Rewrite – The Beginning

1789 Words
Seorang gadis berlari mengejar seekor kelinci putih di depan pagar rumahnya. Ia berteriak memanggil nama “Bunny” sembari membungkuk untuk menangkap kelinci itu. Karena posisi tubuhnya itu, ia malah tidak memerhatikan sekitarnya. Ia menabrak seseorang yang kini berdiri di depannya, kemudian gadis itu mendongak. Seorang laki-laki seumurannya tengah berdiri dengan earphone di telinga. Keduanya saling tatap selama beberapa detik sebelum akhirnya, gadis itu berdiri tegak. “Ah, maaf,” katanya dengan wajah menyesal. “Lain kali, hati-hati. Untung manusia yang ditabrak. Lain cerita kalau gerobak sayur di sana,” katanya sambil tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya. Mata gadis itu tidak lepas darinya, hingga saat ketika laki-laki itu masuk ke rumah yang ada di sebelahnya disusul mobil pick up yang membawa banyak barang. Barulah ia mengetahui kesimpulannya. Matanya langsung berbinar, dan senyum terlukis sempurna di wajah itu. “Gue dapat tetangga ganteng,” gumamnya sambil menunjukkan cengiran. “ARDEN!” teriak gadis itu sambil berlari masuk ke dalam rumah. Yang dipanggil langsung menoleh dengan wajah sebal. “Apa, sih? Gue gak budeg!” omelnya. “Ada berita besar!” pekik gadis itu dengan wajah sumringah. “Apa?” tanya cowok itu dengan nada malas. Sejujurnya ia tidak terlalu penasaran tentang berita besar yang dimaksud Ara. “Itu di sebelah. Ada yang baru pindah. Gantengggggggg!” Arden memutar bola mata jengah. Ia pikir berita besar seperti apa yang ingin dikatakan saudara kembarnya itu. “Woy, elah! Gitu aja heboh. Bunny udah lo ambil belum?” Gadis bernama Ara itu langsung menepuk dahinya. “Lupa!” “Nah, kan. Ckckck.” Arden bangkit dari duduknya, kemudian mengambil alih tugas Ara untuk mencari Bunny—kelinci kesayangan Mama mereka. Alih-alih membantu Arden mencari Bunny, ia lebih memilih menaiki kursi dan mengintip dari balik tembok rumah di sebelahnya. Ia bisa melihat jelas apa yang sedang terjadi di tempat itu. Matanya kini beralih pada sosok yang sejak tadi menarik perhatiannya. “Ganteng banget,” gumamnya sambil mengagumi ketampanan cowok itu. Wajah agak tirus, hidung mancung dan alis tebal. Kalau tidak salah lihat, Ara tadi sempat menyadari bahwa bola mata cowok itu berwarna cokelat pekat. Benar-benar cantik. “Enggak nyangka, ada yang gantengnya ngalahin oppa-oppa yang sering dilihat Mama Alya.” Entah ia yang terlalu keras berbicara atau memang cowok itu yang terlalu peka, mata mereka bertemu untuk yang kedua kalinya. Ara langsung melotot dan buru-buru turun dari kursi. Ia mengusap dadanya. Jantungnya berdebar hebat. Ia berlari masuk ke dalam rumah sambil memegangi pipinya yang memerah. *** Suasana kelas selalu ramai. Mungkin akan aneh jika tiba-tiba kelas Ara hening meskipun hanya dalam waktu satu menit. Kelasnya akan hening hanya jika pelajaran Pak Burhan—guru killer dan saat ujian. Ara menaruh tasnya ke atas meja, lalu menghampiri kedua temannya—Marcela dan Sena. Seperti biasa. Setiap pagi adalah rutinitas mereka untuk memakan roti kantin yang sangat enak. Hari ini Marcela yang bertugas membelinya. Gadis itu sudah datang lebih awal. Ara tersenyum ketika memegang roti kopi itu. “Kebahagiaanku,” pekik Ara lalu menggigit rotinya. “Seneng banget hari ini, Ra,” kata Sena yang melihat wajah sumringah Ara. “PR Bahasa Inggris udah dikerjain? Nanti siang dikumpulin, loh.” “Udah, dong.” Ara membuka tasnya untuk mengambil buku bahasa Inggrisnya. Namun, ia tidak menemukannya sama sekali. Ia mencoba mengeluarkan semua bukunya. Ia ingat menaruhnya di dalam tas. “Loh, kok, enggak ada?” panik Ara. “Haduh, Ra. Gimana, sih? Kebiasaan banget suka lupa bawa buku.” “Tapi tadi udah gue taruh di dalam tas, kok.” “Lo lupa kali. Biasanya juga gitu. Lo bilang udah taruh di tas tahu-tahunya taruh di kamar.” Ara terdiam sebentar, lalu menatap kedua temannya. “Masa?” “IYA, ARA!” teriak keduanya bersamaan. Ara hanya bisa mengusap wajahnya. Tamatlah sudah. Ia pasti akan dihukum lagi. Padahal ia sudah memiliki rencana pulang sekolah nanti. Ia ingin mampir ke toko buku untuk membeli novel baru yang ditulis author favoritnya. Pupuslah sudah rencananya itu. “Ini … Mama lo titip ke gue,” kata seseorang yang memberikan sebuah buku pada Ara. Gadis itu mendongak dan terkejut ketika mengetahui siapa itu. Dia adalah cowok yang tinggal di sebelah rumahnya. Matanya juga terfokus pada seragam yang cowok itu kenakan. Tunggu … apa cowok itu juga bersekolah di sini? “Makasih,” kata Ara sambil meraih buku tugasnya. Cowok itu tersenyum, lalu berbalik pergi keluar dari kelasnya. Marcela dan Sena langsung mendekati Ara dengan wajah terkejut mereka. “Siapa, Ra?” Ara tersenyum sambil menatap buku tugasnya. “Jodoh gue.” Marcela dan Sena saling tatap kemudian menggedikkan bahu. Kebiasaan yang dilakukan Ara adalah selalu menyebut cowok tampan sebagai jodohnya. Ara memang bukan tipe cewek playgirl yang selalu bergonta-ganti pacar. Justru Ara tidak pernah berpacaran sama sekali. Tapi jika menyukai, Ara punya lebih dari sepuluh cowok yang dia sukai. Mungkin itu hal biasa. Namun yang dilakukan Ara benar-benar aneh. Karena ketika salah satunya menyatakan pada Ara dan meminta menjadi pacar Ara, gadis itu langsung menolak. Jadi … Marcela dan Sena bahkan tidak tahu, Ara benar-benar suka mereka atau hanya sebatas ingin menjadikannya sebagai candaan saja. *** “ARDEN!” teriak Ara yang langsung masuk ke kelas Arden. Ia menoleh ke kanan-kiri namun tidak menemukan anak itu. “Eh, lihat Arden, enggak?” tanya Ara pada salah satu anak di sana. “Ke kantin sama geng bagongnya.” Ara langsung berlari ke arah kantin. Menyebalkan sekali melakukannya tapi mau bagaimana lagi? Mamanya selalu menitipkan uang jajannya pada Arden. Tidak pernah sekali ia diberi kesempatan untuk memegang uang sendiri. Itu karena Ara sangat boros dan selalu saja kehilangan uangnya. Ah, tidak hanya uang, Ara termasuk orang yang ceroboh yang sering kali menghilangkan barang. Di kantin, ia bisa melihat saudara kembarnya itu. Tentu saja Arden mudah ditemukan. Arden dan tiga dua temannya sangat menonjol di meja keramat milik mereka yang berada tepat di tengah. Tidak ada yang berani duduk di sana. Jangan salah … Arden itu ditakuti oleh adik kelas, bukan karena jahat atau semacamnya, tapi karena dia tegas dan jangan lupakan reputasinya sebagai kapten basket. Ara menghampiri meja mereka, lalu memukul meja agak keras. “Bisa, enggak, sih, kalo waktu istirahat tunggu gue dulu? Jangan mentang-mentang uang jajan gue lo yang pegang, makanya lo jalan duluan ke kantin.” Arden dengan wajah terkejutnya hanya diam tanpa membalas. Begitupula dengan Andi dan Feri—teman Arden. Ara begitu kesal hingga tidak menyadari jika ada empat orang yang ada di depannya. Matanya menatap ke arah cowok itu … tetangganya, dan orang yang mengantarkan buku tugasnya. Seketika Ara membungkam mulutnya dan tersenyum manis. Ia tersenyum sambil menampilkan deretan gigi putihnya. “Uang jajan gue siniin,” kata Ara dengan suara yang dibuat semanis mungkin sambil mengulurkan tangannya. “Kenapa lo? Kesambet setan angin? Cepat banget berubahnya.” “Ck, siniin uangnya,” kata Ara tidak sabar. “Gue mau ke kantin seberang. Tolong ya, dipercepat!” “Bawel, lo. Nih, gue kasih setengahnya. Setengah lagi gue simpan. Ingat! Harus nabung.” Ara menatap Arden sebal, kemudian beralih menatap cowok yang sedari tadi memerhatikan keduanya. “Oh, kita ketemu lagi. Belum kenalan, gak seru. Nama gue Aratha Glora, panggil aja Ara.” Cowok itu membalas uluran tangan Ara lalu tersenyum simpul. “Gama.” “Gama aja? Nama lengkapnya?” tanya Ara sambil menaikkan sebelah alisnya. Mendengar itu, Arden langsung menepuk lengan adiknya. “Kepo, deh. Dia bukan lagi mau daftar KTP, gak usah nanya nama lengkap segala.” Andi tertawa mendengar itu. “Gamara Veraldi, itu namanya, Ra.” Ara tersenyum, lalu tersenyum ke arah Andi. “Terima kasih informasinya. Kalo gitu gue duluan, ya. Bye Andi, Feri, Gama.” Ara melambaikan tangannya dengan senyuman. Feri dan Andi tentu saja membalasnya. Mereka sudah sering melakukan itu. sedangkan Gama hanya tersenyum simpul. “Bye makhluk Mars!” kata Ara pada Arden dengan wajah meledek. Arden mendengkus sebal. “Kalo gue makhluk Mars, lo makhluk apa? Pluto?” kesalnya. Andi dan Feri tertawa melihat wajah Arden yang kesal. “Ini manusia berdua gak pernah akur sehari aja. Gue heran,” gumam Andi sambil menggelangkan kepalanya. “Sorry, ya. Adek gue emang gitu. Ngeselin,” jelas Arden pada Gama yang sejak tadi terlihat penasaran. “Adek lo?” tanyanya. “Lebih tepatnya, saudari kembar. Tapi duluan gue keluarnya. Dia ngantri muka dulu, makanya cantik.” Gama hanya membalasnya dengan kekehan singkat, kemudian beralih menatap punggung Ara yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan matanya. Sejujurnya, ini kali pertama dia melihat gadis seperti Ara—yang begitu berterus terang. Meskipun ia yakin banyak gadis seperti Ara di dunia ini, namun ini benar-benar kali pertamanya bertemu secara langsung. “Ara,” gumamnya pelan. *** Ara menoleh ke kanan-kiri mencari kedua temannya yang sudah lebih dulu datang ke kantin depan sekolah. Ah, ya. Sebenarnya ini tidak termasuk kantin sekolah. Itu adalah kantin umum yang lumayan besar. Hampir 2 kali lebih besar dari kantin sekolahnya. Biasanya anak-anak kelas 3 suka menongkrong di sana. Bukan berarti tidak ada anak kelas 2 dan kelas 1. Memang sekolah memperbolehkan mereka menongkrong di kantin itu, karena memang pemilik kantin adalah saudara dari pemilik sekolah. Ah, hebat sekali bukan? Seperti menyelamtakan keturunan dengan satu jalur bisnis. Bukannya ia tidak mau ke kantin sekolah, tapi ia sebal karena di sana ada Arden. Meskipun mereka saudara kembar, tapi tetap saja ia tidak suka dengan anak itu. Melihat Arden saja bisa memicu emosinya. Eits, tapi jangan salah sangka. Walaupun sering berdebat tapi ia masih menyayangi saudaranya itu. Jika diibaratkan, mereka seperti TOM and JERRY, sering bertengkar namun saling membutuhkan. Begitulah perumpamaan yang dibuat oleh Marcela dan Sena untuk hubungannya dan Arden. Ia melambaikan tangannya ke arah Marcela dan Sena yang sudah duduk di meja mereka. Ara menghampiri keduanya dengan wajah merungut. “Kenapa lagi?” tanya Sena yang sudah bisa menebak bahwa Arden lah penyebabnya. “Gue heran, muka dia itu ngeselin banget, sumpah. Ngelihatnya aja bikin gue pengin ngatain.” Marcela tertawa agak keras. “Lo berdua, tuh, lucu, ya.” Ara duduk lalu mengambil sepotong bolu melon lalu memakannya. “Tapi … semua terbayarkan pas ngelihat malaikat penolong gue.” Sena mengernyit. “Gama?” “Loh, kok, lo bisa tahu namanya?” tanya Ara kebingungan. Ia pikir ia akan jadi orang pertama yang tahu di antara mereka bertiga. “Jangan bilang lo juga tahu, Cel?” Marcela menggelangkan kepala. “Enggak, kok. Gue enggak tahu namanya.” Kini Ara menatap Sena dengan wajah mengintimidasi. Yang ditatap hanya bisa menggedikkan bahunya dan menatap Ara ngeri. “Ya … Gue, kan, nanya namanya ke anak sebelah. Lagian, lo kurang cepat.” Ara tersenyum simpul. “Kayaknya gue suka dia,” kata Ara dengan santainya. Sena dan Marcela terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya mengatakan, “HAH?!” Ara menghela napas pelan, lalu geleng-geleng kepala. “Telat!” -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD