Yang Gendong Juga Cantik

1306 Words
Prosesi akad sedang berlangsung dengan khidmat. Banyak tamu undangan yang menyaksikan prosesi itu yang turut larut dalam khidmat dan sakralnya pernikahan. Ada juga yang beberapa kali kulihat mengusap air mata. Saat khutbah nikah dikumandangkan, aliran darahku rasanya mengalir deras. Aliran darahnya bak air terjun yang jatuh ke dasar sungai dengan cepatnya. Ada rasa cemas dan tak rela yang bergelayut dalam hatiku. Beruntung Bi Siti mengambil alih Kiaa dari gendonganku. Kami duduk bersisihan di belakang deretan kursi untuk keluarga inti. Tetapi mataku bisa menangkap dengan jelas proses akad yang sedang berlangsung itu. Sungguh hatiku bak ditusuk sembilu. Perih melihat tangan kekar yang kuharapkan dengan penuh cinta membelai wajahku kini pupus sudah. Kudengar suara Penghulu membaca ijab qabul dengan lantang membuat hatiku semakin perih. Siapalah aku ini? Berulang kali hatiku berdebat. Sisi baik dan sisi buruknya kembali mencari pembenarannya sendiri. Aku mendesah pasrah. Allahu Rabbi, lapangkan hatiku jika memang dia bukan jodohku, doaku dalam hati. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan kakiku. Berulang kali kuatur napas untuk membuat detak jantungku kembali normal. "Bi, titip Kiaa, saya mau permisi ke kamar mandi," pamitku saat Mas Risky mulai melantunkan qabul untuk menerima ijab yang diucapkan oleh penghulu. Bi Siti pun menerima Kiaa dari tanganku. Tanpa menunggu jawaban Bi Siti, aku berlari menuju toilet melalui sisi kiri deretan tempat duduk yang ditata di belakang meja akad. Dimana pintu masuk toilet searah dengan posisi duduk Mas Risky dan posisi kursi penghulu membelakanginya. Tempat duduk Mas Risky bisa melihat dengan jelas siapa saja yang keluar masuk toilet. Langkahku terhenti saat aku berada di ambang pintu. Kepalaku menoleh kebelakang guna melihat lelaki yang telah memakai pakaian pengantin lengkap itu. Blangkon yang dikenakannya serasi dengan beskap pengantin yang melekat di tubuhnya. Seharusnya aku tak melihatnya mengucap ijab qabul dengan mantap, tapi rasa penasaranku mengalahkan segala rasa. Rahang kokoh itu bergerak dengan tegas dan jelas. Mataku bisa menangkap gerak bibirnya dan suara lantang yang terdengar dari sound sistem besar yang berada di area gedung. Astagfirullah. Di dalam toilet aku hanya ingin bebas menangis tanpa ada satupun yang melihat keadaanku. Aku tergugu. Derai air mataku tak mampu membuat d**a ini terasa longgar. Berulang kali kubuang napas kasar, berharap rasa sedih ini pun tueut terbuang. Tapi terasa sia-sia. Aku pun berdiri menatap kaca di depanku. Mataku melihat wajah yang kusut dan sembab. Segera kubasuh mukaku dengan air dari kran yang mengalir. Seketika rasa segar menjalari wajah dan pikiranku. Perlahan kubuang napas yang membuat hati sesak. "Aku kuat. Aku pasti bisa," ujarku menyemangati diri sendiri. Kupaksa bibirku untuk tersenyum agar hatiku terkunci rapat menyimpan segala perih ini. Cukup kesedihan ini kusimpan dalam hati, tetapi tidak kutampakkan di wajahku. Aku lantas kembali ke area. Rupanya prosesi akad nikah telah usai. Kedua mempelai sudah duduk cantik di atas pelaminan. Singgasana besar nan megah menjadi tempat duduk raja dan ratu sehari itu. Binar bahagia terpancar dari senyum Adinda yang merekah sempurna. Riasan make up adat jawa dengan paes menghiasi keningnya membuat kecantikannya paripurna. Baju kebaya hitam berbahan bludru dan dilengkapi dengan bordiran warna gold yang senada dengan pakaian yang dikenakan mempelai pria membuat kedua pengantin itu tampak serasi. Ah bahagianya mereka. "Kamu kenapa, Nduk? Wajahmu sembab?" tanya Bi Siti setelah aku kembali ke kursi semula. Mata wanita paruh baya itu membingkai wajahku. Segera kuraih Kiaa dalam gendongan Bi Siti untuk kuletakkan di atas pangkuanku. "Ngga apa-apa, Bi. Cuma rindu rumah aja," ujarku beralasan. Seulas senyuman kuberikan untuk meyakinkannya. "Kalau ada apa-apa kamu cerita, jangan sungkan," sambungnya lagi. Wajah teduh itu selalu menenangkan. Aku seperti melihat ibu dalam dirinya. Aku mengangguk cepat. Melihat pemandangan di depanku lama kelamaan rasanya sudah terbiasa. Sesak hatiku kubalut dengan tawa renyah dari bibir mungil Kiaa. Bayi kecil yang kini sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Mataku kembali memandangi wajah kedua mempelai di atas pelaminan itu. Senyum merekah terbit dari bibir Adinda, tetapi tidak dengan Mas Risky. Wajah itu tampak kaku dan bibirnya mengatup rapat. Tak ada senyum yang membingkai wajahnya, tidak seperti Adinda. Mungkinkah dia grogi? Entahlah. "Bi, permisi ke depan dulu ya? Ini waktunya Kiaa minum s**u, biar kuberi s**u sambil kugendong keluar," pamitku pada Bi Siti. Tempat duduk Bu Maria tepat di depan tempat duduk Bi Siti, aku takut mengganggu jika harus meminta izin lebih dulu padanya. Biarlah nanti Bi Siti yang menyampaikan. Aku berjalan mewati tamu undangan menuju pintu keluar. Suasana bising sound system di dalam ruangan tidak bisa membuat Kiaa tertidur pulas. Aku harus membawa Kiaa keluar ruangan ini. Aku berdiri di depan pintu masuk. Terdapat satu kursi panjang yang di atasnya sedang terduduk dua gadis dengan kebaya yang membalut tubuh keduanya. Mungkin mereka tamu undangan yang sedang menunggu temannya di luar. "Enak bener ya jadi Adinda, jadi temen deket dari mantan istri Risky, eh malah disuruh gantiin posisinya. Mujur banget nasibnya, padahal Adinda ngga deket-deket amat sama Alisya," ujar salah satu dari gadis yang duduk di atas kursi itu. Tepat di samping kiri tempat kuberdiri. Mereka berdua tak tahu jika aku adalah pengasuh bayi Mbak Alisya. Aku bergeser sedikit untuk memberikan ruang keduanya agar bisa leluasa mengobrol. Tetapi meskipun begitu, telingaku masih jelas mendengar apa yang mereka bicarakan. "Ya elah, tau sendiri kan gimana liciknya Adinda, mana mau dia kerja keras biar bisa hidup enak. Pacarnya aja sampai ditinggalin demi nikah sama mantan suami temennya. Tau sendiri kan masa kontrak kerja pacarnya sudah tinggal beberapa bulan pagi. Jelas aja minta buru-buru dinikahin sama Risky. Biar duda tapi kaya," sahut seorang lagi yang juga duduk di sebelahnya. "Jangan-jangan bayi itu nanti ditelantarin? Mana mau dia susah-susah ngerawat bayi Alisya?" "Adinda licik? Punya pacar? Astaghfirullah," batinku bermonolog. Tanganku masih sibuk memegangi botol s**u milik Kiaa seakan-akan aku tidak mendengar obrolan mereka. "Jelaslah ditelantarin, orang dia pernah bilang sama aku kalau minta dicarikan pengasuh buat bayinya," sahut suara yang berbeda lagi. Aku tak berani menoleh, takut jika keduanya tak merasa nyaman. Bagiku cukup aku mendengar berita ini dan akan kusimpan sendiri demi kebaikan Kiaa. Aku akan menjaga Kiaa dengan baik dari niatan jahat ibu sambungnya. Aku tak rela jika melihat Kiaa terlantar. "Waah belum apa-apa sudah minta pengasuh, jelas banget kalau dia ngga mau capek ngemong bayinya Alisya. Duh sayang banget. Coba nikahnya sama aku, pasti kusayangi anaknya biar aku disayang sama bapaknya," sela suara yang berbeda lagi. "Yee itu mah akal bulus kamu aja," ledek suara perempuan itu lagi. Sebenarnya pernikahan apa yang mereka jalani ini, mengapa belum apa-apa Adinda sudah memiliki niatan seperti itu. Aku tak habis pikir dengan gaya hidup orang kota. Saat kepalaku masih memikirkan soal apa yang diucapkan oleh dua suara perempuan tadi, ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku lantas menoleh. Ada Bi Siti dengan seorang pemuda tampan. Wajahnya hampir mirip dengan Mas Risky tapi ini lebih putih dan hidungnya lebih mancung. Bibirnya tipis dengan rahang kokoh yang membentuk wajahnya. Kemeja batik yang dikenakannya memperlihatkan sebagian kulit tangannya yang tampak lebih cerah. Kulit tangannya bersih juga wajahnya. Kaca mata yang dikenakannya membuat wajah lelaki itu tampak berbeda dari Mas Risky. "Nduk, ini Adiknya Den Risky, mau lihat bayi Kiaa," ujar Bi Siti memberitahu. Aku baru tahu jika Mas Risky memiliki saudara laki-laki. "Hai, saya Dimas," ujarnya seraya mengulurkan tangan. Aku pun menerima uluran tangan yang dipergelangan tangannya melingkar sebuah jam tangan yang bermerk. "Saya Sania, pengasuhnya Kiaa," jawabku setelah menerima uluran tangan darinya. "Waah cantik sekali pengasuhnya Kiaa ini," pujinya sambil terkekeh. Aku yang mendapat pujian itu lantas tersipu malu. Kutundukkan wajahku agar ia tak melihat wajah yang tengah seperti kepiting rebus ini. "Ya cantik, namanya saja perempuan," sela Bi Siti. Ia pun ikut terkekeh melihat tingkah anak majikannya. "Waah sayang sekali Kiaa sudah tidur, padahal aku mau nyoba gendong dia," ujar Dimas setelah melirik Kiaa dalam gendonganku. "Wajahnya mirip Mbak Alisya ya, Bi?" tanya Dimas pada Bi Siti yang juga turut mengamati wajah Kiaa dalam gendonganku. "Iya. Dia cantik kayak ibunya," sahut Bi Siti. "Yang gendong juga cantik," seloroh Dimas lagi. Wajah itu tersenyum sambil memandang wajahku yang masih tersipu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD