Rewrite — I Like Him

1578 Words
“Kayaknya gue suka dia,” kata Ara dengan santainya. Sena dan Marcela terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya mengatakan, “HAH?!” Ara menghela napas pelan, lalu geleng-geleng kepala. “Telat!” Ara kembali mengunyah bolunya. Ia mengambil ponselnya yang berdering di dalam saku, kemudian mengangkat telepon seseorang. “Iya, halo,” katanya dengan mulut penuh bolu. “Lapangan? Oke, entar, ya. Gue lagi makan. 15 menit lagi gue ke sana.” Ara memutus panggilan lalu menaruh lagi ponselnya di saku. “Siapa, Ra?” “Mayang. Dia nyuruh gue ke lapangan. Katanya anak Marching band mau rapat.” “Ya udah sana!” usir Sena sambil mendorong tubuh Ara pelan. “Dih, enggak, ah. Gue baru sampe, mau makan, laper. Lagian gue ada atau enggak selalu pendapat Caca yang di dengar. Gue ngomong gak ada yang dengerin.” “Lebih tepatnya memaksakan pendapat, bukan berpendapat kalo dia, mah,” kata Sena dengan nada tak suka. Mereka memang tidak suka dengan Caca. Dia mungkin memiliki wajah mungil dan manis, tapi mulutnya tidak semanis wajahnya. Apapun yang gadis itu katakan, benar-benar seperti ular. Terlihat cantik tapi berbisa. *** Gama men-dribble bola basketnya lalu memasukkannya ke dalam ring dengan satu lemparan sempurna. Ia tersenyum simpul seraya memerhatikan anak marching yang sedang berlatih di lapangan tempatnya bermain basket. “Woy, Gam!” teriak Arden yang baru saja datang dengan Andi dan Feri. Sepertinya ketiganya memang tidak bisa dipisahkan. Tadi saat baru masuk ke kelas, ketiganya langsung menghampirinya dan mengjaknya berteman. Ia tidak menyangka akan mendapat teman secepat itu. Meskipun ketiganya agak … Ya … bisa dibilang aneh. Tapi Gama menyukainya. “Mau masuk tim basket? Kita kekurangan anggota, nih. Kalo lo mau, langsung gue bilang ke Pak Bahrun,” tawar Arden. “Ah, lupa,” Arden mengulurkan tangannya ke arah Gama, “Gue ketua Tim Basket.” Feri yang melihat itu langsung memukul tangan Arden. “Ngapain pake ngasih tangan segala. Emang mau serah-terima jabatan?” “Ya, biar keren aja gitu. Sirik aja lo,” omel Arden. “Gue gak tertarik masuk tim basket,” kata Gama kemudian pergi dengan bola di tangannya. Arden terdiam sebentar sebelum akhirnya ia berlari menyusul Gama. “Boleh gue tahu apa alasannya?” Gama menjawabnya dengan gelengan kepala. “Enggak pengin aja.” “Kemampuan lo itu, sayang banget kalo gue sias-siain. Gue butuh orang kaya lo di tim. Lo gak mau berubah pikiran?” tanya Arden sekali lagi. Sangat disayangkan jika ia tidak bisa menarik Gama untuk masuk ke timnya. Kemampuan Gama tadi cukup bagus, bahkan lebih bagus dari beberapa anggota timnya. Jika Gama bisa ikut ke dalam tim, kemungkinan mereka menang di pertandingan bulan depan akan semakin besar. Gama menghentikan langkahnya, lalu menatap Arden. Jika diperhatikan baik-baik, Arden memiliki wajah yang lumayan mirip dengan Ara. Tunggu … ada apa dengan pikirannya? Kenapa ia malah memikirkan hal-hal tentang gadis itu? Gama menghela napas pelan. “Oke, gue mau gabung, tapi dengan satu syarat,” kata Gama menggantung ucapannya. “Apa?” “Lo gak boleh ngelarang gue kalo seandainya suatu saat gue keluar dari tim tiba-tiba. Gimana?” Arden terdiam sebentar, sebelum akhirnya tersenyum. “Deal!” *** Ara melangkahkan kakinya menuju balkon kamarnya. Balkon kamarnya bersebelahan dengan balkon kamar Gama. Sejujurnya, Ara jarang sekali duduk di balkon meskipun hanya sekadar mencari udara segar. Ia lebih sering turun ke bawah dan mencari udara segar di taman belakang rumahnya. Gadis itu duduk di kursi dengan segelas s**u hangat di tangannya. Hari sudah gelap, angin malam agak dingin, itu sebabnya Ara memakai selimut yang ia lilitkan ke badannya. Matanya kini tak lepas dari Gama yang juga duduk di balkon sambil membaca buku. Ara bisa melihat sebuah teleskop besar ada di sana. “Apa dia suka lihat bintang?” gumam Ara lalu menyeruput s**u hangatnya. Ara mengambil ponselnya lalu memotret Gama diam-diam. Ia begitu puas meski hanya bisa mengambil foto Gama dari arah samping. Kemudian ia mengirimnya ke grup chat. Ara sedang bertugas menjaga Gama. Begitulah yang ia tulis. Hingga beberapa detik kemudian Marcela dan Sena muncul. Marcela Wow! Dasar penguntit! Sena Ara adalah cewek terniat yang pernah gue temui di bumi. Ara Kalian gak akan tahu rasanya tetanggaan sama calon gebetan. Xixi Sena Dia emang mau sama lo? Ara Dia harus mau. Hahaha Marcela Pshyco! Tidak ada yang Gama lakukan di balkon selain membaca sebuah buku selama kurang lebih 20 menit. Ara bahkan sampai mengantuk melihatnya. Hingga akhirnya Ara tersadar, Gama sudah tidak ada di sana. Ara membulatkan matanya, lalu berlari menuju pagar balkonnya. Ia agak mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat apakah Gama sudah masuk ke dalam kamarnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba saja Gama muncul dari balik pintu. Ara terlalu terkejut hingga akhirnya gadis itu jatuh kebelakang dan terduduk di lantai. Gama langsung menoleh dan berjalan mendekati pagar balkonnya. Dari sana ia bisa melihat Ara yang sedang duduk di lantai dengan selimut yang membungkus dirinya. Gama mengerutkan dahi. “Lo lagi ngapain?” tanya Gama keheranan. Sudah semalam ini duduk di lantai dengan selimut membungkus diri, tentu saja Gama agak penasaran apa yang sedang dilakukan gadis itu. Ara mendadak kikuk. Ia tersenyum simpul lalu mencoba berdiri. Meskipun ia terjatuh karena menginjak selimut yang ia pakai. Gama hanya bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah gadis itu. “Gu-gue … lagi cari udara segar,” kata Ara dengan cengiran khasnya. “Angin malam gak bagus.” Begitulah katanya. Ara semakin canggung ketika Gama mengatakan itu. Ah, rasanya ia ingin menghilang saja. “Subuh.” “Uh?” Ara mendongak. “Angin subuh baru segar.” Gama tersenyum, kemudian berbalik untuk mengambil buku yang ia tinggalkan di kursi lalu masuk ke kamar. Ara ikut tersenyum. Ia juga masuk ke dalam kamarnya dengan hati senang. Setidaknya, ia bisa mengobrol dengan Gama meskipun sebentar. “Dia senyum aja gue langsung meleleh. Ya ampun, Gama,” gumamnya sambil terus mengingat senyuman singkat yang tadi Gama berikan. Ara melepas ikatan rambutnya. Ia berjalan menuju meja belajar, kemudian mengambil selembar post-it berwarna merah muda lalu mengambil sebuah pulpen. “Jam sembilan malam, Gama ke balkon untuk baca buku,” katanya sambil menuliskannya di atas post-it itu. Ia tersenyum, lalu menempelnya di sebelah post-it bertuliskan “Jam 7.30, Gama nyalahin motornya”. Ia menuliskannya sepulang sebelum berangkat sekolah tadi. “Besok, harus bangun jam setengah enam gimanapun caranya,” tekad Ara, kemudian menyetel alarm dan mencoba memejamkan matanya. Baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba Arden masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Cowok itu berlari lalu melompat ke tempat tidur Ara, membuat gadis itu terpental ke samping. “Ih, Arden!” teriak Ara. “Ra, minjem laptop lo, dong,” kata Arden sambil menatap Ara dengan tatapan memohon. “Bisa enggak, sih, masuknya ketuk pintu dulu? Emang gak punya tangan buat ketuk pintu? Kalo gak punya, pake kepala!” omel Ara. “Lupa.” Ara mendengkus. Menyebalkan sekali. Ia paling tidak suka jika ada yang masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Laptop lo ke mana? Ngapain minjem gue?” Arden menggaruk belakang kepalanya lalu menyengir. “Laptop gue tadi jatuh, terus mati. Sebentar aja, Ra. Gue butuh banget, nih.” Arden memeluk Ara sambil sambil terus memohon membuat Ara jengah. “Ih, ya udah sana ambil! Ada di dalam lemari!” Arden tersenyum, lalu mencium pipi Ara. “Makasih, adikku sayang.” “Ah, Arden! Jijik!” pekiknya. Arden tertawa sambil berlari membawa laptop milik Ara yang kini sudah ada di tangannya. Menggoda Ara itu benar-benar sesuatu yang sangat menyenangkan bagi Arden. Adiknya itu sangat manis ketika marah. Jangan salahkan dia yang semakin ingin menggodanya. Jika tidak begitu, mungkin hidupnya terasa hampa. Namun, kadang pula ia merasa kasihan setelahnya. Ia tahu pasti Ara merasa sangat frustrasi. Dan mungkin gadis itu sebentar lagi akan berteriak … “TABAHKANLAH HATI GUE YANG HARUS PUNYA ABANG KAYA DIA!” teriak Ara yang tentu saja bisa didengar oleh Arden karena kaar mereka bersebalahan. Arden hanya tertawa mendengarnya. Ia kemudian duduk di meja belajarnya lalu membuka laptop milik Ara. Dengan jari yang lihai ia mulai membuka file foto. Matanya fokus pada banyaknya foto di sana, hingga tangannya berhenti ketika menemukan sebuah foto yang ia cari. Foto Marcela yang sedang duduk di taman sambil memegang buku matematikanya. “Ah, cantiknya,” gumamnya seraya menyalin foto itu ke dalam flashdisk. Ia tahu, Ara sering memindahkan foto-foto di ponselnya ke dalam laptop. Tahu sendiri kelakuan para gadis. Foto mereka bahkan lebih banyak dari batu krikil di depan rumahnya. “Satu lagi … dan …” Arden selesai menyalin foto-foto marcela ke flashdisk miliknya. “Yaps, selesai.” Arden tersenyum. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa Arden menyalin foto-foto itu. Kalian pasti akan tahu jika ia mentakana bahwa ia sedang jatuh cinta. Ia menyukai teman Ara—Marcela. Belum lama memang. Mungkin sekitar beberapa bulan lalu ketika pertandingan basket di SMA mereka. Arden menyukai cara gadis itu bicara dan tersenyum padanya. “Selera gue emang cakep banget, deh,” katanya sambil menatap foto Marcela yang tengah tertawa yang ia ambil diam-diam beberapa hari lalu. Ia menutup kembali laptop Ara, kemudian bergegas mengembalikannya. Tahu sendiri Ara akan mengamuk jika tidak melihat laptopnya saat pagi nanti. Ketika membuka pintu kamar Ara, ia melihat gadis itu sudah tertidur lelap. Arden melangkah perlahan menuju meja belajar Ara kemudian menaruh laptopnya di sana. Matanya taralih ke sebuah post-it yang tertempel di dekat tempat pensil. Arden tersenyum. Ia menghampiri tempat tidur Ara, kemudian menarik selimut dan menyelimuti gadis itu. “Dasar bucin,” gumamnya menatap Ara yang tertidur dengan tenangnya. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD