Gafi masih di tempat kerja, saat ibunya menelepon.
"Assalamualaikum, Bu. Ada apa?" Tanya Gafi.
"Waalaikum salam. Fi, di rumah ada Bu Alda. Kita diminta ke rumah baru hari ini juga. Jadi Ibu berkemas dibantu beberapa orang yang dibawa Bu Alda."
"Hah! Secepat itu, Bu?" Gafi sungguh kaget mendengar kabar dari ibunya.
"Iya, Ibu bingung ini. Bagaimana, Fi?"
"Ya tidak apa, Bu. Tapi aku tidak bisa pulang sekarang, karena banyak pekerjaan."
"Tidak apa, Fi. Jadi tidak apa ya ini kita pindah sekarang."
"Iya, tidak apa, Bu. Kunci rumah nanti titipkan Pak Haji Anang ya, Bu. Biar aku ambil ke sana, dan aku antar ke pemilik rumah."
"Iya, Fi. Sudah ya, assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Gafi bingung juga, akad nikah belum dilakukan, tapi mereka sudah diminta pindah ke rumah baru.
'Apa mereka takut aku berubah pikiran?'
Gafi melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Baru saja Gafi meletakkan telepon, saat ponselnya kembali berbunyi.
"Assalamualaikum."
"Om Tua, berkasnya sudah selesai belum!?" Tanpa salam, apa lagi basa basi, Aaliyah langsung bertanya tentang berkas.
"Sudah," jawab Gafi singkat.
"Kenapa tidak mengabari aku?" Nada suara kesal kentara terdengar.
"Rencananya malam ini saya antar." Gafi menjawab tetap dengan nada datar.
"Mami ada di rumah Om. Serahkan mami saja."
"Saya masih di pabrik."
"Bisa minta orang rumah Om menyerahkan ke mami."
"Berkasnya saya bawa."
"Dibawa ke pabrik?"
"Iya."
"Ck! Ya sudah, nanti aku ambil ke situ."
"Hah! Jangan, nanti jadi bahan pertanyaan, dan pembicaraan." Gafi jadi sedikit panik. Gafi tidak ingin timbul gosip. Kalau orang tahu ia ada hubungan dengan Aaliyah setelah mereka menikah tidak apa. Tapi jangan sekarang.
"Aduh. Papi sedang di kantor pusat, tidak ada di pabrik. Kalau ada papi di sana bisa diserahkan ke papi," gerutu Aaliyah.
"Nanti malam aku antar. Sekarang aku sibuk, banyak perkejaan, tidak enak dengan kepala gudang, kalau kelamaan telepon." Gafi meminta pengertian Aaliyah.
"Kepala gudangnya galak ya! Kalau dia marah, nanti aku marahin balik dia!" Ketus sekali nada bicara Aaliyah.
"Hah!"
"Ya sudah! Bye Om Tua."
Gafi menghela nafas, ia menatap ponsel di tangannya. Cara bicara Aaliyah kepadanya, seakan mereka sudah kenal lama. Padahal baru beberapa kali bertemu.
Gafi menggelengkan kepala, lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Dari tadi aku lihat kamu main ponsel terus, Fi. Matikan ponselmu, konsentrasi ke pekerjaan," tegur kepala gudang.
"Maafkan saya, Pak."
Gafi sadar ia memang salah, lalu ia segera melanjutkan pekerjaannya.
*
Tidak berapa lama setelah mendapat telepon dari Aaliyah, Gafi dipanggil ke ruang kantor yang ada di pabrik. Gafi jadi penasaran untuk apa ia dipanggil.
"Fi, kamu dipanggil ke ruangan kantor." Kepala gudang memberitahu Gafi.
"Ada apa, Pak?" Gafi sedikit cemas. Ini pertama kali ia dipanggil ke kantor pabrik, sepanjang bekerja di situ.
"Mungkin kamu akan diberi peringatan, atau dipecat. Kamu sering sekali ijin, Fi."
"Saya ijin memang karena benar-benar ada kepentingan, Pak," sahut Gafi.
"Kamu jelaskan saja nanti. Cepat pergi sana." Kepala gudang mengibaskan tangannya.
"Baik, Pak."
Gafi ke luar dari gudang, lalu segera melangkah menuju ke ruang kantor yang ada di pabrik itu. Ruang kantor itu tempat manajer pabrik bekerja. Sedang Pak Arifin selaku bos besar, memiliki kantor di tempat lain. Karena pabrik mebel ini hanya salah satu dari banyak usaha milik keluarga Hutama. Sampai sekarang, Gafi belum tahu, kenapa dirinya yang dipilih untuk menjadi menantu bos besarnya. Sesuatu yang sangat tidak masuk akal baginya.
Tiba di kantor, Gafi mengetuk pintu.
"Masuk."
Gafi membuka pintu. Di dalam ruangan itu ada pria lain selain sang manajer.
"Assalamualaikum, selamat siang. Saya dipanggil, Pak." Gafi menundukkan kepala di hadapan manajer pabrik
"Waalaikum salam. Silakan duduk."
Gafi duduk di seberang pria yang bersama manajer.
"Ini Pak Hartono, pengacara keluarga Pak Arifin. Beliau mencari kamu, Fi. Silakan kalian bicara, saya ke luar dulu."
"Terima kasih."
Pak Sahal, manajer pabrik ke luar dari ruangan kantor.
"Perkenalkan, saya Hartono Kusumo." Pengacara keluarga Hutama mengulurkan telapak tangan, mengajak Gafi berjabat tangan, disambut Gafi uluran tangan pria itu. "Saya pengacara keluarga Hutama. Saya yang akan mengurus berkas pernikahan Mas Gafi dengan Aaliyah. Bisa saya minta berkas Mas Gafi, kata Aaliyah ada di sini."
"Oh iya, ada. Sebentar saya ambilkan dulu. Ada di bawah jok motor saya."
"Di parkiran?"
"Iya."
"Kalau begitu kita ke parkiran saja."
"Baik, Pak."
Gafi, dan Pak Hartono ke luar ruangan. Sang manajer ternyata duduk di luar ruangan. Begitu melihat mereka, Pak Sahal bangkit dari duduknya.
"Terima kasih Mas Sahal. Saya pinjam Gafi sebentar ya."
"Iya, silakan, Pak."
"Saya permisi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Saya permisi, Pak," pamit Gafi.
"Silakan, Fi."
Gafi mengikuti langkah Pak Hartono, dibawah tatapan Pak Sahal yang kebingungan dengan urusan antara Gafi si buruh pabrik, dengan pengacara bos besarnya.
Tiba di parkiran, Gafi mengambil berkas yang ada di bawah jok motor, lalu ia serahkan pada Pak Hartono.
"Ini, Pak."
"Terima kasih, Mas Gafi. Saya pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Gafi menatap Pak Hartono yang melangkah meninggalkannya. Gafi merasa semua bagai mimpi saja. Tak pernah terbersit dalam pikirannya untuk menikah lagi, dan menjalani pernikahan poligami. Namun sekarang, semua itu akan terjadi
'Inikah takdir. Tak terpikirkan, tak ingin melakukan, tapi tiba-tiba harus terjadi. Entahlah, akan bagaimana nanti. Aku pasrah pada takdir Ilahi.'
Gafi kembali ke gudang, disambut oleh kepala gudang.
"Ada apa dipanggil, Fi?"
Gafi bingung harus menjawab apa.
"Kamu dipecat, atau baru diberi peringatan?"
"Tidak, Pak."
"Lalu untuk apa kamu dipanggil?"
"Maaf, saya tidak bisa mengatakannya."
"Kamu anak buahku, kenapa aku tidak boleh tahu kenapa kamu dipanggil manager?"
"Maaf, Pak. Ini urusan pribadi. Bukan urusan pekerjaan. Kalau Bapak ingin tahu, silakan bertanya ke bapak manajer langsung. Permisi, saya melanjutkan pekerjaan dulu." Gafi berlalu meninggalkan Jumadi, kepala pabrik yang baru dua bulan bertugas. Usianya di bawah Gafi. Kepala pabrik yang dulu sudah pensiun.
*
Gafi pulang ke rumah, sebelumnya ia mengambil kunci rumah dulu ke rumah Pak Haji Anang.
"Kok mendadak pindah, Fi?"
"Iya, Pak. Alhamdulillah, bisa pindah ke rumah yang lebih besar."
"Persiapan menyambut istri baru ya, Fi. Banyak istri ternyata banyak rezeki." Pak Haji Anang tertawa pelan. Gafi jadi ikut tertawa.
"Alhamdulillah, Pak Haji."
"Ini kuncinya, Fi."
"Terima kasih, Pak Haji. Saya permisi." Gafi berdiri dari duduknya.
"Semoga hidup kalian semakin sejahtera, Fi."
"Aamiin. Terima kasih, Pak Haji. Assalamualaikum." Gafi mencium punggung tangan Pak Haji Anang.
"Waalaikum salam."
Gafi meninggalkan rumah Haji Anang. Rumah yang mungkin nanti tak bisa lagi terlalu sering ia kunjungi.
Gafi tiba di rumahnya. Saat ia membuka pintu kesepian sangat terasa. Rumah itu sudah kosong melompong, tak ada perabot, atau sehelai pakaian tersisa. Rumah yang menjadi saksi suka duka hidupnya sekian belas tahun ini. Rasa berat Gafi meninggalkan tempat yang hanya akan jadi kenangan. Gafi pikir ia harus membersihkan rumah, menyapu, dan mengepel, sebelum kunci rumah diserahkan pada pemilik rumah. Ternyata rumah sudah benar-benar bersih.
Gafi masuk ke dalam kamar tidurnya. Ditatap ruang kosong itu dengan mata berkaca-kaca. Kamar yang penuh kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk seumur hidupnya.
*