiri di depan pintu. “Masuklah Ian.” “Terima kasih,” ujar Ian. Lantas ia masuk ke dalam. Wajah Ruri diperban seperti wajah Ed. Ia juga merasa iba pada perempuan itu. “Bagaimana keadaanmu?” “Duduklah dulu. Aku merasa lebih baik sekarang. Akan tetapi, wajahku ....” Suara Ruri agak sendu. Ian menjadi semakin iba. Tak tahu bagaimana cara menenangkan perempuan itu. “Maaf, apa aku membuatmu tidak nyaman?” Ruri menggeleng lemah. “Jangan terlalu sungkan, Ian. Aku ingin berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan aku kemarin.” “Kau tidak perlu berterima kasih. Oh, ya, aku ingin tahu apa yang kau rasakan pada saat itu? Bagaimana kau melakukan hal itu pada dirimu sendiri?” Ian bertanya dengan lugas. Untunglah Ruri tidak marah seperti Ed. Namun Ian juga tidak tahu kalau besok Ruri akan menjadi marah seperti Ed. Sebaiknya ia berhati-hati dan tidak berkunjung lagi setelah ini. “Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku hanya ingat pada saat itu ...,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD