Maafkan Aku

1147 Words
POV. Ar Risky Gunawan Aku tak mengira bahwa rumah tangga yang sedang kuperjuangkan di tengah kemelut rasa yang membuncah dalam hatiku tetap harus berakhir. Bukan karena perceraian tapi karena usia istriku yang tak lagi bisa membersamaiku. Betapa hancur hatiku saat aku memandangi wajah ayu Azkiaa yang harus menjadi piatu diusia yang masih bisa dihitung jari. Air mataku mengalir saat harus terjaga untuk menemaninya menghabiskan s**u dalam botol yang telah kusiapkan. Gadis kecilku mengisap karet botol itu dengan kuatnya. Lehernya naik turun menelan air yang keluar dari lubang kecil diujung karet yang ada di dalam mulutnya. "Malang sekali nasibmu, Nak," lirihku sambil memandangi wajahnya. Hari berganti hari, perlahan Adinda mulai menggantikan posisi Alisya dalam keseharianku. Wanita yang ditunjuk oleh Alisya untuk merawat anaknya kini mulai menepati janjinya. Gadis yang bekerja di bank konvensional itu selalu meluangkan waktunya setiap hari setelah kepergian Alisya. Dia berusaha keras untuk itu. Adinda sudah membuktikan bahwa dirinya sanggup menjadi ibu pengganti untuk Azkiaa. Dan aku mulai percaya. Tetapi satu yang ia minta, seorang pengasuh untuk membantunya merawat Azkiaa saat ia harus bekerja. "Kamu bisa berhenti bekerja setelah kita menikah," pintaku kala itu. "Maafkan aku. Aku janji setelah hamil nanti aku akan berhenti bekerja, tapi izinkan aku untuk tetap bekerja setelah kita menikah," rayunya sambil bergelayut manja. Aku mulai belajar menaruh rasa padanya setelah melihat keseriusannya. Namun hatiku mulai goyah saat aku melihat dia yang pernah hadir dalam hidupku tiba-tiba saja ada di depan mataku. Dadaku berdegup kencang. Aku tak mampu menyembunyikan kebahagiaanku melihat keberadaannya, sayangnya aku terlalu malu untuk menunjukkan rasa itu padanya. Aku bergegas masuk untuk meluapkan rasa bahagiaku. "Di depan siapa, Mas?" tanya Adinda saat aku masih mencoba menenangkan jantungku yang berdebar. Gadis di depanku ini membawa sebuah bingkisan untuk Kiaa. Ia meletakkan bingkisan itu di atas ranjang tidur putriku. "Dia pengasuh yang akan merawat Kiaa," jawabku sambil berdiri. "Benarkah? Waah makasih ya kamu sudah menepati janjimu. Terima kasih," jawabnya sambil bergelayut manja. Adinda berdiri dan memelukku. Ia meletakkan tangannya di atas leherku dan aku pun membalas pelukannya. Kutatap mata gadis di depanku ini. "Mengapa kedatangan Sania terlambat? Mengapa ia datang saat aku sudah memberi keputusan untuk menerima Adinda sebagai ibu pengganti untuk Azkiaa?" Tanpa permisi wajah Adinda mendekat ke wajahku. Tetapi beruntung pintu dibuka oleh Mama sehingga ia refleks menjauhkan wajahnya dariku. Ah sial. Saniaku melihat hal yang tak seharusnya ia lihat. Aku tak tahu harus bagaimana. Keputusan sudah final. Persiapan pernikahan sudah mulai dikerjakan. Aku bingung hingga aku tak fokus untuk berkerja. "Kenapa sih?" tanya Adam saat aku menyempatkan diri berkunjung ke kafenya ketika kepalaku terasa pening. Aku merebahkan punggungku di sandaran sofa yang terletak di sudut ruangannya. "Aku bingung dengan pernikahan ini," ujarku mengutarakan isi hatiku. "Bingung? Bukannya kamu yang mengiyakan permintaannya?" sahutnya dengan kening berkerut. "Ini permintaan istrimu, kan?" "Iya. Tapi itu dulu sebelum dia datang," jawabku sambil meneguk jus apel yang disiapkan untukku. "Dia? Siapa?" "Aku ngga pernah cerita ini sebelumnya. Tapi ini sudah lama sekali kusimpan. Sania datang kembali dalam hidupku. Dia mantan kekasihku dulu. Tiba-tiba saja dia datang melamar sebagai pengasuh Azkiaa," jawabku mantab. "Wouww, cinta lama bersemi kembali?" pekik Adam sambil terkekeh. Ia makin menggeser badannya agar semakin dekat denganku. "Gimana ngga bersemi kalau dia makin kelihatan anggun dan cantik," selaku membela diri. "Sekarang aku bingung. Persiapan pernikahan sudah dilaksanakan, keputusan sudah terlanjut dibuat. Huhh!" Aku membuang napas kasar. "Yaelah, kenapa pusing sih? Emang dia mau sama kamu?" ujarnya sambil tertawa. "Sia lan." Kulempar korek api miliknya yang ada di atas meja ke tubuh kurus Adam. "Bener kan? Emang dia mau sama kamu?" tanya Adam mengulang pertanyaannya lagi. Sesaat aku tertegun. Apa iya dia mau sama aku? Ah aku tak mau banyak berpikir, karena itu akan semakin membuat kepalaku sakit. "Pernikahan sudah didepan mata, sebaiknya fokus dengan rencana awal saja. Jangan banyak tingkah. Yang sudah berlalu biar belalu." "Eh tumben kayak bapak-bapak bener omonganmu?" tanyaku heran. Tak biasanya dia bisa sebijak ini. "Kan aku lagi bijak, jangan menghancurkan martabatku sebagai lelaki yang bijak," ujarnya sambil membenarkan kerah baju, bergaya sok. "Hilih, biasanya juga kamu yang doyan!" balasku sambil melempar rokok ke arahnya. Dengan sigap tangan Adam menerima lemparanku itu. "Haisss jangan main lempar-lemparan, hancur rokokku!" sungutnya pura-pura marah. "Berapa sih harga rokok? Ngajakin kencan cewek keluar modal banyak juga biasa aja," selaku sambil mencebik. Adam malah tertawa renyah. "Jangan keras-keras, ini kafe ada cctvnya, hancur sudah rumah tanggaku kalau dia dengar," bisiknya. "SSTI." "Apaan itu?" "Suami-suami takut istri," jawabku sambil tertawa. "Bukan takut istri, tapi sayang istri. Ngawur aja kalau sampai dia tahu, bisa tidur di luar aku," sengitnya. Setelah ngobrol dengan Adam, aku kembali pulang dengan hati berkecamuk. Pernikahan sudah didepan mata tapi hatiku semakin tak menentu. Apa ini yang disebut sebagai ujian sebelum pernikahan? Aku menapaki tangga teras dengan d**a yang kembali berdegup kencang. Selalu begini sejak Sania hadir di sini. Kubalut rasa rinduku dengan sikap dinginku padanya. Bukan aku tak suka, hanya saja aku tak tahu harus memulainya dari mana. "Kiaa sedang apa?" tanyaku datar saat Sania baru saja keluar kamar. Ia membawa ember ditangan kanannya. Kepalanya menunduk saat mendapati aku tengah berdiri di depan pintu. Selalu saja begitu ekspresi wajahnya. Aku pun tak tahu harus membahas apa dengannya selain bahasan soal Azkiaa. Bibirku kelu untuk sekedar bertanya bagaimana kabarmu? Atau bagaimana keluargamu?. "Sedang tidur, Tuan. Permisi." Tanpa melihat wajahku dia pergi begitu saja. Kutatap punggung perempuan berhijab itu hingga hilang dari pandangan. Perempuan yang anggun dan bersahaja. Tak salah dulu aku menjalin cinta dengannya meskipun hanya dalam dunia maya. Perasaanku sejak pertama kenal dengannya dan berpacaran sungguh merasa nyaman dan bahagia. Sayangnya kebahagiaan yang kurasakan tidak dirasakan oleh Mama yang hanya mementingkan usaha yang sedang di rintisnya. Bahkan kini hingga restoran telah banyak dikenal orang, Mama tak juga memberiku kesempatan untuk menentukan pilihan hidupku sendiri. Jika teringat penolakan Mama tentang hubunganku dengan Sania dahulu, membuatku urung memberontak dari pernikahan ini. Aku ibarat pion dan Mama adalah tangan yang menggerakkannya. Aku harus mengikuti kemana Mama membawaku. Apalagi Adinda adalah sahabat Alisya yang dekat dengan semua keluarga ini. Sedikit banyak Mama tahu soal Adinda dan tak punya alasan untuk menolak karena Adinda selalu bersikap baik dan sopan saat berkunjung ke rumah Aku mendesah resah. Foto Sania yang kusembunyikan dalam laptopku kembali kupandangi. Harusnya tinggal selangkah untuk bisa memilikinya tetapi nasi sudah menjadi bubur. Seminggu lagi pernikahan akan dilaksanakan. "Sayang, kita tinggal di rumah kamu sendiri aja ya?" pintanya saat resepsi pernikahan usai digelar. "Kenapa ngga di rumah Mama aja?" tanyaku sengit. "Ya, ngga apa-apa. Biar aku bisa rawat kamu dan Kiaa sendiri. Nanti kan ada Sania yang juga bisa bantu urus rumah," pintanya lagi sambil tiduran berbantalkan lenganku. Ah Sania. Mungkin jika tinggal di rumah sendiri, aku bisa memiliki kesempatan untuk meluapkan rasaku padanya. "Baiklah." "Asyiikk. Makasih ya, Mas? Aku janju bakal rawat kamu dan Kiaa dengan baik." Adinda tertawa riang Maafkan aku Adinda, keputusanku untuk tinggal di rumahku sendiri bukan karena permintaanmu tetapi karena aku ingin lebih dekat dengan Saniaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD