Chapter 4

1009 Words
Ian memegangi kedua pelipis dengan tangan. Hari ini, ia agak terlambat bangun lantaran mabuk semalam. Tentu saja ia merasakan kepalanya pening. Perlahan Ian meninggalkan tempat tidur. Menoleh pada jam di atas nakas. Ia masih memiliki waktu sekitar tiga puluh menit. Gegas masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah sempoyongan. Mengambil sikat gigi sembari menatap wajahnya di dalam cermin. Beberapa detik berlalu membuat Ian mengingat kejadian aneh pada Edwin dan seorang perempuan di kantornya kemarin. “Dunia sudah berubah tampaknya. Orang-orang menjadi stres karena pekerjaan mereka terlalu berat. Ah, apa yang aku pikirkan? Tentu saja mereka stres akibat pekerjaan,” gumam Ian. Setelah lima belas menit berada di kamar mandi, Ian bergegas memakai setelan kerjanya. Ian bahkan tidak sarapan dan langsung berangkat kerja. Mudah-mudahan hari ini tidak mendapati hal aneh seperti kemarin. Itulah harapan Ian. *** Sesampainya di kantor, Ian melihat Bryan disapa oleh semua orang. Pria itu tidak jauh darinya. Ada sedikit keengganan untuk menyapa atasannya itu. Padahal Bryan adalah putra dari pemilik perusahaan tersebut. “Hai, Ian, kau terlambat satu menit hari ini.” Sapa seorang rekan perempuan bersuara lembut seperti penampilannya yang elegan dan menarik. Emma Scott tersenyum pada Ian. Ian membalas sapaan perempuan itu dengan senyum canggung. Bukan hanya itu saja, tetapi ia cukup gugup disapa oleh perempuan tercantik di divisinya. “Hai, Emma. Aku ... agak mabuk semalam,” jawabnya jujur. Ekspresi kaget terlihat jelas di mata Emma. Tidak menyangka seorang Ian bisa mabuk juga. Tak dapat menahan tawa menawannya, Emma menutupi mulutnya dengan elegan. “Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu? Atau ada sesuatu di wajahku?” Ian bertanya penasaran. Tiba-tiba saja perempuan itu menertawakannya. “Tidak, hanya saja aku sedang membayangkanmu ketika mabuk.” Ian membelalakkan mata. Betapa memalukan kalau sampai Emma melihatnya mabuk? “Jangan. Kau tidak boleh membayangkannya.” “Kenapa kau begitu gugup, Ian?” “Tidak, aku tidak gugup. Tapi kau tidak boleh membayangkannya, Emma. Aku tidak mengizinkanmu, Oke?” Tanpa sadar keduanya sampai di depan lift. Bryan juga masih ada di depan lift. Akan tetapi, lift yang mereka naiki berbeda karena Bryan—sang CEO memiliki lift pribadi yang ia naiki bersama asisten dan juga sekretarisnya. Tidak disangka, Ian berhadapan dengan Bryan. Yang awalnya Ian ingin menghindari pria itu sebisa mungkin. Kini tak ada alasan baginya untuk tidak menyapa pria itu. Pria yang ia rasakan memiliki kesan aneh. “Selamat pagi, CEO Bryan.” Emma lebih dulu menyapa sebelum diikuti oleh Ian. “Selamat pagi, CEO Bryan.” Bryan menganggukkan kepala. “Ya, selamat pagi untuk kalian berdua.” Mata Bryan didaratkan pada Ian. “Kau ... adalah pria yang kemarin, kan?” Ian sangat berharap agar Bryan tak mengenali dirinya. Akan tetapi, ingatan pria itu sangat kuat. Gugup dirasa oleh Ian. Bagaimana tidak? Ia adalah orang yang menjadi saksi dari kejadian menyakiti diri sendiri di perusahaan ini. Bagaimana kalau Bryan mencurigainya atas sesuatu yang tidak ia perbuat. Apa yang Ian pikirkan saat ini? Memiliki banyak pikiran setelah mendapati dua kejadian mengerikan di depan mata. “I-iya, saya yang kemarin, CEO Bryan.” “Kau berjasa pada perusahaan ini karena telah menolong dua orang karyawan perusahaan. Perusahaan akan memberikan hadiah sebagai jasamu.” Merasa kaget setelah mendengarnya. Buru-buru Ian menolak. Tidak ada keinginannya menjadi pahlawan. Bahkan ia sangat kaget dan tidak ingin lagi melihat kejadian aneh seperti itu. Mengerikan dan sedikit menjijikkan. “Anda tidak perlu melakukan itu, CEO. Saya sungguh tidak menginginkan apa pun,” tandas Ian dengan penuh kesopanan, tetapi masih sedikit gugup. Ternyata Bryan adalah orang yang baik. Mungkin hanya Ian yang terlalu banyak berpikir. Pintu lift sudah terbuka. Mendapati hal itu, Bryan buru-buru mengakhiri pembicaraan dan masuk ke dalam lift. Sementara itu, Ian dan Emma juga masuk ke dalam lift karyawan. Sedari tadi Emma menatap Ian tanpa ada tanda-tanda bosan. “Kenapa kau menolak niat baik CEO Bryan?” tanyanya. Merasa Ian telah menyia-nyiakan kesempatan baik. Dengan begitu Ian bisa dikenal oleh banyak orang di perusahaan. “Aku bukan pahlawan, Emma. Dan aku tidak memiliki keinginan untuk menolong mereka.” Emma mengerutkan kening. Tak mengerti dengan maksud Ian. “Maksudmu?” Ian mendaratkan pandangannya pada Emma. Kerutan pada dahi perempuan itu terlihat jelas di mata Ian. Lantas ia menjawab, “Aku tidak sengaja melihat mereka melakukan tindakan aneh. Dan lagi, jika aku katakan padamu, kau juga tidak akan percaya padaku.” Emma mencoba mencerna penjelasan yang baru saja dilontarkan oleh Ian. Secara tidak sengaja, dengan kata lain, Ian hanya kebetulan saja menjadi saksi dari orang-orang yang menyakiti diri sendiri? “Kalau begitu katakan padaku. Aku akan percaya padamu, Ian.” Dengan sangat yakin Emma mengatakan hal itu. Ian juga bisa melihat kesungguhan itu dari mata Emma. Akan tetapi, ia masih tidak yakin dengan dirinya. Mengapa hal ini terlihat seperti pengungkapan cinta? Padahal tidak begitu. “Aku melihat—” ucapan Ian terpotong oleh pintu lift yang terbuka. Sayang sekali, mereka harus bekerja. Ian tak jadi mengatakannya pada Emma. “Kita keluar dan bekerja saja,” ujar Ian yang keluar lift lebih dulu. *** Pada saat Ian sibuk bekerja, para rekannya tak henti membicarakan kejadian aneh tersebut. Sesekali mereka melirik meja Edwin. Pria itu masih ada di rumah sakit saat ini. Mata orang-orang juga mengarah pada Ian. Mereka mulai mengerumuni Ian, hingga mejanya penuh dengan rekan kerja. “Kalian ....” “Ian katakan pada kami, bagaimana perilaku mereka saat itu terjadi?” Ian merasakan gerah menerpa dirinya. Tujuh orang rekan mengelilinginya. Ian tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Takut dianggap gila oleh semua orang. Siapa yang akan percaya kabut hitam yang ia lihat? Mereka pasti akan menjadikan hal itu sebagai lelucon untuk gosip. Ia tahu para rekannya suka bergosip. Ian tak mau digosipkan sebagai orang gila atau orang aneh. “Hanya tidak sengaja melihat mereka,” jawab Ian seadanya. “Apa mungkin begitu? Kau tidak berbohong, kan, Ian?” “Tidak. Aku tidak berbohong.” “Jangan ganggu Ian,” ujar Emma. “Pergilah bekerja. Apa tidak cukup kalian bergosip dari tadi?” “Kami hanya bertanya saja, Em.” “Bertanya? Bukannya kalian memojokkan pria itu?” “Santai saja, Em. Baiklah kami pergi bekerja.” Ian memberikan senyum kecil pada Emma sebagai rasa terima kasihnya. Sekarang ia merasa karena rekan-rekannya telah pergi. Merasa lebih baik jika Ian menyimpan apa yang ia ketahui sendirian daripada menjadi bulan-bulanan para rekan kerjanya. Di dunia yang serba modern ini, mana percaya mereka dengan magis, supernatural atau paranormal? Semua itu hanya ada dalam dunia fantasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD